02: DUA JIWA YANG HANCUR

1559 Words
Nina di mana? Nina, tolong kabarin Ara. Nina … please, kasih tau Ara Nina di mana. Nina … Ara kangen. Nina ngga kangen sama Ara? Papa akhirnya boleh pulang Nin. Tiga hari lalu kondisinya sempat agak drop karena baru tau kabar kalau Nina dan Mas Rio menghilang. Kami semua ngga bisa paham apa alasan kalian pergi. Nina, tolong jawab chat Ara ini. Nina, salah Ara apa? Baby, where are you? Tadi Reina ke rumah. Pas lihat Ara, Reina tiba-tiba nangis sampai sesenggukan. Ara pikir ada apa-apa sama Nina. Ternyata Reina yang kangen sama Nina. Pulang Nin … Ara jemput ya, Sayang? Ara ke rumah Nina tadi. Ada orang-orang yang Ara ngga kenal. Katanya lagi lihat rumah itu. Kalau nanti Nina pulang, Nina ke mana? Mungkin cuma Ara yang kangen Nina, yang nangis karena Nina pergi, yang berharap ketemu Nina lagi. Anak-anak di grup IPA 1 pada heboh begitu tau Nina ngga lagi di Bandung. Beberapa japri Ara, nanyain keberadaan Nina. Dan ngga ada yang Ara jawab. Karena Ara sendiri ngga tau Nina di mana. Ara akhirnya left grup, Nin. Nina … Ara sakit. Nina, maafin Ara. Pulang Nin …. Ara kepingin tidur dan ngga bangun lagi. Ara bingung ngga ada Nina. Rasanya sakit banget, Nin. Kalau Ara mati, apa Nina akan pulang? Ara meletakkan ponselnya setelah membaca rentetan chat yang ia kirimkan ke nomor Nina. Nyaris setiap hari. Sudah tiga puluh satu hari tanpa kabar tentang Nina. Dan sudah lima hari terakhir Ara enggan meninggalkan tempatnya tinggal, menggunakan alibi sakit untuk mangkir dari jadwal kuliahnya. Ya, Ara tak sesakit itu untuk sampai membolos berhari-hari. Ia menutup mata, mencoba melelapkan diri. Sejak Nina pergi, malam terasa begitu panjang baginya. Ara sulit terlelap pulas. Setiap kali netranya memejam, bayangan Nina pasti muncul mengganggungnya. Senyum manis sang kekasih, tawa riangnya, raut wajah di tiap ekspresi, bahkan suara indahnya. Yang lebih menyiksa, memori saat-saat terindah mereka kini terasa begitu menyakitkan, menghajar jiwa tanpa ampun. Ara menghapus tetes air matanya yang lagi-lagi mengalir tanpa permisi. Di saat yang sama, suara satu unit motor yang cukup ia kenali berhenti di halaman muka kediamannya. Ara tetap bergeming, enggan mengubah posisi. “Assalammu’alaikum!” ujar sang tamu. Ara diam saja, menjawab doa itu di dalam hati. “Dosa lo, bro! Menjawab salam tuh hukumnya wajib!” tutur Gail, satu-satunya sahabat sejak masa kecil yang Ara miliki. “Udah banyak dosa gue! Nambah dikit ngga kelihatan!” sahut Ara. “Istighfar lo!” “Astaghfirullah.” “Ayo buruanlah!” Akhirnya Ara mengangkat kelopak matanya. “Ngapain?” “Tenis! Ngapain lagi?” Ara mendengkus. Ia mengubah hadap tidurnya, membelakangi Gail. “Ngga mood! Lo aja sana. Ngga ada duit juga, belum bayar perpanjangan member gue.” “Kali aja Nina muncul di court?” Ara tak menjawab. Terdiam tanpa kata. “Ayolah. Kata lo, ngga akan nyerah nyari Nina? Sejak Nina ngilang, lo belum pernah main lagi, bro.” “Gimana gue bisa main, bro? Lo tau kan gue ngga pernah main kalau ngga ada Nina,” balas Ara. “Ya makanya, kali aja ada petunjuk di lapangan. Who knows kan? Kalau ngga ada, ya nothing to lose. Daripada lo ngeringkuk aja sepanjang hari kayak begini. Mama, Papa, adik-adik lo ikutan stress ngeliat lo, bro.” “Malas gue, bro,” gumam Ara kemudian. Masih enggan mengiyakan ajakan Gail. “Ya udah, ke rumah sakit yuk?” “Ngapain?” “Kelakuan lo yang begini tuh tanda-tanda depresi, bro. Lo pilih dah. Mau ikut ke court dengan sukarela atau gue panggul ketemu psikiater?” Ara mencebik. Ia akhirnya mengangkat tubuhnya, duduk berhadapan dengan Gail. “Njir, bro … jelek banget lo! Cukuran sekalian sana!” “Bacot lo!” sambat Ara. Gail malah tergelak. Detik selanjutnya Ara bergerak sepelan mungkin, turun dari gazebo tempatnya bermalas-malasan lalu masuk ke bangunan utama rumahnya. Sementara Gail hanya bisa menggeleng, menatap iba punggung sang sahabat. ‘Lo di mana, Nin? Cowok lo dah kayak orang nyari mati begitu.’ Cukup lama Ara bersiap, namun Gail tetap menunggu dengan sabar. Toh ia datang mengajak sahabatnya itu dua jam sebelum jadwal latihan, khawatir butuh stategi dan waktu ekstra untuk membawa Ara keluar dari sarangnya. Berjarak lima belas menit dengan sepeda motor dari kediaman Ara, keduanya tiba di sebuah lapangan tenis di pusat kota. Ara turun dari jok penumpang, menunggu Gail, kemudian keduanya melangkah bersama menuju pintu utama. Tepat saat melewati akses masuk, perasaan aneh menyerang Ara. Kedua lututnya terasa sedikit bergetar, perutnya ngilu, jantungnya mencelos, tengkuknya terasa dingin. Ara menarik napas dalam, namun yang ia rasa justru seolah udara di sekitarnya menipis. Saat lapangan tenis membentang di hadapannya, kelebat memori tentang Nina berputar begitu saja. Dari mulai keceriwisannya, gerakan tubuhnya saat mengayun, Nina yang kerap mencuri pandang padanya saat mereka tak sedang bermain di satu lapangan, bahkan suara saat bola tenis yang menyentuh dasar court sebelum terpukul oleh raket, juga tawa ceria Nina saat ia memenangkan rally panjang. Segala hal tentang Nina sungguh terpatri jelas di benak Ara. “Bro?” tegur Gail seraya mencengkeram kedua lengan Ara. Tatapannya nampak khawatir mendapati Ara yang bercucuran keringan dan wajahnya yang pucat pasi. “Lo sakit?” Ara pun tak paham. Kepalanya tiba-tiba saja pusing dan perutnya mual luar biasa. Ara membekap mulutnya kemudian berlari begitu saja menuju toilet terdekat, memuntahkan semua isi perutnya yang berontak untuk dikeluarkan. Saat itu Gail tau, kesedihan yang menyergap Ara menghantam telak mentalnya. *** Amsterdam, tujuh bulan kemudian. Rio tergesa mengunci sepedanya lalu langsung berlari kencang menuju pintu masuk rumah sakit. Ia menerobos kepadatan manusia di lantai dasar itu, meliuk-liuk di kerumunan hingga tiba di depan sebuah pintu ganda dengan penanda bertuliskan BEVALLINGSKAMER. Bel di samping bingkai pintu tersebut Rio tekan. Beberapa saat kemudian, seorang perawat muncul di hadapannya. “Anda?” “Saya Abang dari Mevrouw Abinawa.” “Abang?” “Ya.” Perawat itu tak menanyakan apa pun lagi. Ia hanya mengangguk, meminta Rio mengenakan jubah medis khusus visitor, lalu mengantarkan Rio ke ruangan di mana Nina berada. “Mas ….” Tangis Nina pecah begitu saja. Sebelum hamil, Nina biasa merasakan nyeri setiap kali datang bulan, dan ia bisa mengatasinya. Namun, kali ini, sakitnya kontraksi melahirkan ternyata berpuluh kali lipat. Rio mengulurkan kedua tangan, memeluk sang adik seraya mengecupi kening dan puncak kepalanya. “Sakit, Mas,” erang Nina di tengah tangisnya. Sementara itu, di hadapan keduanya, beberapa orang perawat tengah mempersiapkan proses persalinan. “Maaf ya Dek, Mas baru datang. Tadi ada meeting, hape ngga Mas bawa. Mas salah.” “Sakit, Mas.” “Shht … sabar. Dzikir, Dek. Dzikir.” Beberapa saat kemudian, Esmee – dokter kandungan yang selama ini menangani kehamilan Nina – bergabung di ruangan itu. Ia menyapa ramah, mendekati Nina lebih dulu seraya melakukan pemeriksaan dasar sebelum akhirnya duduk di kursi tugasnya. “Bukaannya sedikit lagi lengkap. Tahan dulu, oke?” Tentu saja Nina tak sanggup menjawab. Hanya Rio yang mewakili dengan anggukan. “Sakit banget, Mas,” tangis Nina lagi. “Kuat, Dek. Kuat ….” “Kuingatkan lagi, mengejanlah seperti kau ingin buang air besar. Jangan berteriak atau mengejan di tenggorokan karena itu hanya akan membuatmu panik dan menghabiskan tenaga dengan percuma. Kau paham maksudku?” ujar Esmee seraya memiringkan posisi punggungnya agar bisa menatap Nina. "Ik begrijp het," jawab Nina, menyatakan jika ia mengerti arahan itu. Esmee mengangguk, kemudian menegakkan punggungnya kembali, berhadapan dengan pintu kelahiran sang bayi. Sesaat kemudian Esmee memulai instruksinya. Meminta Nina mengejan, bernapas dalam, lalu mengejan lagi. Berkali-kali. Berulang-ulang. Nina bahkan tak tau sudah berapa kali pengulangan yang ia lakukan. “Bayinya sudah terlihat. Tarik napas,” ujar Esmee. Rasanya, Nina sudah kehilangan tenaganya. Bahkan Nina tak mampu mengalihkan pikirannya agar nyeri itu sedikit terlupakan. Ia menarik udara sebanyak mungkin ke paru-parunya, mengejan kuat, mendorong sang bayi yang masih terkurung di jalan lahirnya. Rasa sakit itu sungguh luar biasa, tulang-tulangnya seolah patah serentak, Nina pikir ia tak mungkin bisa melewati perjuangan itu dengan selamat. Suara Esmee yang memberinya arahan perlahan menghilang, paras Rio pun semakin mengabur. Di ujung napas, saat Nina begitu ingin mengucapkan selamat tinggal, suara tangis terdengar begitu keras dan seketika mengembalikan kesadaran Nina yang nyaris hilang. Ajaibnya, tubuhnya yang tadi terasa remuk redam, seolah membaik kembali. Nina terkapar. Rio memeluknya erat, menciumi kening Nina berkali-kali. Jelas Nina melihat sang abang menitikkan air mata haru. Sementara di depan sana, beberapa petugas medis mengerubungi bayi yang baru Nina lahirkan. Bayi itu dibawa untuk diseka dan diperiksa nilai apgarnya. Berselang waktu, Rio mendekati keponakan kecilnya setelah diijinkan oleh Dokter Spesialis Anak yang bertugas. Rio menggendong bayi tampan itu seraya menyuarakan adzan di telinga mungilnya. Begitu selesai, Rio pun melangkah, mendekati Nina dengan melengkungkan senyuman hangat. Namun, saat Rio memperlihatkan sang bayi, Nina justru menangis kencang. Tangannya mengulur, mendorong tangan Rio, enggan menyentuh putranya. “Nina?” Nina menggeleng. Tangisannya terdengar sungguh menyayat hati. Bahkan para tenaga medis ikut tertegun. Sama tak pahamnya dengan Rio perihal apa yang tengah terjadi. “Nina?” “Pergi!” “Nina?” “Pergi!” “Nina, ini bayi kamu, Dek?” Nina tak menjawab. Rio mengerutkan kening lalu mengalihkan pandangannya pada sang bayi. Sesaat kemudian ia terduduk lemas di sisi ranjang, menitikkan air mata. Ia paham apa yang membuat Nina tiba-tiba meraung, menyuarakan penderitaannya. Bayi itu begitu mirip dengan sang ayah. Bahkan sedari baru dilahirkan seperti itu. Mungkin pertahanan Nina selama tujuh bulan terakhir menjauh dari Ara akhirnya luruh dan … hancur. “Ara ….”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD