DUA BELAS : Semakin tinggi dirimu, yang iri dan sinis akan semakin banyak. Santai, anggap saja kamu itu Kate Middleton.

1634 Words
Sesuai dengan permintaanku, Mbak sengaja membawakan porsi lebih banyak untuk makan siang dan sarapan yang selalu di masukkan ke tote bag thermal pack besar dengan lapisan aluminium yang bisa membuat makanan tetap hangat dan enak untuk di makan. Aku lebih suka makanan yang hangat dibandingkan yang sudah dingin. Dan begitu sampai kantor, aku langsung membuat teh hangat dan juga menikmati makanan yang dibekali oleh Mbak. Hari ini Mbak membawakan sarapan berupa omelet dengan keju, bayam, wortel serta kentang dan jagung rebus yang dibawakan dengan saus thousand island yang aku sukai. Satu per satu pegawai datang, beberapa menatapkku karena mereka tahu bahwa aku adalah orang yang dipilih oleh Pak Tama untuk merealisasikan ide baru untuk produk yang dua minggu lagi akan launching. Daftar nama dari orang-orang yang harus menerima beragam paket, negosiasi harga untuk barang yang akan diiklankan oleh orang-orang seperti influencer, meng-handle kepuasan pelanggan dan juga klien dan membuat report dari semua pekerjaan yang sudah dilakukan. Pandangan aneh sudah bisa aku rasakan dari banyak mata. Aku yakin gosip tentangku sudah tersebar karena pandangan orang-orang ini benar-benar menunjukkan kalau penilaian mereka terhadapku. Siapa juga anak baru yang tiba-tiba saja sudah menonjol seperti ini? Mungkin itu adalah pertanyaan orang-orang di dalam ruangan ini yang memandangku. Tapi untuk itulah head hunter seperti Pak Aldo merekrutku karena kemampuanku itu, kan? Aku sudah sering mendapatkan pandangan seperti ini, yang awalnya aneh dan setelahnya pandangan iri dan omongan-omongan tidak enak akan terdengar nyaring sampai ke seantero kantor. Tapi ya itulah hidup bersosial. “Sarapan apa, Emje?” Tanya Mbak Aina yang duduk di sebelahku dan menaruh plastik transparan berisi bungkusan dengan kertas nasi dan juga beberapa kue yang dibungkus dengan plastik. “Omelet sama rebusan, Mbak.” Jawabku. “Sehat sekali untuk mengawali hari, ya.” Mbak Aina mengeluarkan makanan yang ia beli dari kantung plastik serta alat makan yang ia bawa dari dalam tas. Aku bisa melihat Mbak Aina membeli nasi uduk dengan semur tahu dan telur. “Untuk mengawali hari yang panjang, Mbak. Jadi aku harus makan yang berprotein dan ngenyangin.” “Ya, meeting hari ini pasti akan sangat panjang dari yang sebelumnya.” Ujar Mbak Aina dengan senyuman yang bermakna akan sangat melelahkan. “Iya, dan nanti aku harus menghadap ke bagian keuangan untuk ambil uang buat beli hadiah Pak Hartono, mungkin pulang nanti aku bakalan mampir dahulu ke Grand Indonesia.” Kataku. “Fossil yang sepasang, kan? Itu yang kemarin kamu telepon tokonya di Grand Indonesia? Kamu udah kenal ya sama staff di sana?” “Iya, aku udah tanya sama Mbaknya dan barangnya ada dan udah disimpan satu buat kita. Untungnya floor assistant di sana belum ganti, aku beberapa kali beli barang di sana dan selalu ngobrol sama staff-nya kalau ke sana jadi udah lumayan kenal.” Jawabku. Mbak Aina mengangguk sambil tersenyum, terlihat seperti orang tua yang bangga melihat kelakuan anaknya. Setelah itu kami memutuskan untuk menikmati sarapan dengan obrolan-obrolan ringan sembari menunggu jam kantor mulai dan menunggu aba-aba dari Pak Tama untuk memulai meeting. Semua orang di tim sudah mempersiapkan makanan kecil untuk mengganjal perut mereka jika meeting molor. Meski pun meeting sebelumnya Pak Tama bermurah hati membiarkan kami untuk beristirahat sejenak dengan membelikan makan siang. Tapi semua orang bilang mungkin mood-nya sedang baik saat itu, namun kalau hari ini mood-nya sedang tidak bagus, lebih baik untuk mempersiapkan diri dengan makanan tambahan agar perut tidak keroncongan ketika bekerja. Aku sudah kapok harus di rawat di rumah sakit karena tifus. Kevin dan Saka datang setelahnya dan merek langsung berkumpul di kubikalku dan Mbak Aina. Begitu tas sudah diletakkan di kubikal mereka masing-masing. Kevin datang dengan senyuman bersahabatnya seperti biasa, sedangkan Saka datang dengan tatapan pasrah karena idenya, report yang ia berikan ternyata masih belum dilirik oleh Pak Tama. “Nggak udah cemberut gitu, Ka.” Ujar Mbak Aina, “lain kali lo jadi tau standar laporan yang lo buat itu harus kayak gimana dan jadi termotivasi.” “Emje sekali doang loh itu salahnya suruh revisi, selama aku kerja di sini pasti orang-orang kalau revisi itu bisa sampai lima kali.” Balas Saka sebal. “Kan udah gue bilang, lo bisa kerja lebih efisien kalau lo tau pattern dari bos lo itu gimana. Apa yang sebenarnya di mau sama Pak Tama, output apa yang harus kita buat. Jangan cuma mau jadi cepat aja.” Ujarku membalas omongan Saka agar ia bisa sedikit introspeksi diri. Semoga saja Saka tidak menganggap omonganku ini sebagai omongan sok tahu yang akan membuat ia menjadi cranky. “Nanti kalau ada proyek baru lagi, lo bakalan gue balap deh.” Kata Saka. “Jangan lupa masih ada gue sama Mbak Aina.” Timpal Kevin yang merasa tidak dianggap diobrolan antara aku dan Saka. Aku tertawa, begitu pula Mbak Aina yang namanya di bawa-bawa oleh Kevin. Saka yang sadar kalau ia anak bawang di dalam tim kami pun akhirnya hanya bisa menghela napas pasrah. Kalau Saka bukan anak yang baru saja lulus kuliah dua tahun lalu, mungkin aku akan memperkenalkannya pada Tjania dan melihat bagaimana dua orang berkepribadian berbeda ini dapat berinteraksi. Pasti akan menjadi satu pemandangan yang sangat menyenangkan dan menjadi hiburan tersendiri tiap kali melihat mereka beradu argumen. Hanya membayangkannya saja membuatku jadi tersenyum. Kumpulan ini pun bubar ketika Pak Tama sudah datang dengan setelan berwarna cokelat muda dengan celana bahan berwarna hitam. Pak Tama tidak akan mengenakan kacamata ketika di luar kantor, aku rasa kacamata yang bisa ia kenakan di ruangannya adalah kacamata baca. Ia datang tanpa tersenyum, namun menyapa orang-orang yang ada di dekatnya dengan suara yang dalam namun singkat. Khasnya sekali. Hebat ya diriku ini bisa tahu kebiasaan Pak Tama. Memang kalau orang yang mencolok, dalam artian mengganggu ketenteraman itu akan sangat menonjol sekali kelakuannya meski pun hanya sekadar sekilas jalan saja. Ada saja yang membuatku tidak suka Pak Tama, namun aku tidak pernah mengatakannya pada siapa pun kecuali kedua sahabatku yang sebenarnya belum pernah bertemu dengan bosku yang satu ini. Mereka juga tidak mau bersusah payah mencari tahu bagaimana tampilan pak Tama dari profil Linkedin-nya. Iya, aku mengaku mencari profil Pak Tama di Linkedin, namun tidak ada foto dirinya terpajang di sana. Tapi dari sana aku baru tahu kalau Pak Tama lulusan University Of London. Lulusan yang biasanya akan memilih bekerja di luar negeri daripada kembali ke tanah air dan bekerja di perusahaan yang tidak akan menggaji sebesar gaji yang bisa didapatkan di luar sendiri. Dilihat dari lulusannya, bisa disimpulkan kalau ia orang yang cerdas. Terlihat dari bagaimana ia bisa membuat divisi kami dinilai sebagai salah satu divisi elit dari divisi lain yang ada di perusahaan ini. Jadi sebenarnya aku cukup bangga karena masuk ke sini dengan jalur undangan. Namun begitu, kalau aku mengatakannya di hadapan keluargaku, pasti responnya tidak akan seheboh ketika aku menceritakannya pada Tjania, Ara dan Chris yang sering sekali mengintili Ara ke mana pun ia pergi. Kevin menyenggol bahuku, dan memberikan kode untuk kami segera pergi ke ruang meeting. Pak tama sudah mengirim pesan singkat di surel pribadi ke Kevin. Iya bos yang satu itu tidak akan mau bersusah payah mengklik alamat email pegawai lain. Satu orang di tim saja sudah cukup karena ia akan secara tidak langsung memberi tahu anggota tim yang lain untuk segera mempersiapkan diri sesuai dengan apa yang di minta oleh Pak Bos. Enaknya jadi bos ya bisa begitu, bisa bekerja sangat efisien dan menyuruh orang lain seakan hanya mengklik kontak email. Aku pun membawa laptopku beserta notes dan juga alat tulis ke ruang meeting. Dan saat itu aku berpapasan dengan Nera, pegawai lain di divisi ini yang tidak pernah sekali pun berbicara denganku dan aku juga tidak tertarik untuk mengajaknya berbincang meski untuk membahas topik basa-basi. Aku tersenyum, namun tidak dengan Nera yang membawa cangkir berisi kopi panas di tangan kanannya. “Ide lo yang di pake sama tim lo itu ya?” tanyanya tanpa basa-basi. Ah, akhirnya aku paham dengan apa yang dikatakan oleh Kevin dan Saka tentang persaingan antar tim meski pun kami memiliki produk yang tak jauh berbeda dan tujuannya pun sama, untuk bisa membantu perusahaan agar dapat memasarkan produknya dengan baik sesuai dengan tujuan perusahaan dan dapat di terima oleh khalayak umum. “Iya. Kenapa, ya? Saya buru-buru soalnya mau meeting.” Tanyaku tak kalah angkuh. Mentang-mentang aku anak baru, mau seenaknya saja merundungku begini. Tapi sayangnya Nera tidak tahu, semakin aku di bully, maka aku akan semakin ngotot dan membuktikan kemampuanku dan membuat orang yang mem-bully diriku akan merasa dipermalukan dan jadi insecure. “Wow... santai, nggak usah ngegas.” ujarnya yang mundur selangkah mencoba membuat keadaan jadi terlalu di dramatisir. “Oke kalau begitu, saya duluan.” Aku tersenyum dan kembali berjalan menuju ruang rapat sementara Mbak Aina, Kevin dan Saka sudah masuk ke ruang rapat dan sudah membuka laptop masing-masing. “Ngapain si Nera?” tanya Mbak Aina mewakili pandangan Kevin dan Saka. “Yah, begitulah, Mbak.” Aku tersenyum tipis. “Trus lo bales apaan?” Kevin yang penasaran pun bertanya. “Nggak gue tanggepin, males soalnya. Orangnya kayaknya suka playing victim, kartunya jelek banget, gue nggak suka.” Jawabku. “Wah, selain lo itu taktis, ternyata nyali lo gede juga, ya, Je.” Saka mengatakannya dengan rasa kagum. “Gue di sini buat kerja sesuai dengan kewajiban yang dikasih sama gue. Nggak perlu lah ya gue buang-buang waktu dan tenaga untuk meladeni adu mulut nggak penting. Mending gue lawan pakai kinerja aja, jadi capeknya satu, nggak dobel sama capek batin ngelawan orang kayak begitu.” Ujarku tersenyum. Suara berdeham dari arah pintu membuyarkan obrolan kami semua. Pak Tama masuk dengan membawa laptopnya dan seperti biasa, ia meminta Saka untuk menyambungkan laptop miliknya ke proyektor yang ada. “Gosipnya nanti lagi, kita bahas proyek ini dulu.” Ujar Pak Tama yang disambut serempak dengan anggukan dan kata-kata template, “baik, Pak.” Yah, perang babak kedua akan di mulai kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD