Bab 90

1147 Words
Novan tinggal sendirian di kelas. Ia mengeluarkan smartphone dan menyicil mengerjakan tugas yang tertinggal. Ia terbuai dalam tugas sampai tidak sadar kalau kelas sudah mulai ramai. “Eh Van, udah masuk kok,” sapa Gilang. Novan menoleh sekilas dan mengangguk. Gilang mengintip yang sedang di lakukan oleh Novan. “Itu kan tugas kelompok.” “Iya, aku coba cari aja. Mungkin belum kerjain atau ada yang kurang gitu,” ujar Novan. Gilang mangut- mangut. “Eh Van, btw nih.” Gilang memutar bangku Andi dan duduk berhadapan dengan Novan. “Kamu kemana aja kok nggak sekolah kemarin?” “Ada urusan,” jawab Novan. “Kemarin itu kok tiba- tiba pulang?” “Ya, karena ada urusan keluarga mendadak, makanya pulang.” Gilang mangut- mangut. “Oh, syukurlah. Soalnya nih ya, aku dengar kabar burung kalau kamu tuh sebenarnya diskors karena ada masalah gitu.” Novan berhenti menulis. Ia menoleh menatap Gilang. “Siapa yang bilang begitu?” Tanya Novan menahan kesal. “Eits, santai. Bukan aku kok, aku denger dari kelas lain. Nggak jelas juga siapa, karena dengar dari mulut ke mulut,” jawab Gilang. “Katanya sih karena lihat kamu baru keluar dari ruang BK. Padahal kan kita masuk BK bareng juga tadi. Terus tiba- tiba kamu di jemput pulang, pada ngira yang aneh kan.” Novan geleng- geleng. “Ada aja memang.” “Makanya aku nanya kamu, biar lebih clear gitu loh. Aku juga nggak percaya kok soal kabar burung itu. Mana mungkin kan anak baik kayak kamu lakuin hal itu,” gumam Gilang. Novan mengernyitkan alisnya. “Kabar burung apalagi nih? Perasaan aku nggak masuk 2 hari doang deh, ada aja kabar burungnya.” “Itu … katanya, kamu diskors karena kesandung masalah. Katanya kamu ketahuan nyuri soal ujian untuk nanti,” jawab Gilang setengah berbisik. Novan terbelak kaget mendengarnya. “Kamu dengar darimana?” Tanya Novan dengan tatapan tajam. “Ah, eh .. itu … kan kabar burung ya, aku dengarnya dari mulut ke mulut sih. Tapi katanya anak IPS duluan yang nyebarin soal itu.” Novan menggebrak meja. “Siapa? Siapa orangnya? Siapa anak IPS yang nyebarin itu?!” Bentak Novan. Gilang tersentak kaget dan menggelengkan kepalanya. “Nggak tau pasti sih … taunya dia anak IPS, soalnya yang nyebarin kabar itu ya mereka …” jawab Gilang terbata- bata. Novan berdecak kesal. Ia belum punya banyak kenalan di sekolah ini. Kalau yang menyebarkan kabar burung itu adalah kenalannya, maka dia yakin kalau orang itu yang sebarin kabar burung itu. “Anu … tapi … itu berita nggak bener kan?” Tanya Gilang agak ragu. Novan meliriknya dengan tatapan tajam. “Kamu percaya gitu?” Tanya Novan balik. “Kalau aku percaya, aku nggak akan nanya balik ke kamu buat pastiin.” Ah ya, tidak salah juga sih. “Kalau kamu bereaksi kayak gitu, berarti kabarnya bohong dong ya.” “Ya jelaslah!” Bentak Novan. Gilang tersentak kaget. “Maaf Van …” Gumam Gilang. “Nggak, nggak perlu minta maaf. Bukan salah kamu. Makasih udah nggak percaya sama kabar burung itu.” Gilang menepuk pelan pundak Novan. “Hei, aku tahu kamu bukan anak yang kayak gitu.” ***** Kabar burung itu menyebar dengan sangat cepat ke seantaro sekolah. Kasak kusuk terdengar sambil melirik Novan. Ia merasa risih di kelas karena sebagian besar menatapnya dengan tatapan curiga. Tapi Novan berusaha mengabaikan itu semua. Lebih baik dia melengkapi catatan Biologi yang akan di kumpulkan lusa. Ia menyalin sebagian materi yang tertinggal dari catatan Andi. “Loh, itu catatan aku kan ya?” Tanya Andi saat menghampiri Novan. Novan mengangguk tanpa menoleh. “Sori ya, aku asal ambil aja, nggak permisi dulu. Tadi aku mau pinjam catatan Gilang, tapi ternyata dia nggak bisa di harapin,” jelas Novan. Andi cekikian. “Ya, mana bisa catatan Gilang mana bisa di harapin sih. Kebalik dunia kalau dia bikin catatan. Mau kerjain tugas aja udah bagus tuh anak,” ujar Andi. Benar juga kata Andi. Ia tidak pernah melihat Gilang serius memperhatikan pelajaran, lebih sering melihatnya tidur. Terutama saat pelajaran Matematika di jam terakhir. Dia akan tertidur lelap dan tidak peduli meski ia duduk di depan guru sekalipun. “Iya dah iya, yang paling rajin catat,” tukas Gilang. “Darimana kamu Ndi? Masih pagi dah lepek gitu seragam,” tanya Gilang sambil menunjuk seragam Andi yang basah karena keringat. Andi menghela napas panjang. “Ya biasalah, kan hukuman dari bu Julia belum kelar.” Andi merebahkan kepalanya di meja. “Capek banget. Mana di awasin lagi. Lebih kampretnya lagi, tuh Yudi belum datang juga. Mana anak itu?” Andi mengedarkan pandangannya ke sekitar kelas. “Belum datang kayaknya,” jawab Gilang. “Berani juga dia datang telat ya, padahal lagi kena hukuman sama bu Julia.” Andi mendengus. “Ya biarin aja. Salah sendiri juga!” Gerutu Andi. Pucuk di cinta ulam pun tiba, tak lama kemudian tampak Yudi masuk ke kelas. Ia masuk sambil bersiul ria dan duduk di tempatnya. Beberapa teman menghampirinya dan mereka asyik mengobrol. Andi memperhatikannya dengan tatapan tajam. “Bisa- bisanya tuh anak masuk kelas siul- siul gitu, sedangkan aku malah harus dengan ceramahan panjang bu Julia,” gerutu Andi. Merasa di perhatikan, Yudi menoleh ke arah Andi. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri mereka. “Eh Ndi, sori ya. Tadi agak macet di jalan. Kamu udah jumpai bu Julia?” Tanya Yudi. “Udah,” jawab Andi ketus. “Kamu di cariin.” “Sori. Tadi ngapain di suruh bu Julia? Ini sekarang masih bisa nggak?” “Nggak tau. Temui bu Julia aja sana.” “Oh, oke.” Jawaban Yudi tadi bersamaan dengan bel masuk yang berbunyi nyaring. “Ah, udah masuk. Nanti aja dah istirahat.” Yudi melirik Novan yang sedaritadi sibuk mencatat. “Loh? Novan? Udah masuk?” Tanya Yudi. “Udah,” jawab Novan singkat. “Wah, singkat banget ya masa skorsingnya,” timpal Yudi. Novan berhenti menulis dan melirik Yudi dengan tatapan tajam. “Maksudnya apa?” Tanya Novan ketus. Yudi mendengus. “Loh, kan kamu udah 2 hari ini nggak datang sebenarnya kamu diskorsing toh? Ya kan? Gara- gara ketahuan kamu curi soal ujian kan di ruang guru?” Tanya Yudi. “Emang nekat banget ya kamu tuh. Mantap!” Yudi mengacungkan kedua jempolnya. Ia merangkul Novan. “Oh ya, kalau ada ujian Matematika, bagi aku ya? Sekalian sama jawabannya kan? Nanti aku bayar dah berapa aja,” bisik Yudi. Novan menepis tangan Yudi dan mendorong Yudi menjauh hingga menabrak meja di belakangnya. Seisi kelas kini memperhatikan mereka. “Loh kenapa? Kok marah? Kalo marah tandanya memang benar dong soal gossip itu?” Novan mengepalkan tangannya, berusaha menahan untuk tidak memberikan bogem mentah pada Yudi. “Wah, bener ya ternyata? Ya ampun, kamu masih anak baru tapi udah berani kayak gitu. Ckckck.” Yudi berdecak. Novan mendengus kesal. Ia menarik napas panjang dan kembali duduk. “Terserah.” *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD