Arumi terbangun dengan wajah yang pucat. Pikirannya masih belum benar-benar sadar dan ia merasa sedikit limbung ketika berusaha untuk bangun.
Apalagi begitu ia membuka mata, wajah-wajah suram dari ketiga wanita yang sedang mengerubunginya ini membuat dia semakin enggan untuk bangun.
“Bu ... Arumi ...,” ujar gadis itu sambil memijat kening dan mata yang belum terbuka sepenuhnya.
“Saya tidak akan mengizinkan Aksa menikah dengan Arumi. Sampai mati saya tidak akan merestuinya!” ucap tegas dari wanita tua yang ada di samping ranjang Arumi.
Gadis yang masih limbung itu langsung berusaha membuka matanya dengan lebar. Dia juga memastikan telinganya agar tidak salah dengar.
“Bisa-bisanya aku salah dengar, dari kata ‘asisten’ menjadi menikah,” batin Arumi yang mengira dirinya salah dengar.
Dia masih merasa pusing bahkan keningnya pun terasa basah oleh keringat dingin.
“Arumi ... istirahat saja,” ujar Bi Minah. “Maafkan anak saya, Nyonya. Kami bersedia untuk diusir dari rumah ini,” tutur perempuan itu sambil menangis sesenggukan.
Arumi yang mendengar kata ‘diusir’ itu pun langsung sadar sepenuhnya. Ia menatap pada sang ibu dan meyakinkan dengan apa yang baru saja ia dengar. “Ibu ....”
Sambil mengusap pipi sang ibu, dia dapat merasakan air mata ikut mengalir di ibu jarinya. “Ada apa ini?”
Gadis yang baru benar-benar sadar dari pingsan itu langsung mengedarkan pandangannya dan meminta penjelasan dari orang sekitar. Bahkan ia mendapati Nyonya Marissa dengan wajah tak ramah yang biasanya tak pernah ditujukan pada Arumi.
Kemudian dengan wajah yang tegas dan seperti sedang menengahi, Laura pun mendekat pada Arumi dan duduk tepat di tepi ranjang samping gadis itu. “Laura ...,” panggilnya dengan suara agak lirih.
“I ... i ... ya, Bu,” timpalnya dengan pelan juga. Arumi masih belum melepaskan kedua tangannya dari sang ibu yang masih menangis sampai saat itu.
“Bisa kau jujur pada kami? Siapa ayah dari bayimu?” Laura mencoba bertanya langsung pada hal inti yang membuat mereka penasaran.
“A ... a ....” Tampak kegugupan dari wajah Arumi dan ia tak mampu menjawab.
“Dokter tadi mengatakan jika dirinya merasakan ada detak jantung bayi dalam perutmu, lalu ... kami juga menemukan ini dari tong sampah di kamar mandimu,” jelas Laura sambil menunjukkan sebuah alat uji kehamilan bekas Arumi memeriksa urine tadi pagi.
Perempuan muda itu benar-benar tak menyangka. Rahasia yang rencananya berusaha untuk ia tutupi, malah terbongkar lebih cepat.
“Katakan pada kami!” pinta Laura sekali lagi.
Arumi merasakan tangannya ditepis oleh sang ibu. Wanita paruh baya yang tadi sedang sesenggukan itu tiba-tiba menatap Arumi dengan tajam.
“Ibu akan meminta pacarmu bertanggungjawab. Ibu tahu, jika ini anak dari pacarmu itu, kan! Kita pulang kampung setelah pacarmu mengaku. Nanti kamu dan dia menikah di kampung saja!” Begitu tegas Bi Minah sambil menggenggam tangan Arumi. Wanita tersebut juga seakan berusaha menghindari pandangan Nyonya Laura yang sedari tadi menatap sinis ke arah mereka.
“Ibu ... Arumi minta maaf!” Gadis itu berusaha memeluk pergelangan ibunya.
Akan tetapi dengan cepat dan wajah yang berapi-api oleh kemarahan, perempuan itu langsung menepis lengan anak perempuannya. “Tak perlu meminta maaf, semua sudah terjadi!”
Arumi hanya bisa menundukkan kepala. Ekor matanya melirik pada seorang pria yang berdiri dengan tenang di bagian pintu. Pria tersebut seperti sama sekali tak merasa bersalah. Rasanya ia ingin menjelaskan jika dirinya dipaksa dan dilecehkan saat itu oleh cucu sulung dari majikan ibunya tersebut. Akan tetapi, dirinya tak punya kuasa dan seperti orang yang ketakutan saat hendak membicarakan hal tersebut.
“Nyonya tak perlu khawatir, kami akan pergi dari tempat ini dan mendatangi pacar Arumi.” Bi Minah berkata sekali lagi sambil turun dari ranjang Arumi.
“Ibu ...!” Arumi berusaha mencegah sang ibu.
Karena bagaimanapun juga, bukan pacarnya yang melakukan hal ini. Ia tak mau sang ibu meminta pertanggungjawaban dari orang yang salah.
Sementara itu, Laura yang tadinya bertanya pada Arumi mendadak diam karena ia tak mendapat jawaban yang ia inginkan. “Aku kira, Aksa benar-benar menghamili anak pembantu ini.” Wajahnya mendadak kecut karena Arumi malah diam.
Nyonya Marissa tak mau berkata apa-apa lagi pada Bi Minah dan anaknya. Perempuan tersebut keluar dari kamar Arumi dan ia melirik tajam pada Aksa secara sekilas.
Bisa-bisanya Aksa mengakui hal tersebut dan membuat ia langsung marah juga kecewa atas pernyataannya.
**
“Bisa-bisanya, Aksa mengaku dia menghamili anak pembantu.” Nenek tua itu menggerutu sendiri saat ia berada di kamarnya. Hanya ada beberapa pelayan yang saat itu sedang menemaninya. Akan tetapi, para pelayan tersebut hanya diam dan tak berhak untuk menimpali ucapan dari sang majikan.
“Kalau orang luar sampai tahu, reputasi keluarga ini benar-benar hancur. Aksa satu-satunya keturunan yang saat ini bisa menjalankan perusahaan setelah papa dan kakeknya tiada. Jika Aksa sampai terlibat skandal seperti ini, bisa tamat riwayat perusahaan keluargaku.” Wanita berusia lanjut itu menangis sambil mengusap pipinya. Dia menatap pada foto dari mendiang sang suami yang seakan mendengarnya bicara.
“Jika anak itu dan ibunya bersikeras menuntut Aksa untuk bertanggung jawab, aku akan membuat Arumi menggugurkan kandungannya.” Marissa meremas tangannya sendiri pertanda jika ia sedang kesal.
“Aku tetap akan menikahi Arumi, Nek.” Suara bariton yang tegas itu muncul dari pintu kamar Marissa.
“Aksa! Kurang ajar kamu! Seenaknya saja memutuskan.” Nyonya Marissa memutar bola mata karena kesal pada cucunya sendiri.
“Lebih baik kita sembunyikan saja Arumi selama dia mengandung anakku, setelah melahirkan, kami akan bercerai.” Aksa mencoba membuat sang nenek mengerti akan rencananya.
“Tidak! Nenek tidak setuju!” Bagaimanapun juga, Marissa ini mendambakan pernikahan sang cucu yang mewah. Tentu saja dengan istri yang berasal dari keluarga terpandang, ia bahkan sepertinya merencanakan pesta tujuh hari tujuh malam untuk pernikahan Aksa nanti.
“Kalau begitu, seumur hidup aku tak akan menikah!” seloroh Aksa yang memang sudah berniat untuk tak berhubungan dengan perempuan lagi, semenjak ia dikecewakan oleh mantannya.
“Bagaimana bisa kamu berkata begitu!” Marissa mendekat pada cucunya dengan mata yang mendelik. Tampak perempuan itu berusaha mengatur pernapasannya karena ia sedang menahan amarah.
“Aku akan menikah diam-diam dengan Arumi, tak perlu banyak orang yang tahu. Biar anak yang dilahirkan nanti menjadi penerusku, lalu aku akan menceraikan ibunya tepat setelah melahirkan.” Aksa melanjutkan ucapannya seakan tanpa ragu.
Wanita tua itu tak bisa menimpali apa-apa. Ia hanya bisa menatap cucu sulungnya itu dengan tatapan tak percaya.
“Nenek tak bisa menghalangi keputusanku apalagi ikut mengatur kehidupan pribadiku. Karena seluruh hak manajerial perusahaan telah secara penuh diwariskan padaku begitu pula saham keluarga kita. Nenek tak bisa lagi menggunakan hal itu mengancamku seperti dulu!” tegasnya sekali lagi.
Nyonya Marissa pun langsung merasa sesak begitu mendengar ucapan Aksa. Keinginan dari cucunya itu sangat bertolak belakang dengan mimpinya. Wanita tua itu memegangi dadanya, karena ia merasa ada senjata yang menghunjam ke arah sana. Sambil terengah-engah, ia pun merasakan kakinya yang tak kuat menopang berat tubuhnya.
Lalu seketika ....
“Nyonya Marissa!”
“Nenek!”
“Nyonya, kau baik-baik saja?”