20. Menahan amarah

1474 Words
"Gimana hubungan kamu sama Lea? Seriusan mau kamu nikahin tuh cewek? Dan kamu mau ceraiin Maria beneran?" tanya sang kakek. Mereka kadang memang sering bertengkar namun di sisi lain sang kakek juga bisa menjadi sosok teman untuk sang cucu. Benz hanya tersenyum. "Kakaknya nyuruh Benz buat cepet pulang, Kek. Dia pengen Benz nikahin adeknya, buat bukti kalau aku serius sama Lea." Sang kakek hanya menggeleng kecil. "Terus gimana dengan Maria? Kamu tega nyakitin dia?" Benz terdiam. "Aku nggak tau, Kek. Benz bingung." "Kamu harus punya pendirian Benz. Kalau kamu nggak sanggup bahagiain Maria. Mending kamu kasih kebebasan ke dia. Kakek bisa jodohin Maria dengan pria yang lebih tanggung jawab. Karena Kakek yakin, dia gadis baik-baik." Entah mengapa Benz sedikit tak suka dengan ucapan sang kakek yang menurutnya sudah kelewatan. "Kek. Kakek jangan macem-macem! Maria milik aku, dan enggak akan aku bagi ama siapapun." emosinya. "Egois kamu Benz. Kamu nggak mikirin gimana perasaan Maria, misal kamu beneran nikah sama si Lea. Bener-bener nggak kebayang gimana hancurnya si Maria. Kalau kamu enggak bisa memberi kepastian, mending kamu nggak usah beri dia harapan." Selepas memperingati sang cucu, kakek berlalu pergi ninggalin Benz sendirian. Biarkan anak itu berpikir dewasa. Benz menimang ucapan sang kakek. Dia kembali memikirkan Maria, gimana dengan Maria? Jika ia memilih Lea. Bagaimana dengan Lea jika ia memilih Maria. Argghhh!!! Benz pusing. Tanpa diduga, sang kakek iseng ngebuat Benz cemburu dengan cara meminta salah satu rekan kerja Benz untuk menghubungi Maria. Kakek Tsugiono tau jika teman Benz punya rasa sama Maria karena mereka juga lumayan kenal dulunya. Kakek sangat tahu jika pri itu juga tak rela misal melihat Maria dipermainkan oleh Benz. Andaikan saja Benz bener-bener ninggalin Maria, kakek bakal jodohin Maria dengan pria ini. Panggil saja pria ini Mico, dia sudah kakek anggap sebagai cucunya sendiri. "Hai Maria!" sapanya, lewat video call. "Baik, dapet nomor gue dari mana?" "Nggak penting. Elo makin good looking aja." "Nggak usah gombal. Mau muntah denger gombalan receh elo." Mico terkikik geli. "Gimana hubungan elo sama Benz?" Maria terdiam. "Gue nggak ngerti, gue cuma ngerasa kalau Benz nggak punya rasa lagi ama gue." "Dia udah mau nikah." ucap Mico to the poin. Maria terkejut bukan main. Apa ia tak salah dengar? Jadi selama ini, ia cuma dipermainin Benz? Maria memang sudah tau jika Benz memiliki kekasih, tapi jujur, tak terbayangkan olehnya jika Benz bakalan cepet nikah. Maria merasa bodoh selama ini, karena menyimpan perasaan yang begitu dalam pada cowok yang sudah memilih cewek lain. "Gu-gue ... kenapa gue nggak tau?" lirihnya. Maria membenturkan punggungnya di tembok belakangnya. Tubuhnya tiba-tiba melemas, seolah ucapan Mico mampu meruntuhkan segalanya. Hati gadis itu hancur, degupan jantung terasa berhenti begitu saja. Seakan nyawanya tercabut paksa. 'Benz mau menikah dengan gadis lain' Setan dalam hati Maria terus berbisik. Sampai-sampai dia tak mendengar, jika sambungan telponnya dengan Mico masih terhubung. "Maria! Elo masih di situ?" tanyanya dari sebrang, karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari sang gadis. "I-iya ... sorry, tadi gue ngelamun." gugubnya. "Kenapa? Maafin gue, gara-gara gue ngasih tau hal ini ke elo, elo jadi sedih." sesal Mico. "Nggak apa-apa, justru gue yang harusnya berterima kasih ama elo. Karena elo udah ngasih tau gue, kalau enggak ...--" Maria menjeda ucapannya. "Kalau enggak, mungkin gue akan tetap seperti cewek bodoh. Yang tetap ngarepin cowok, yang jelas-jelas udah milih cewek lain." Senyum miris terukir di bibir gadis cantik itu. Tak berapa lama Benz menghubungi Maria. "Eh, Mic ... gue matiin dulu ya! Benz nelpon nih." Terdengar kekehan dari sebrang. "Elah ... Ia ... Ia ... udah tau dikhianatin, masih aja elo respect ama dia. Gue kasihan sama elo." "Ck, udah gue matiin!" Tak suka Maria. Sedikit berpikir menatap layar ponselnya, yang masih tertera nama Benz memanggil. Enggan untuk menjawab, tetapi hati memaksa untuk bicara pada pemuda itu. Ketika teringat ucapan Mico, hati kecilnya terasa tercubit. Jika ia marah dan tidak mengangkat panggilan telphone Benz. Benz juga tidak akan peka, pemuda itu tidak mungkin akan kebingungan mengejarnya. Atau bahkan mungkin dia akan beralih menghubungi kekasihnya. Ah, tidak. Maria tidak ingin kehilangan Benz. Ia harus memperjuangkannya, sekalipun harus menanggung luka hati. Ck, kenapa jadi Maria yang ngejar-ngejar Benz gini sih? Mana kamus yang mengatakan jika seorang Maria mustahil mengejar cowok, pantang bagi Maria mencintai seorang cowok, harus cowok yang ngejar-ngejar dia dan mengemis cintanya. Tapi sekarang buktinya ... Maria sendiri yang mematahkan kata-kata per-kamusannya sendiri. Panggilan tersambung. Masih diam, tiada yang angkat bicara. Maria merasa geram, hatinya sudah terbakar api. Niat hati ingin bersabar dan tidak mengeluarkan api dari hatinya. Bayangkan saja jika tiba-tiba Maria tidak bisa menahan dan tiba-tiba api keluar dari dalam mulutnya saat dia berbicara, apakah tidak seperti seekor naga betina? Aish!! Maria jadi berpikiran absurd. "Elo niat telphone nggak sih?? Ngapain diem? Kalau nggak niat mending nggak usah telphone, ngabisin batre gue aja lo!!" ketus Maria, sedikit meluapkan isi hatinya. Benz sedikit heran, kenapa Maria berubah kasar kek gini? Nggak biasanya juga dia nyolot ngomongnya. "Maaf, gue lagi makan. Gue cuma mau dengerin suara elo Maria." Maria terdiam. Jadi Benz nelpon gegara pen denger suara dia aja? Entah harus senang atau biasa aja. Ah, senang aja lah, senyum Maria mengembang. Namun, saat kembali mengingat ucapan Mico tadi ... senyuman mengembang itu lenyap seketika. "Elo udah mau kerja lagi?" tanya Maria, dengan nada lembutnya. "Iya, kurang sepuluh menitan. Masih ada waktulah buat ngobrol bentaran." "Kenapa tiap nelpon gue, selalu mepet jam kerja? Kenapa nggak dari tadi-tadi aja? Kemana aja elo? Oiya ... gue lupa. Gue kan cuma cewek serepan elo. Ban serepan aja dibutuhin kalau pas lagi genting, nggak beda sama posisi gue." sedih Maria. "Maria, elo ngomong apa sih? Kenapa elo bisa ngomong kek gitu? Elo berharga bagi idup gue, Maria!" "Kenyataannya emang kek gitu, Benz. Sekarang gue tanya ama elo. Seberharga apa posisi gue di mata elo?!" Benz terdiam, dia bingung harus menjawab bagaimana. Posisi Maria sekarang setingkat dengan posisi Lea. Lebih tinggi Lea malahan, karena dia sudah berhasil mendekati kelurganya. "Maria-- "Udah nggak usah dijawab. Gue paham kok, gue cukup tau diri. Gue sadar siapa diri gue, gue cuma penghibur di saat elu lagi sedih. Selebihnya, gue udah nggak ada guna lagi." Jujur, Maria udah nggak tahan pengen nangis sekarang juga. Jika saja tak ingat, bahwa dirinya tak boleh lemah. Maria harus kuat, dia nggak boleh nangis hanya karena seorang cowok. Cowok masih antri di luar sana buat jadi pendamping hidupnya, bukan cuma Benz. Maria menyemangati hatinya sendiri. "Maria, semua yang elo ucapin nggak bener. Elo jangan sok menyimpulkan kebenaran sesuai pemikiran elo sendiri. Gue nggak nganggep elo kek gitu." "Terus, kalau boleh tau, elo nganggep gue kek gimana? Sepenting apa diri gue di mata elo?! Seberharga apa gue buat elo?!" Benz memejamkan kedua matanya. Baiklah, semoga ia bisa mempertanggungjawabkan apa yang bakal ia ucapkan saat ini. "Elo berharga bagi hidup gue, elo tetap jadi yang pertama menempati hati gue. Karena gue ... cinta sama elo Maria. Gue nggak mau kehilangan elo buat yang kesekian kalinya. Gue cinta sama elo, gue pengen jadiin elo yang terakhir dalam idup gue." Maria tertawa miris, begitu ringan Benz berucap demikian. Padahal dia sudah akan menikah dengan gadis lain. Dia pikir ngendaliin hati itu mudah apa? Sekarang memberi harapan setinggi langit. Tiba saatnya dia nikah, harapan tinggi yang ia berikan ke Maria akan ia lepas begitu saja. Ck, Maria yang malang. Terombang-ambing dalam harapan palsu. Maria menertawakan nasibnya. "Benz, jangan ngucapin kata-kata yang nggak bisa elo tepatin suatu hari nanti. Jangan beri gue harapan, jika nyatanya harapan itu bukanlah untuk gue. Mending elo fokus sama hubungan elo yang sesungguhnya. Lepasin gue pelan-pelan, jika emang elo udah milih dia. Jangan beri gue harapan lebih Benz. Elo tau sendiri kan? Gue masih cinta sama elo. Sekali elo beri gue harapan manis, hati gue udah berbunga-bunga. Benz ... boleh gue tanya sesuatu sama elo?" Benz tertegun mendengar penuturan Maria, seolah gadis itu sudah mengetahui semuanya. Perihal hubungan serius yang akan ia jalin dengan Lea. "Tanya apa, Maria?" lirih Benz, dia lemah kalau denger suara sedih Maria yang kek gini. Mending denger suara sarkas nya aja tiap hari. "Apa elo ngelakuin ini cuma pen bales dendam masa lalu kita? Elo pengen nyakitin gue, biar gue bisa ngerasain apa yang elo rasa? Iya, kan, Benz? Kalau bener kek gitu, mending elo hempasin gue aja sekarang. Karena gue udah nggak kuat, gue nggak bisa bayangin kalau misal suatu hari nanti, di saat cinta gue makin berkembang. Elo ninggalin gue gitu aja, gue bener-bener nggak bisa bayangin. Sakitnya kek apa, Benz ... jangan siksa gue seperti ini." isak Maria, ia tak tahan memendam rasa yang sedari tadi menggumpal di dalam dadanya. Benz meraup wajahnya, dia bener-bener bimbang sekarang. Haruskah ia melepaskan Lea? Gadis yang belum lama ia kenal? Dan kembali memilih Maria. Yang udah lama ia impikan. Namun Benz juga takut, misal dia melepaskan Lea, lalu Maria kembali menghianati dirinya. Benz takut hal itu terjadi. Pada nyatanya mereka sama-sama mengalami ketakutan di masa lalu.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD