I LOVE YOU, MATH

1025 Words
Walaupun mata masih berat untuk terbuka, akan tetapi rasa penasaran Sheilla teramat kuat. Bukan karena ada hal mistis, tetapi hembusan napas yang terasa di wajah. Perlahan kelopak mata Sheilla terbuka, sesaat dia terdiam tanpa bergerak sedikitpun. Tepat di depannya terpampang wajah damai milik Mathew. Bukan hanya hembusan napas, pelukan erat yang Sheilla rasakan membuatnya tak bisa bergerak bebas. Alih-alih berusaha melepaskan, Sheilla justru tersenyum sembari mengeratkan pelukannya. Hangat. Nyaman. Tenang. Tiga perasaan itu muncul serempak di dalam hati Sheilla. Untuk hari ini, bolehkah Sheilla merasa beruntung karena bertemu Mathew? Ah, entahlah, Sheilla sedang enggan berfikir. Bak anak bayi, Sheilla terus mendusel mencari kenyamanan di d**a bidang milik sang suami. Tanpa Sheilla sadari, Sejak tadi Mathew sudah bangun. Akan tetapi, Mathew tetap diam tanpa mengeluarkan suara. Biarkan saja istrinya itu melakukan hal yang dia mau. Tubuh keduanya kembali merapat, disusul kelopak mata yang perlahan tertutup kembali. "I love you, Math," guman Sheilla pelan. Pelan memang, tetapi masih bisa Mathew dengar. Mendengar itu Mathew tersenyum dalam pejaman matanya. *** "Bibi, sejak tadi aku tidak lihat Mathew. Di mana pria itu?" Langkah kaki Rubby yang ingin ke halaman belakang seketika terhenti. Tubuhnya sedikit berputar ke arah belakang untuk mrlihat siapa yang bertanya. Mendapati sang majikan baru turun dari lantai atas senyum Rubby mengembang. "Tuan Mathew baru saja berangkat, Nona. Sekitar sepuluh menit yang lalu." Mendengar jawaban itu kening Sheilla mengerut. Mathew sudah berangkat? Tidak biasanya dia pergi tanpa berpamitan. Sekalipun tidak berpamitan langsung, pasti pria itu meninggalkan pesan. Ah, apa dia masih marah soal kejadian kemarin? Sheilla menggigit bibir bawahnya, dia benar-benar bingung saat ini. Soal saran Daisy, tak ada satu pun yang Sheilla lakukan. "Begitu ya? Apa Mathew menitipkan pesan?" "Tidak, Nona. Tuan hanya bilang kalau hari ini ada meeting penting. Saking pentingnya sampai Tuan tidak sarapan," jawab Rubby jujur. Apa yang Rubby katakan memang benar, toh dia masih ingat jelas majikannya mengatakan apa tadi sebelum berangkat. "Oh, okay, terima kasih, Bibi." Tanpa menunggu jawaban Rubby, Sheilla kembali melangkahkan kakinya menuju dapur. Hari masih pagi, Sheilla enggan berfikir. Setibanya di dapur, Sheilla membuka kulkas sembari mengetuk-ngetuk dagu. Banyak cemilan, banyak pula minuman. Dengan wajah riangnya Sheilla mengambil puding cokelat, dua potong brownis, keripik, serta satu botol s**u cokelat. Dirasa cukup, wanita itu berlalu dari dapur. Semua makanan Sheilla letakkan di atas meja. Untuk pembuk, puding cokelat amat sangat menggiurkan Sheilla sejak tadi. Saat ini Sheilla sudah tak memikirkan Mathew karena jiwanya sudah terbawa series yang sedang ditonton. Selain itu, Sheilla yakin jika Mathew tak akan bisa marah lama. "Apa kamu tidak akan menyesal ada di dalam perutku?" tanya Sheilla bermonolog, seraya mengusap perut. Hamil serta menjadi seorang ibu di usia muda sangat tidak terfikirkn oleh Sheilla. Sheilla juga penasaran, bagaimana reaksi ayahnya kalau tahu kehamilan ini? Mengingat dulu, ayahnya tak segan melakukan berbagai cara agar kandungannya gugur. Bukankah itu teramat jahat? Terlebih orang tua yang melakukan itu. "Tapi ... semoga kalau nanti opa tahu, dia bisa terima kamu, ya?" Lagi, Sheilla mengeluarkan suara. Jauh di dalam lubuk hati, Sheilla ingin sekali menyatu dengan keluarganya. Bukan perkara mudah, tapi rencana Tuhan mana ada yang tahu? Ting! Ting! Sekilas Sheilla menoleh, lalu mengambil ponsel yang baru saja bunyi di sampingnya. Ada beberapa pesan masuk, akan tetapi yang paling atas pesan dari Mathew. Sambil terus makan puding Sheilla membaca satu per satu pesan dari suaminya itu. Semakin dibaca, bukan lagi senyum yang terpancar, tetapi berubah menjadi tawa. Isi pesan itu memang singkat, atau lebih tepatnya secara tidak langsung Mathew menegaskan jika dia masih marah perkara kebohongan. Satu balasan sudah Sheilla kirim, seperti biasa dia tidak menunggu balasan. Karena matanya kembali terfokus pada layar, sedangkan tangannya menyuap makanan. Tanpa Sheilla sadari, sejak tadi gerak-geriknya dipantau oleh Mathew. Berawal dari kamar, bertemu Rubby, lalu asik sendiri di ruang televisi. Tidak ada yang bisa Mathew lakukan selain tersenyum atau tertawa. Terkadang Sheilla memang menyebalkan, tetapi sialnya Mathew tak bisa berlama-lama mendiamkan. Entah ada apa pada dirinya. Akan tetapi ... apakah sudah tumbuh benih-benih cinta di dalam hati? Mengingat setiap berdekatan dengan wanita itu hati Mathew berdesir. "Ada apa? Tumben tidak bisa via call?" Lamunan Mathew buyar, tatapannya berubah dari layar ke arah pintu. Tepat di depan pintu dua orang pria tengah memamerkan cengiran lebar. Sepertinya mereka tahu kesalahan yang baru saja diperbuat. Tatapan datar tapi tajam membuat Calvin serta Arvel semakin ciut nyali. "Hanya kalian manusia paling lancang. Segera masuk, tutup pintu dengan rapat!" Bak orang kesetanan, kedua pria itu langsung menuruti apa perintah yang baru saja dia dengar. Setelah memastikan aman, keduanya duduk di sofa sembari menunggu apa yang akan Mathew katakan. "Jauhi Maurena dari Sheilla." Calvin dan Arvel saling lirik tanpa mengeluarkan suara. "Sheilla sedang hamil, lebih dari itu aku tidak sudi ada yang mendekati orang-orang terdekatku. So, bisa kalian turuni dua pengawal untuk Sheilla?" Mathew menatap Calvin dan Arvel secara bergantian. Sesaat ketiganya terdiam. Mathew sengaja diam membiarkan sahabatnya itu mencerna terlebih dahulu. "WHAT? SHEILLA HAMIL?" Setelah seperkian detik, Calvin seketika memekik. Arvel yang duduk di sebelah ikut kaget mendengarnya. Mathew mengangguk mengiyakan. "Maka dari itu, jauhkan Maurena dari Sheilla. Walaupun kita belum tahu, tapi menurutku Maurena utusan Xavier. Sampai mereka berani buat ulah, detik itu juga mereka akan mati di tempat." Sorot mata, kata demi kata, semua tidak nampak adanya kebohongan di wajah Mathew. Arvel serta Calvin yang sudah berkawan lama saja masih suka merinding jika temannya itu membuat penekanan tidak main-main. "Ada lagi?" "Selesaikan saja dulu perintah awal." Arvel terkekeh mendengar sahutan Mathew. Dalam diamnya Arvel terus memutar otak agar bisa menyusun rencana yang sudah Mathew berikan. Terlebih melibatkan Maurena. Status boleh saja wanita, tetapi di mata Arvel dia lebih layak dipanggil iblis. "Kalian tahu? Kemarin keduanya bertemu tanpa sepengetahuanku. Sheilla bilang pergi bersama Chelsea—sahabatnya. Tapi apa? Waktu aku ke restoran, tidak sengaja melihat mereka. Sheilla tidak pandai berbohong, jadi bisa dipastikan kebohongan Sheilla disuruh oleh Maurena." Setelah mengatakan itu Mathew menghempas punggungnya kesanggahan kursi. Sambil mengingat-ingat, Mathew terus berputar di atas kursi kebangsaannya. "Apa menurutmu Maurena akan mencelakai Sheilla? Toh kita belum sepenuhnya tahu kalau dia utusan Xavier. Kalau bukan, bagaimana?" Sebelah alis Mathew terangkat lalu menjawab, "lalu menurutmu, memang ada orang asing yang tiba-tiba ingin mendekat tanpa ada maksud?" Kali ini Calvin terdiam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD