"When did this begin, I guess the moment I first saw you
Every 1 minute 1 second, you keep coming onto mind" -- Kiss Me (G. Na)
~♥~
"Lo tau dramanya Song Song Couple itu gak? Mereka ciuman di episode semaleemm!"
"Oh iya? Gue nggak nonton, eh.. Sayang banget ..."
"Huh, dasar lo! Ketinggalan se-episode dong berarti?"
"Iya, tapi gak papa deh, gue minta filenya aja ya, entar gue copy. Gue ambil flashdisknya dulu."
BRUK!
Sebuah suara debuman menginterupsi kedua cewek itu. Mereka melirik meja di depan mereka yang sudah tidak kosong lagi.
Azel yang baru memasuki kelasnya langsung melemparkan tas selempangnya dengan malas. Ia menatap kedua sahabatnya yang tengah membicarakan drama kesukaan mereka.
Kedua cewek itu memandang aneh pada Azel yang tiba - tiba bertingkah tidak seperti biasanya. "Lo kenapa, deh?"
Azel mendesah panjang. Ia lebih memilih membuka tasnya dan mengeluarkan tugasnya daripada ikut menonton drama yang sedang ditonton sahabatnya itu.
"Ditanyain juga— OMG! OMO, OMO! Ih sweet banget.”
Cewek tadi yang awalnya ikut bertanya tentang keadaan Azel jadi teralihkan. Pasalnya, drama yang mereka tonton kini menampilkan scene yang paling mereka tunggu.
"Zel, sini! Ada adegan kisseu ..."
Azel bergegas beranjak dari acara magernya, dan ikut menonton. Tapi detik selanjutnya, ia menghela napasnya. Saat menonton scene itu, entah kenapa pikirannya mulai melayang pada acara pertunangannya minggu lalu.
Ia mulai gerah ketika dua sahabatnya membahas scene itu. Padahal itu drama kesukaannya, dan ia juga sudah mengikuti sampai beberapa episode. Tapi, entah karena moodnya yang sekarang sedang buruk, atau karena ia yang jijik sendiri dengan scene yang sebelumnya ia anggap romantis itu, Azel malas menonton drama itu jadinya.
Azel mendesah sekali lagi. Ia benar - benar sebal dengan Mamanya, karena telah merenggut kebebasan masa remajanya.
Azel padahal yakin, kalau Mamanya nggak terantuk tiang listrik sebelumnya, sampai - sampai mendapatkan wangsit untuk menunangkan Azel dengan anak temannya. Pemuda yang tidak dikenal baik olehnya.
Bagaimana kalau pemuda itu anak yang 'nakal' di lingkungannya? Azel benar - benar nggak habis pikir deh sama Mamanya.
Yang lebih parahnya lagi, pemuda itu berusia lebih muda darinya.
Well, menyukai brondong adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan selama hidupnya.
"Fazlina?"
"Are u okay?"
Lagi, Azel menenggelamkan kepalanya di atas tasnya. Lalu mengacungkan jempolnya ke arah dua sahabatnya yang tengah menatap prihatin dirinya.
~♥~
"MAMAAA!!" teriakan Azel memenuhi seluruh ruangan. Ia berlari kecil ke arah Mamanya dan melingkarkan tangannya di leher Mamanya dengan erat.
Ini sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil. Bermanja - manja dengan Mamanya.
"Aduh, kamu itu harusnya ganti baju dulu sana! Sebentar lagi kita bakal kedatangan tamu istimewa."
Mama Reina melepas pelukan Azel dan mendorong gadis kesayangannya ke arah tangga. Azel pura - pura memasang wajah terluka ke arah Mamanya.
Reina tersenyum kecil dan mencubit pipi putrinya dengan gemas. "Tunangan kamu sebentar lagi akan kesini, kalau kamu lupa."
"Mama ngizinin anak kecil itu kesini?!" Azel berkata kesal.
Reina terkekeh lantas mengusap kepala gadis kesayangannya yang sudah beranjak remaja itu penuh sayang. "Kamu nggak boleh sinis begitu, sayang, dia kan tunangan kamu."
"Jangan panggil dia dengan sebutan 'Tunangan Aku', Ma ... Ah, nggak asyik ah, Mama."
"Hush.. nggak baik ah, Zel. Iqbal itu tunangan kamu. Nih buktinya."
Reina mengangkat telapak tangan Azel dan menunjuk cincin yang melingkar manis di jarinya.
Azel mendengus, tahu begitu sudah ia lepas cincin sialan itu sejak tadi.
Azel mengerucutkan bibirnya. "Yang nyuruh aku tunangan sama dia, kan Mama. Aku sih nggak mau menganggapnya tunanganku," ujarnya memeletkan lidahnya.
"Lagian kenapa Mama ngizinin dia buat tinggal disini? Memangnya orang tuanya kemana sih, sampai menelantarkan anaknya kesini?!" tambah Azel bersungut-sungut.
"Kamu kan dengar kemarin lewat telepon, pas Bundanya Iqbal nyuruh Mama jagain dia untuk sementara waktu, karena mereka lagi ada urusan ke luar Jawa. Jadi mereka menitipkan tunangan kamu itu, sama kita." Reina menjelaskan dengan sabar.
"'Kita' yang Mama maksud itu Mama sama Danang kan? Aku sih ogah ya, dititipin. Emangnya kita tempat penitipan anak?"
"Lagipula, Iqbal kan, udah gede. Atau jangan - jangan, mereka sengaja tunangin aku sama Iqbal biar cowok itu bisa seenaknya dititipin disini. Iya kalik, Ma?" sambung Azel.
Setelahnya, Reina menghembuskan napasnya kasar saat Azel berjalan menuju kamarnya di lantai dua dengan menghentakkan kakinya.
~♥~
Azel berniat masuk ke kamarnya dengan segera, tetapi ia malah berhenti melangkah dan akhirnya melongokan kepalanya menghadap pintu kamar di sebelahnya.
Kamar itu seharusnya kosong dan biasanya sering digunakan sebagai kamar tamu. Tapi sebentar lagi akan ada yang menempati kamar tersebut.
Dan itu sesungguhnya sangat mengganggu Azel. Lantai dua adalah wilayah kekuasaannya, tidak ada yang boleh mengganggunya termasuk pemuda kecil itu.
Pemuda bernama Iqbal yang tampangnya ganteng tapi slengean itu.
Azel jadi menyesal sudah naksir Iqbal pada pandangan pertama kala itu. Karena sehari setelah acara pertunangan berlangsung, pemuda itu yang tadinya 'terlihat' seperti pemuda baik-baik pada kenyataannya berbeda.
Iqbal mulai menunjukkan sikap menyebalkannya, slengean minta ditabok. Ia selalu menggoda Azel di setiap kesempatan yang ada. Tapi berikutnya pemuda itu bertingkah sopan dan manis pada Mama, Papa, dan Danang. Sayang sekali keluarganya itu tidak dapat melihat kelakuan Iqbal yang sebenarnya.
Azel telah selesai mengganti pakaiannya dan bergegas melangkah menuruni tangga dengan pelan, sedikit menundukkan kepalanya ke bawah untuk melihat 'tamu mereka'. Tamu itu masuk dan segera mendongak begitu menyadari ada seseorang yang tengah memperhatikannya. Kemudian mengerling pada Azel begitu gadis itu bersitatap dengannya.
Iqbal tertawa dalam hatinya melihat wajah merona Azel.
Azel terbangun dari lamunannya saat Reina memanggilnya. Ia berlari kecil menuruni tangga dan menuju ruang tamu.
"Mulai sekarang, dia akan menjadi teman serumah kita."
Azel menatap sinis pemuda itu. Bukankah dia orang kaya? Apa dia tidak punya tempat tinggal lain selain rumahnya, sehingga orang tuanya menitipkannya disini. Kayak apartment gitu, masa orang kaya seperti dia nggak punya?
Lagian kan pemuda ini udah gede, pasti rasanya nggak perlu deh, dititipin segala. Kayak bocah aja.
"Kenapa? Kita kan tunangan." Pemuda itu menjawab serentetan pertanyaan Azel dalam pikirannya dengan singkat.
What?! Apa dia pikir jika mereka sudah bertunangan sekalipun Azel akan membiarkan dia mengganggu wilayah teritorialnya?!
Azel ingin memprotes, tetapi seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Mamanya sudah terlanjur kesengsem dengan wajah ganteng bak model Iqbal. Akhirnya ia menyerah ketika mendapat pelototan garang Mamanya.
"Kalau begitu, tolong antarkan Iqbal ke kamarnya ya, sayang. Kamar kosong yang ada di sebelah kamarmu," sambar Reina sebelum Azel memprotes.
Danang yang dengan ajaibnya hari ini kalem, tengah mengobrol dengan Ayahnya Iqbal tentang bola. Azel mendengus, dalam keadaan seperti ini ia benar-benar serba salah.
Gadis itu segera menaiki tangga disusul Iqbal di belakangnya. Azel mengantarnya hingga ke depan pintu kamar pemuda yang hari ini berkacamata itu, lalu membukakan pintunya.
"Ini bakal jadi kamar lo selama lo tinggal disini," katanya datar. Ia hendak berbalik setelah Iqbal menggumam terima kasih, sebelum pemuda itu mencekal lengannya.
"Ini kamar lo? Persis sebelahan sama gue?" tanya Iqbal sambil melihat tulisan 'COWOK DILARANG MASUK, TERMASUK DANANG!' yang tergantung di pintu kamar sebelahnya.
Azel bergumam.
Iqbal gemas dengan sikap cuek gadis itu dan segera melepas kacamatanya. "Itu artinya kita bisa lebih akrab , dong?"
Azel tertawa sumbang menanggapi, "In your dream! Lo seneng banget ya jadi tunangan gue? Sampe ngerengek minta tinggal di rumah ini, biar kita bisa lebih dekat lagi, gitu? Gue tau, gue itu cantik abis, tapi nggak usah segitunya juga minta tinggal serumah!" katanya sinis.
Iqbal mengerutkan keningnya, pura-pura tidak mengerti apa yang diucapkan Azel. "Lo ngomong apa sih? Gue kan udah kasih tau lo alasan gue tinggal disini karena orangtua gue ada dinas ke Luar Jawa, pede banget lo!"
Iqbal memasuki kamar bernuansa biru laut itu, dan langsung kagum dengan penataan kamar yang begitu menenangkan di matanya. Pastilah Papa Azel yang mendesain kamar ini, benar-benar arsitektur yang hebat.
"Inget ya! Nggak ada yang boleh ganggu ketenangan gue selama ini. Itu berlaku juga buat lo, anak kecil. Gue nggak mau ada keributan yang ngeganggu acara santai gue disebelah. Paham?" terang Azel sambil berkacak pinggang.
Iqbal cuma memangguk-anggukan kepalanya seraya mengeluarkan pakaiannya dari dalam ranselnya. Kemudian memasukkannya ke almari berwarna putih gading.
"Eh, lo denger gue nggak?" tanya Azel menuntut.
Iqbal meletakkan kacamatanya ke atas nakas sebelum mendekati Azel yang masih berkacak pinggang di depan pintu. "Iya, gue tau," jawabnya kemudian.
"Oke, cuma itu yang mau gue kasih tau ke lo."
Azel membalikkan badannya hendak kembali ke ruang tamu, namun lagi-lagi dicegah Iqbal.
Iqbal menariknya supaya lebih dekat padanya. Kemudian tersenyum manis sekali hingga membuat Azel terpaku selama beberapa detik.
Iqbal masih tersenyum ketika sebuah kalimat mengalir lembut dari bibirnya, "Gue gak bisa bayangin hari-hari setelah ini dengan kenyataan bahwa yang berada di lantai 2 cuma kita berdua. Atau ... mau membayangkannya bersama-sama, Fazlina?" ucap Iqbal ambigu yang membuat Azel sulit mencerna.
Belum sempat Azel mencernanya secara keseluruhan, Iqbal menempelkan bibirnya dengan lembut dan cukup membuat Azel terkesiap. Gadis itu memberontak dari dekapan Iqbal. Hal itu membuat Iqbal gemas dan menggigit bibir gadis itu membuatnya meringis, lalu menyeringai di sela ciumannya.
Azel memukul d**a bidang Iqbal saat napasnya sudah semakin menipis, dan Iqbal melepasnya.
"Belum berpengalaman rupanya, tapi tenang aja, gue bisa ngajarin lo sampe mahir," katanya sambil menjilat bibirnya hingga Azel yang melihatnya melongo.
Pemuda itu mengerling sebelum berkata lebih lanjut, "Apa gue belum bilang kalo gue adalah murid baru di sekolah lo? Ah ... rasanya nggak sabar banget bisa satu sekolah sama lo, Zel!" seru Iqbal kemudian berbalik ke kamarnya meninggalkan Azel yang mematung kebingungan melihat pintu itu tertutup.
"WHAT THE HELL!" teriak Azel frustasi setelah tersadar dari keterpakuannya. Ia masuk ke dalam kamarnya, menguncinya rapat-rapat.
Apa Azel belum mengatakan jika selama seminggu ini juga, pemuda itu mencoba untuk kembali menciumnya?
Yah, Azel tidak pernah membayangkan bertemu pemuda m***m itu.
Apa namanya kalau bukan m***m? p*****t!
~♥~