Aku keluar dari lift terburu-buru. Kelotak sepatu hal tinggiku terdengar lebih lantang dari pada biasanya. Ini urusan yang urgent, dan aku tidak boleh sampai telat kalau tidak mau kehilangan klien dua milyar. Belum sampai aku keluar dari gedung, ponselku berdering. Panggilan masuk dari bosku, Pak Amin yang pasti menagih revisi laporan yang ku tinggal begitu saja setelah baru setengah jalan karena aku ingin mengejar Presiden perusahaan batu bara yang sudah dari jauh-jauh hari ingin ku temui perihal pekerjaan finalku di kantor ini.
“Iya, Pak. Besok saya langsung kirimkan revisinya, sekarang saya baru mau ke Hayam Wuruk, Pak. Ini taksi online-nya udah sampai, Pak Rudi sudah sampai, saya nggak mau jadi terlalu lama nunggunya.” Aku yang masih sibuk di telepon dan menemukan kalau taksi online pesananku sudah datang, langsung membuka pintu mobil dan menemukan pria muda dengan setelan rapi seperti orang kantoran yang memandangku kaget mungkin karena aku membuka pintu terlalu keras.
“Mbak?” Panggilnya.
“Iya, Mas. Sesuai sama pesanan saya ya, kita ke Mangga Besar, Hayam Wuruk.”
“Mbak, tapi...”
“Sori, Mas, saya lagi nelepon. Masnya bisa langsung jalan aja.”
“Maaf nih, Mbak, tapi...”
“Maaf, Pak, sebentar ya ini sopirnya nanya-nanya terus.” Kataku pada Pak Amin di telepon, “duh, Mas. Langsung jalan aja. Kenapa lagi?” tanyaku sedikit gemas.
“Maaf, saya bukan taksi online. Saya lagi nungguin temen saya, dan temen saya itu di luar pintu, di belakang juga ada temen-temen saya.” Katanya.
Aku mencoba mencerna apa yang sedang terjadi saat ini. Tapi aku malah blank dengan Pak Amin yang memanggil namaku dan ku rasa ia tengah setengah menahan tawa karena mendengar pembicaraanku dan juga si Mas yang sedang ada di depan kemudi, dan dua orang teman laki-lakinya ada di belakang terdiam antara bingung dan menahan tawanya agar aku jadi tidak terlalu malu.
Aku bisa dengan jelas melihat si sopir yang kini sedang tersenyum dengan satu lesung pipi yang terlihat samar. Mungkin, seumur hidupku, aku tidak akan bisa melupakan momen ini. Momen di mana aku dipermalukan oleh kelakuanku sendiri dan terlebih lagi, kenapa aku maah diam saja, freeze begini.
“Margie, kamu udah naik ke mobil yang bener? Pak Rudi kayaknya w******p saya barusan.”
“Oke, Pak.” Aku menutup sambungan telepon, dan tersenyum tipis. “Sori, Mas, sori banget.” Aku pun keluar dari mobil dengan terburu-buru dan hampir saja jatuh kalau pria yang katanya teman si pengemudi di dalam mobil tidak menahanku untuk tidak terjun bebas ke lantai beton karena hak sepatu yang tidak seimbang.
“Mbak nggak pa-pa?” Tanyanya yang tak perlu ku lihat lagi ekspresinya bagaimana karena aku sudah malu setengah mati.
“Oke, nggak apa-apa, makasih.” Kataku cepat.
Aku segera membuka aplikasi online tempat aku memesan taksi dan menghubungi si sopir untuk mencari tahu apakah ia sudah sampai apa belum karena aku ingin buru-buru pergi dari tempat ini karena sudah terlalu malu. Aku bahkan tidak ingin menengok lagi ke belakang karena rasa malu ini sudah sampai ke ubun-ubun. Mungkin sekarang, empat pria yang ada di dalam mobil sedang menertawakan kebodohanku sambil membicarakannya berulang kali.
Sesering apa sih ada orang yang salah naik mobil yang dikira taksi online dan yang salah naik ini dengan ngototnya meminta si sopir untuk langsung jalan saja karena ia sedang sibuk menelepon? Bahkan aku, yang dulu dengan sangat percaya diri pernah ikut Abang None saat SMA dan jadi runner up, bisa langsung ciut rasa percaya dirinya begini. Ini bahkan lebih malu dari pada salah memanggil nama klien!
Ponselku berbunyi, ada panggilan masuk dari nomor yang tidak ku kenal. Aku langsung mengangkat panggilan itu karena aku tahu ini pasti panggilan dari si sopir taksi online yang ku pesan.
“Halo? Bapak sudah sampai? Saya yang pakai kemeja merah rok hitam, ya, Pak.” Jelasku.
Dan mobil Avanza hitam pun mendekatiku. Kali ini aku mencocokan dulu plat nomor mobil yang ada di depanku ini sebelum masuk ke dalam dan menyuruh sopirnya untuk segera berangkat ke tempat tujuan.
Kalau tidak sedang terburu-buru, mungkin aku akan kembali masuk ke kantor dan menceritakan semua kejadian ini ke Tjiana dan Ara. Ku jamin mereka akan tertawa terbahak mungkin sampai menangis. Sedangkan aku? Malunya yang membuatku sampai ingin menangis. Apa lagi yang ku suruh-suruh tadi wajahnya lumayan enak dilihat. Kalau mereka satu circle dengan orang yang kukenal, bisa-bisa pasarku jadi turun!
“Saya Margiela, Pak, yang mau ke Hayam Wuruk.” Kataku yang mungkin terdengar aneh karena sekali lagi, aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa aku naik mobil yang kali ini benar.
“Silakan Mbak, kita lewat tol?” tanya si supir yang sedang mengamati Waze.
“Terserah, Bapak, yang paling cepet aja.” Kataku yang sudah keki.
Mobil pun melaju dan meninggalkan halaman gedung yang yang kini sudah mulai diusir oleh mobil patroli yang biasa berkeliling agar jalanan tidak macet. Dan maluku, akan selalu tinggal meski kejadiannya sudah berlalu.
***
“Hah? Kok bisa sih lo sampe masuk ke mobil orang kayak gitu? Emang lo nggak ngecek gitu? Main nyelonong masuk aja kayak maling?” Tanya Tjania.
“Sialan! Gue lagi buru-buru ditelepon si bos trus Pak Rudi yang bos Batu Bara , dia udah sampe dan lagi nungguin gue. Gimana gue nggak panik coba? Membangun hubungan yang baik dengan bos batu bara yang dikenal arogan seantero Jakarta itu kan susah banget, Canyiaaa.” Kataku dengan memanggil namanya dengan nada yang ia tidak sukai.
“Ih!” keluhnya, “lo ada-ada aja, deh. Itu gue yakin sih malunya lebih dari senengnya ketemu Pak Rudi.” Tebaknya yang tepat sasaran.
“Cowoknya ganteng nggak? Kalo ganteng malu banget sih lo, Ji. Turun pasar lo! Niat tiap hari necis buat kerja sekalian menjaring lawan jenis, eh, malah turun pamor karena salah masuk mobil. Apes.” Ara tertawa puas disusul juga oleh Tjania yang tidak mau kalah mengolokku.
“Udah mah di kantor nggak ada yang bisa dicengin. Eh, diluar malah bernasib sama. Sabar ya, Emje, semoga semua ada hikmahnya.” Ujar Tjania yang sebenarnya hanya meledek, tidak benar-benar mendoakanku.
“Kejadiannya sih sekali, malunya seumur hidup tau, nggak!” Aku mengaduk es jeruk yang ada di dalam gelas dengan kasar sampai bunyi sendok yang beradu dengan gelas berdenting kencang.
Berbeda denganku yang cemberut karena campura kesal dan malu, Ara dan Tjania malah asik menertawakan kesialan dan kecerobohanku di tengah makan malam kami. Suasana malam ini lebih ramai daripada hari-hari biasa karena ini adalah hari Jumat, hari di mana banyak orang keluar dan makan bersama sampai tengah malam atau bahkan sampai tak perlu lagi melihat jam karena besok akhir pekan, dan mereka bisa tidur sepuasnya.
“Ya udah, ambil hikmahnya aja. Kemungkinan elo ketemu sama cowok-cowok itu kecil banget di kantor yang baru. Kantor lo yang baru kan nggak di SCBD lagi, tapi di Cikini. Keliatan kalo kantor cowok-cowok itu di SCBD, lagi juga kalo ketemu lagi nantinya, itu cowok-cowok belum tentu mereka ngeh sama lo. Tenang, tenang.” Ara si manis pun menenangkanku yang masih malu.
“Lucu kalo lo ketemu lagi trus salah satu ada yang kenal sama lo! Wah, FTV banget sih pasti. Tiati loh.” Tjania menaikkan sebelah alisnya seakan mau membuatku kembali kesal.
“Udah gitu jodoh! Hah! Lucu lo, Caniya.” Ledekku dengan sengaja salah menyebut namanya.
“Eh, jodoh nggak ada yang tau, ya. Awas lo ngeledek gitu malah nanti jadi takabur trus diaminin sama Tuhan baru tau, loh! Dan satu lagi, jangan suka ngeledek nama gue ya, tolong. It’s a bless punya nama yang unik begini, yang ngeledek emang udik-udik aja.” Ujar Tjania yang membuatku tertawa.
“Udah, udah. Itu makanan di depan jadi pada nggak di makan. Lo semua sibuk debat mulu jadi dingin tau makanannya, nanti nggak enak lagi. Ambil aja ini jadi pelajaran buat lo, Je. Jangan suka asal seradak-seruduk nggak jelas kalo mau ngapa-ngapain. Yang malu elo, yang ragu juga elo. Tapi okelah lo jadi bisa jawab kalo ada pertanyaan apa pengalaman paling memalukan dalam hidup lo kalo ada yang tanya. Bisa jadi topik ice breaker juga tuh di kantor baru.”
Aku tertawa, disusul yang lainnya, “bisa, bisa, sekarang karena itu udah lewat emang jadinya lucu. Tapi kalo tadi siang, pas gue ngalamin. Wah, rasanya kayak mau hilang aja dari muka bumi, malunya ampun-ampunan.”
“Bentar lagi juga lo ilang dari kantor yang lama, tenang aja.” Timpal Tjania yang membuat tawa kami makin kencang di malam Sabtu ini.
“Iya! Udah pada bosen lo ya sama keberadaan gue di SCBD tercinta ini? Sialan emang!” Kataku gusar.
Kami pun menghabiskan waktu di tempat makan favorit kaki lima kami di Jalan Bakti, Kebayoran Baru. Mungkin aku akan merindukan waktu bersama perempuan-perempuan sinting ini, yang kalau sudah berbicara bahkan lupa untuk dipikir dan disaring terlebih dahulu. Meski begitu, aku juga tidak sabar dengan kantor baruku nanti, dengan jabatan baru dan gaji yang lebih besar lagi.
Aku si alpha woman kata teman-temanku, dan dengan pindah ke kantor baru serta memiliki jenjang karir yang jelas dan lebih bagus, aku akan membuktikan ke semua orang kalau aku bisa menjadi orang yang bisa diandalkan, bahkan dalam hal pekerjaan.
“Kalo misalnya ada yang ganteng di kantor baru lo nanti, jangan lupa sama gue, ya. Boleh loh gue dikenalin sama eligible bachelor di kantor lo kalau ada.” Kata Tjania.
“Heh! Lo pikir gue udah punya pacar atau gandengan bisa seenaknya oper piala ke elo?”
“If you pass the ball, I’ll catch it, kok.” Tjania tertawa.
“Mimpi, Tja! Mimpi!” Balasku.