“Gugurkan, jangan? Gugurkan, jangan?” Arumi berjalan mondar-mandir sambil memegangi perutnya sendiri. Dilema sedang dirasakan oleh perempuan tersebut. Padahal dia sudah berencana untuk melupakan tragedi di apartemen Aksa dengan operasi selaput dara, tapi kenapa di rahimnya malah tumbuh janin yang tidak ia inginkan.
Rasa amarah, sedih dan takut bercampur aduk dalam hatinya. Perempuan itu merasa dirinya tumbang tapi ia terus memaksakan harus berdiri.
Berbaring di atas ranjang, tubuhnya menyamping menatap jendela yang terbuka, seakan ia ingin menggapai awan, lalu terbang bersama ke dunia yang entah di mana.
Menangis, dengan air mata yang mengering.
Berduka, dengan hati yang tak mengenal lara.
Prinsip dalam hidup Arumi, tak ada yang lebih menyakitkan baginya dibanding melihat ibunya disakiti oleh orang lain. Tapi ... untuk saat ini, ia sendiri tak mengerti. Cobaan apa yang membuat hatinya tiba-tiba menjadi rapuh dan terasa seperti ingin lenyap dari dunia ini.
Langkah kaki terdengar dari luar kamar, disusul dengan ketukan pintu dan sebuah panggilan untuknya. “Rumi .... Bu Marissa nyariin kamu!” Suara dari sala seorang asisten rumah tangga selain sang ibunda.
“I ... iya, Bi .... Bilangin Arumi baru selesai mandi, mau ganti baju dulu!” Meski awalnya agak gugup, tapi dia tetap mencoba untuk menjawab dengan lantang agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Segera Arumi mengusap mata yang untungnya belum terlalu memerah. Dia pun merapikan baju dan menutup jendela kamar yang tadinya terbuka. Arumi mengambil sisir dan ia membuat rambut panjang itu kembali tergerai dengan rapi.
Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Lambat laun, tangan Arumi meraih gagang pintu. Kemudian membuka pintu itu dan keluar dari kamarnya.
Perempuan tersebut mencoba memperbaiki wajah dan ekspresinya. Terutama di bagian senyum yang harus selalu tersungging di belahan bibir cantiknya.
“Ingat, Arumi! Tidak ada yang lebih menyakitkan, selain melihat ibu menangis. Aku harus fokus untuk membahagiakan ibu! Yang penting ibu bahagia!” Berulang kali dia meyakinkan dalam hati tentang niatnya.
Keluar dari sarang tempat ia menumpahkan rasa sedih. Pintu seakan menjadi batas nyata perubahan ekspresi dari perempuan tersebut. Garis bibirnya terangkat, rona mukanya terlihat baik-baik saja. Air mata di pipinya, ia paksa mengering sempurna. Lebih beruntungnya lagi, mata sembab itu mampu bersembunyi di balik senyum manisnya.
“Bi ... di mana?” tanya Arumi saat ia bertemu lagi dengan salah satu ART yang memanggilnya tadi.
“Di ruang tengah, Mi.” Bibi tersebut senyum lebar saat menunjuk ruangan yang dimaksud. “Ibu kamu juga di sana,” lanjut perempuan paruh baya tersebut.
Arumi pun mengangguk sambil tersenyum. “Iya deh!”
Menarik napas panjang lalu mengeluarkannya dalam sekali embus. Dalam keadaan biasa saja, Arumi memang selalu gugup untuk bertemu dengan majikan sang ibu. Apalagi saat perempuan itu sedang merasa tidak baik-baik saja, rasanya ia harus mengeluarkan energi sepuluh kali lipat untuk mengurangi rasa gugupnya.
Dinding ruangan yang ia lewati seakan memperhatikan dirinya, suara gaduh di ruangan yang akan ia tuju sudah terdengar di posisi ini. Seperti biasa, Arumi akan menggigit bibir bawah saat ia merasa gugup.
Suara pintu yang ia ketuk menghentikan pembicaraan orang-orang yang ada dalam ruangan itu. Seseorang terdengar melangkah mendekati pintu dan membukanya.
“Rumi, sini sayang!” Tidak lain adalah Bi Minah sendiri yang membukakan pintu untuk anaknya.
Arumi menyambut senyum sang ibu dengan lebar. Tak lupa juga dia menyapa orang-orang yang sedang mengobrol sambil memegang cangkir teh di tangan mereka.
Akan tetapi, senyum itu tertahan saat ia menyadari ada seorang yang menatapnya dengan cara yang berbeda dari semua orang yang ada di sana. Keringat dingin mulai muncul lagi di dahinya. Seakan ada yang meniup-niupkan udara panas di tengkuknya, Arumi masih berusaha untuk mengendalikan perasaannya.
“Arumi ... ada yang mau saya bicarakan,” ucap suara lembut dari Nyonya Marissa disertai dengan kekeh ringannya.
Pandangan Arumi pun teralih pada perempuan lansia dengan sebagian rambut putih itu. Dia memberikan senyuman lebar dan memperhatikan Nyonya Marissa.
“Arumi, mungkin kau sudah mengenal dengan cucuku. Dia Aksa.” Tak segan-segan, Nyonya Marissa memperkenalkan orang yang sedang sangat dihindari Arumi kepadanya.
Di saat perempuan itu mencoba mengontrol apa yang ia rasakan saat melihat pria tersebut untuk yang ke sekian kalian. Ternyata sang nyonya besar malah dengan sengaja membuat Arumi agar kembali menatap orang itu. Iya, pria dengan tatapan tajam nan menusuk itu adalah Aksa. Rasanya Arumi selalu panas dingin setiap bertemu dengan pria tersebut.
“Mulai sekarang, Aksa akan sering pulang ke rumah.”
Bagai disambar petir, Nyonya Marissa memberitahukan suatu hal yang paling tidak diinginkan oleh Arumi.
Kemudian, pria itu juga menimpali. “Dan selama aku di sini, aku mau kamu yang mengurusi keperluanku. Kudengar, kamu baru semester dua dan sering mencari pekerjaan sampingan. Selama kamu membantuku, aku akan memberimu pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasimu!” tutur Aksa di depan sang nenek dan juga ibu tirinya yang sejak tadi tak bicara.
“Kenapa ...? Anu ... maksud saya, saya ... takut tidak sanggup melakukannya, Pak. Lebih baik, Pak Aksa mencari asisten yang lebih berpengalaman saja,” tolak Arumi dengan halus dan hal itu malah menimbulkan kecurigaan dari Bi Minah.
“Rumi ...,” tegur perempuan paruh baya tersebut.
“Aku memang ragu dengan diriku sendiri, Bu.” Arumi berbisik pada sang ibunda.
“Ini ... kesempatan bagus untukmu, Rumi. Menurutku, jika nanti kau bisa bekerja di perusahaan keluarga Nareswara ... itu bisa menjadi masa depan yang bagus untukmu.” Laura akhirnya mengeluarkan suaranya dan berpendapat.
Sementara itu, Aksa sendiri hanya mengusap dagu menggunakan telunjuk dan ibu jarinya. Pria tersebut juga meletakkan kaki kanan di atas kaki kirinya. Jelas sekali, Aksa sadar jika Arumi sedang menghindar darinya.
“Rumi ....” Bi Minah kembali memasang ekspresi memohon pada sang anak perempuannya. Dia merasa cukup segan pada Nyonya Marissa dan juga Aksa, untuk itu ... ketika ia mendengar Arumi menolak tawaran barusan, hal tersebut membuat dirinya merasa tak enak pada majikannya.
“Kamu terlalu sibuk dengan perkuliahan, ya?” tanya Nyonya Marissa yang mencoba mengerti dengan pendapat Arumi.
Terpaksa gadis itu mengangguk, meski ia tak tahu alasan apa yang membuat dia menolak tawaran tersebut.
Arumi pun menggeser posisi agar berdiri lebih dekat dengan sang ibu. Ia bersembunyi di balik bahu Bi Minah.
“Arumi ...?” panggil Aksa tiba-tiba dan membuat suasana semakin canggung saja.
“I ... iya, Pak.” Arumi memunculkan sedikit wajahnya.
“Kenapa kamu menolak tawaran Aksa, Nak? Kalau kamu sibuk, bisa katakan saja.” Nyonya Marissa menyahut lagi.
Akan tetapi, belum sempat Arumi menjawab, suara bariton yang dingin itu menimpali terlebih dahulu. “Arumi? Apa kamu menghindariku?”