Bi Minah langsung begitu saja menurunkan tas yang dijinjing oleh tangannya. Perempuan tua itu langsung berbalik menghadap pada sang anak dan menghalangi Arumi dari sorot tajam milik cucu majikannya tersebut.
“Arumi ... kamu mau menutupi fakta dari kehamilanmu?” tanya Aksa dengan suara beratnya. Wajahnya benar-benar menunjukkan kekesalan karena sikap dari dua wanita di depannya yang berusaha menghindar darinya, seakan dia adalah seorang laki-laki yang hendak berbuat jahat pada mereka.
Baik Bi Minah maupun Arumi, tak ada satu pun yang menimpali Aksa.
Laki-laki itu merasa seperti orang menyeramkan nan bodoh ketika berbicara sendiri di depan dua perempuan yang sedang ketakutan. Bidang dadanya tampak naik turun dari balik kemeja yang ia kenakan, menunjukkan jika dirinya sedang berusaha untuk mengatur napas yang selaras dengan emosinya.
“Bu ....” Arumi malah semakin menutupi wajahnya di balik pundak sang ibu. Semenjak awal setelah kejadian itu, bahkan Arumi sudah merasa takut jika melihat wajah Aksa. Apalagi sekarang ekspresi pria tersebut benar-benar terlihat kacau.
Bi Minah pun meminta Arumi untuk duduk. Melalui tangan yang ia letakkan di pundak anak semata wayangnya itu, ia mendorong pelan tubuh Arumi dan mendudukkannya di tepi ranjang. Kemudian dengan sigap, perempuan dengan penutup kepala berwarna merah tersebut menatap pada Aksa.
Kedua mata mereka bertatapan.
Walaupun terlihat sedang merasa kesal, tapi ada sirat permohonan dari tatapan kedua mata Aksa. “Bi Minah ..., Aku mau ... Arumi ....” Dia bahkan kini menurunkan nada bicaranya.
Perempuan paruh baya itu menjadi bingung sendiri bagaimana menanggapi ucapan Aksa. Dia mengalihkan pandangan ke sembarang arah, sambil memainkan ujung dari semua jemarinya.
“Aku tidak berbohong, akulah yang menghamili Arumi,” ucap Aksa dengan penuh ketegasan.
Masih diam terpaku dengan tatapan kosong ke arah ujung kusen pintu di samping Aksa, Bi Minah tak mampu untuk membuka mulutnya.
Sementara itu, di tengah suasana yang entah bagaimana mendeskripsikannya, seorang wanita dengan usia mendekati paruh baya mendekat dengan sepatu berhak tinggi yang mengetuk lantai dengan nyaringnya.
Sedari tadi tak ada orang yang berani lewat ke lorong depan kamar Arumi karena adanya Aksa. Tapi kali ini, seorang perempuan dengan tegas melenggang dan memunculkan kembali wajahnya di depan pintu kamar Arumi.
“Nyo ... nyonya ... Laura,” ucap Bi Minah terbata-bata.
Aksa sendiri langsung menoleh ke kanan dan mengarahkan pandangan kepada orang yang berdiri setinggi pundaknya tersebut.
“Kenapa kau melihatku?” tanya Laura dengan nada sinis saat anak tiri yang usianya hanya terpaut beberapa tahun lebih muda saja darinya.
Dengan mata berputar dan ujung bibir melekuk sinis. “Kau memang selalu berada di tempat dan waktu yang salah!” ketus Aksa pada ibu tirinya tersebut.
“Apa katamu?” Kali ini sambil berkacak pinggang, Laura membalas tatap tajam dari Aksa.
“Kau!” Aksa mengarahkan telunjuk di depan wajah ibu tirinya. “Kau tidak akan pernah mendapatkan apa yang kauinginkan! Kejadian ini tidak akan berpengaruh pada kedudukanku, apalagi pada STATUSMU di keluarga ini!”
Sambil menekankan kata ‘Statusmu’ untuk Laura, Aksa pun langsung berbalik meninggalkan tempat tersebut.
Mengubah posisi tangan menjadi bersedekap, Laura melirik kepergian Aksa sambil menggeleng kepala. Dia pun masuk dan melihat kedua asisten rumah tangga yang berstatus ibu-anak itu menunduk tanpa menatap padanya.
“Aksa berkata seperti itu padamu, apa itu artinya ... anak itu memang anaknya Aksa? Calon ... cucuku?” tanya Laura dengan senyum tipis yang penuh arti.
Bi Minah menggeleng, sementara Arumi menunduk.
“Aku bilang, kalau itu memang anaknya Aksa, kalian minta saja pertanggungjawaban darinya. Keras kepala sekali!” ketus Laura yang terlihat jengkel juga pada akhirnya. Wanita itu pun meninggalkan kamar Arumi lagi dan ikut pergi seperti Aksa.
Akan tetapi, saat Laura baru beberapa langkah meninggalkan kamar tersebut, ia melihat Aksa yang berjalan kembali ke arah menuju kamar Arumi.
Suasana lantai dua di asrama ART itu terlihat sangat tegang. Dua orang majikan berlalu lalang dengan suara sepatu mereka yang membuat ketukan tanpa irama. Kamar yang lain semua tertutup, tak ada penghuni kamar yang tinggal di sana. Hanya Arumi dan ibunya, berdua menghadapi suasana tegang di depan dua majikan mereka.
Tatap mata Laura tajam mencolok ke arah Aksa. Sementara Aksa menatap lurus ke depan seakan tak menyadari keberadaan ibu tirinya. Lebih tepatnya, pria itu tak pernah menganggap sang ibu tiri ada.
Hubungan mereka memang tak pernah baik, apalagi ketika ayah dari Aksa meninggal dunia. Bagi Aksa, tak ada keharusan dirinya menganggap Laura sebagai seorang ibu.
“Arumi!” Suara bariton itu lagi-lagi mengejutkan ibu dan anak yang sedang ada di kamar tersebut.
Reaksi Arumi dan Bi Minah yang terlihat gugup tak mempengaruhi perintah dari Aksa. Pria itu tak peduli dengan bagaimana wajah yang ditunjukkan oleh Arumi, tetap saja tatapan dan ucapannya selalu mengintimidasi.
“Jangan pergi dari rumah ini!” titah Aksa dengan tegas.
Tanpa menunggu tanggapan dari Bi Minah maupun Arumi, Aksa pun langsung pergi dan meninggalkan kamar Arumi dengan wajah Arogan yang ekspresinya sangat membekas dalam benak anak gadis itu.
“Bu ... tapi Arumi, ingin pulang,” rengek perempuan itu di depan ibunya. “Ibu tak perlu pergi, biar Arumi yang pergi.”
Bi Minah mengembuskan napas dengan keras. “Rumi ... jujurlah pada ibu. Jadi ... benar? Ini semua ... Mas Aksa yang ...?” Ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Arumi mengangguk pelan. “Iya Bu, Pak Aksa yang ....” Isak tangis menjadi kelanjutan dari penjelasan Arumi.
Sementara itu, Bi Minah tak sanggup lagi berkata apa-apa. Karena bagaimanapun juga, ia sempat mendengar sekilas pertentangan dari Nyonya Marissa terhadap kehamilan Arumi dan pengakuan Aksa.
“Biarkan Rumi pergi, Bu.”
**
Tahun ini akan menjadi cukup berat untuk Arumi menjalani. Bahkan di bulan kedua dirinya mendapati kehamilan yang tak diinginkan dalam perutnya.
Ada seorang janin yang mengisi rahim dan memiliki hak untuk diperjuangkan kehidupannya. Belum lagi, ia terjebak di keluarga majikan dari sang ibu dan juga harus menikah dengan pria yang membuat ia trauma dalam hidupnya.
Dinding-dinding kamarnya seakan telah menjadi telinga bagi Arumi yang sering mengucapkan keluh kesahnya seorang diri dalam kamar. Bahkan gadis itu tak pernah mengutarakan apa yang ia rasakan pada sang ibu.
Baginya, sorot matahari yang masuk melalui celah daun menuju kamarnya adalah hiburan sementara di pagi hari setelah ia menjalani hari yang panjang kemarin.
Bahkan merupakan suatu keajaiban untuk Arumi karena ia masih bisa menghirup udara pagi ini, di mana kemarin ia berpikir jika hidupnya akan berakhir begitu saja setelah kehamilannya diketahui oleh seluruh orang rumah.
‘Tok! Tok!” Dua kali ketukan pintu dan setelah itu terdengar orang yang memegang gagang pintu lalu mendorong dengan kencang.
‘Blak!’ Pintu itu terbuka menampakkan lagi pria yang paling dihindari oleh Arumi di rumah ini.
Pria tersebut masuk tanpa permisi sambil menutup kembali pintu kamar Arumi.
Jelas saja, perempuan itu membuang muka dan tak mau melihat wajah Aksa. Biar ia disebut tak sopan pun, Arumi tak peduli. Justru jika ia diusir dari rumah tersebut adalah sesuatu yang lebih baik baginya.
“Arumi, kita mulai membicarakan pernikahan!”
“Kenapa Anda selalu seenaknya membuat keputusan?”
“Ya ... karena ... emmm ... memang apa yang salah?”
Arumi menertawakan tanggapan Aksa. Tertawa getir lebih tepatnya.
“Kau tidak mau laki-laki yang telah menghamilimu ini bertanggung jawab?” tanya Aksa lagi.
Arumi kini tak menjawab. Sekarang baginya, bukan hanya sekedar tanggung jawab dari Aksa. Tapi seluruh hidupnya yang sudah hancur. Pendidikannya, cita-citanya, bahkan cerita cintanya.
“Sebelum saya mengandung anak ini. Sebelum saya masuk ke apartemen Anda. Saya juga punya kehidupan dan rasanya saya sudah mati begitu Anda melakukan hal b***t itu pada Anda. Apa hanya dengan kita menikah akan memperbaiki semuanya?”