7. Pak Aksa Pakai Pengaman, Kan?

1206 Words
Menyilangkan kedua tangan sambil membuat ekspresi aneh dengan dahi berkerut. Itu yang sekarang dilakukan oleh Aksa untuk menanggapi permintaan Arumi. Dia memandangi gadis di depannya itu dengan tatapan yang ... enggh ... tidak bisa dijelaskan. “Kenapa bapak melihat saya seperti itu?” Arumi merasa risi dan langsung membuang pandangannya ke arah lain. Tentu saja, satu tangannya tanpa sadar masih mengelus-elus perut sejak tadi. “Kita benar-benar harus bicara sepertinya,” ujar Aksa yang kali ini ini tanpa kompromi lagi dia menggaet salah satu lengan Arumi dan menggandengnya masuk apartemen. “Pak Aksa, Pak Aksa, tunggu!” pinta Arumi sambil menahan Aksa. Akan tetapi kali ini Aksa tak menggubris permintaan Arumi. Pria tersebut membawa Arumi untuk masuk kembali ke tempat tinggalnya, yang membuat Arumi harus merasakan lagi trauma akibat kejadian semalam. Aksa menutup pintu dan menguncinya. Ia melepas sepatu dan berjalan masuk. Kali ini Arumi diam. Apartemen dengan nuansa warna yang hangat itu terasa begitu dingin dan menakutkan bagi Arumi. Perempuan itu bahkan enggan melepas sepatunya untuk masuk ke sana. Ia merasa harus kembali menemui kawan-kawannya karena memiliki tanggung jawab dalam kerja kelompok. Tapi apa yang sekarang sedang ia lakukan? Ada di sarang penjahat yang semalam telah merenggut kesuciannya? Arumi pun bergegas membalik badan dan berjalan ke arah pintu, dia mencoba pintu apartemen di saat suara bariton itu juga mengeluarkan kalimatnya. “Aku akan biayai operasi keperawananmu, tapi ada beberapa yang perlu aku tahu. Bisakah kau untuk menuruti ucapanku untuk bicara denganku sekarang?” Tangan Arumi yang memegang knop pintu pun langsung turun. Dia membalik lagi badannya dan kini perempuan berambut panjang itu kembali menghadapkan wajah ke arah Aksa, pria yang kini telah melepas dasi dan juga jasnya. Kemeja merah marun dan juga celana hitam merupakan outfit kantor Aksa hari ini, akan tetapi pria tersebut terlihat sangat trendi seperti seorang model yang sedang memperagakan busana formal. “Duduk!” titah pria tersebut sambil menunjuk pada kursi di ruang tengah. Kaki Aksa pun mengambil pada sepasang slipper dan diberikan pada Arumi. Ia menunjuk pada benda tersebut menggunakan kedua kakinya. “Lepas sepatumu, pakai ini!” titahnya. Ragu, tapi ia patuh. Arumi pun melepas sepatunya dan kaki dengan kaus berwarna krem itu segera masuk pada slipper yang baru saja ditunjukkan oleh Aksa. Perempuan itu langsung mengekor pada pria berkemeja marun yang kini duduk di sofa berwarna coklat tersebut. Duduk berhadapan, tak membuat mereka nyaman bertatapan. Aksa duduk di salah satu sofa panjang dengan kaki yang terlipat dan sebelah tangan menyandar di sandaran kursi. Sementara Arumi, duduk dengan merapatkan kaki, kepala menunduk dan tatapannya fokus pada dua ibu jari yang sedang memainkan kuku. “Sengaja aku mengundangmu ke sini untuk membicarakan masalah semalam.” Aksa membuka pembicaraan mereka langsung ke intinya. “Tak aku sangka kamu lebih mudah dari yang aku kira,” lanjutnya. Arumi pun langsung mendongak dan menatap Aksa dengan mata yang menyipit. “Lebih mudah? Maksudnya?” Dia tampak tersinggung dengan ucapan Aksa. “Ah, maksudku bukan berarti aku menilaimu w**************n, tapi ... ya ... you know what i mean,” ujar Aksa yang terkejut melihat perubahan ekspresi dari Arumi yang tiba-tiba menatapnya dengan cara yang seperti itu. “Sa ... saya tidak tahu, tuh!” timpal Arumi memberanikan diri meski sebenarnya ia gugup. “Oke begini. Aku mau tanya, berapa harga operasi selaput dara yang harus aku keluarkan?” tanya Aksa. Dia bersedia melakukan hal tersebut, karena pria itu sadar jika Arumi masih perawan. Ia justru bersyukur jika masalahnya dengan Arumi bisa selesai seperti itu. Arumi menggeleng. “Saya tidak tahu, bahkan saya juga tidak tahu rumah sakit mana yang bisa mengoperasi saya,” tutur Arumi berterus terang. Jujur saja, ide untuk meminta operasi selaput dara itu hanya terlintas begitu saja dan langsung ia ucapkan. Aksa kali ini yang menggelengkan kepala. “Bisa-bisanya!” Dia menggaruk kepala sambil membuka lipatan kakinya yang kini dalam posisi terbuka. “Begini, kalau begitu, aku yang akan mencarikan rumah sakit untukmu. Di luar negeri kalau perlu agar keluarga kita tidak perlu tahu. Kau tidak berencana untuk menceritakan hal ini pada ibumu, kan?” tanya Aksa khawatir. Arumi pun spontan menggelengkan kepala sambil menggerak-gerakkan telapak tangannya. “Tidak mungkin! Tidak boleh ada yang tahu!” “Baiklah kalau begitu kita sudah sepakat agar tidak boleh ada yang tahu!” ujar Aksa. Perempuan dengan tas jinjing itu pun mengangguk dua kali dengan mantap. “Karena ibumu tak boleh tahu, maka kau juga harus pastikan agar keluargaku juga tak ada yang tahu!” ucap Aksa sekali lagi. “Kau tidak berencana untuk meminta ganti rugi secara dobel, kan?” tuduhnya yang membuat Arumi membelalakkan mata. Perempuan itu mendengus kesal. “Bisa-bisanya dia menuduhku begitu!” gerutu Arumi dalam hati. “Tentu tidak!” tegasnya kali ini dengan ekspresi kesal. Anggap Aksa juga setuju, pria tersebut mengangkat kedua alis sambil mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau begitu, aku akan carikan dokter bedah plastiknya dengan baik, setelah itu semua biaya operasi untuk mengembalikan keperawananmu akan ditanggung oleh uang pribadiku.” Arumi mengangguk. “Saya ... bisa pergi?” tanyanya. “Setidaknya ucapkan terima kasih untuk aku,” sindir Aksa pada Arumi yang bersikap tak acuh padanya. “Terima kasih? Untuk siapa? Anda? Atas dasar apa saya harus berterima kasih? Saya hanya meminta Anda untuk mengembalikan keperawanan saya, hanya itu! Kenapa harus saya yang berterima kasih?” protes Arumi sambil berjalan meninggalkan ruang tengah. Aksa pun berdiri dengan kikuk. Benar juga apa yang diucapkan oleh Arumi, kenapa dirinya ingin mendapatkan terima kasih dari perempuan itu? “Emm ... oke, baiklah kalau begitu. Aku anggap kita sepakat seperti ini. Lalu ... bila ada kejadian tak diinginkan, apa kau benar-benar tak akan menggangguku?” tanya Aksa sekali lagi. Arumi mengerutkan dahi. “Kejadian tak diinginkan?” Ia mengulang ungkapan Aksa. “Maksudnya?” “Hamil, misalnya. Kau tak akan meminta pertanggungjawaban dariku, kan?” jelas Aksa. “Pak Aksa memakai pengaman, kan? Seharusnya aku tidak hamil karena itu hanya sekali dan Pak Aksa menggunakan pengaman,” timpal Arumi yang tak mau mempersulit dirinya sendiri. “Oh, kau benar!” Aksa mengangguk-anggukkan kepala dan ia pun membiarkan perempuan tersebut pergi dari apartemennya. ** Pria dengan tubuh bidang itu menghabiskan sore harinya dengan berolahraga. Keringat menetes dari dahi dan ia terus memfokuskan diri sambil berlari di atas threadmill. “Kau bukan tipe orang yang berolahraga di waktu seperti ini. Apa ada masalah di perusahaan?” Seorang pria menyapa Aksa dan ikut berlari di sampingnya. Aksa mengurangi laju threadmill-nya, dia mengambil handuk dan menyeka keringat. “Aku baru mulai, kenapa kau berhenti,” tutur kawannya tersebut. “Lanjutkanlah! Aku balik dulu!” tutur Aksa sambil mengambil botol minumnya. Dia pergi menuju lift dan kembali ke unit apartemennya. Memang benar, Aksa bukan tipe pria yang suka berolahraga sore hari. Dirinya melakukan olahraga di luar jadwal, hanya jika pikirannya sedang terganggu saja. Di perjalanan menuju ke apartemen, dia masih tak bisa berhenti memikirkan kalimat terakhir yang diucapkan oleh Arumi. “Pak Aksa menggunakan pengaman, kan?” “Sial!” Dia memukul dinding lift sambil menyalurkan seluruh energi ke dalam kepalan tangannya. Aksa berlari menuju ke unitnya begitu pintu lift terbuka. Pria tersebut segera masuk dan menuju ke dalam kamarnya, untuk melihat benda yang tergeletak dalam nakas. Empat bungkus pengaman yang utuh di sana. “Sial, aku memang tidak memakainya!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD