06: TENTANG NADA

1484 Words
“Ini, Nad,” ujar Eri seraya menyodorkan paper bag berisi obat untuk Gala. “Makasih,” lirih Nina. “Dokter bilang apa?” “Common cold. Mungkin jadi rentan karena perubahan musim.” Eri mengangguk paham. “Kita langsung pulang?” “Kalau Bang Eri masih ada urusan ….” Eri terkekeh, membuat Nina kembali terdiam. “Mmm … aku ngga keberatan kok kamu ngomong lo gue. Maaf ya tadi aku ngomong agak keras pas di jembatan. I just … ngga tega aja lihat kalian.” “Mmm ….” “Dan aku ngga ada urusan lain!” lanjut Eri. “So, ayo kita pulang?” Nina masih belum menjawab, namun ia berdiri dari duduknya. “Boleh aku yang gendong Gala?” tanya Eri kemudian. “Ngga usah.” “You look tired, Nad. Seriously! Apalagi setelah panik dengan kondisi Gala tadi. Mumpung ada aku kan?” Nina mendengus keras, entah mengapa ia merasa frustasi. Namun, belum sempat menjawab, perut Nina mengeluarkan suara. Nina membelalak, sementara Eri mengerutkan kening menatapnya. “Kapan terakhir kamu makan?” tanya Eri dengan mimik serius. “Mmm … tadi siang.” “Hah? Kita makan dulu kalau begitu ya?” “Bang Eri?” “Ya?” “Duluan aja.” “Nada ….” “Gue mau nyusuin Gala dulu.” Kali ini, Eri sungguh terkejut. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Tengkuknya dingin. Bahunya jatuh terkulai. ‘Jadi, Gala anaknya Nada?’ “Takutnya lama. Jadi, lo duluan aja, Bang,” ujar Nina lagi. “Rio … ayahnya?” tanya Eri tanpa merasa perlu berbasa-basi. “Mas Rio?” “Iya, Rio ayahnya Gala?” “Mas Rio abang gue. Tapi emang dia maunya dipanggil Ayah sama Gala.” “Nada … maksud aku ….” “Mas Rio abang kandung gue,” kekeh Nina. “Dan gue bukan penganut inses.” “Oh.” Nina mendengus. Apa pun yang ada di pikiran Eri, tak akan membuatnya kesal. Ia menjalani kehidupannya sebagai ibu tunggal bukan karena dicampakkan Ara. Ia bahkan cukup yakin, andai ia mengungkap kehamilannya, Ara tak akan berpikir dua kali untuk mengajaknya menikah. Nina percaya sepenuhnya pada Ara. Jadi, jika kini ia sendirian merawat Gala, itu adalah pilihan Nina sendiri, dan ia tak akan menyesalinya. “Bang Eri pulang duluan aja. Gue ke ruang menyusui dulu ya?” Eri tak lagi menjawab. Ia diam saja saat Nina melewatinya. Masih banyak pertanyaan yang tiba-tiba saja bercokol di kepalanya. Namun, jika ia mengungkapkan itu semua, rasanya terlalu ikut campur dan kurang ajar. Eri akhirnya melangkah, bukan untuk pulang, namun menyambangi gerai coffee shop and bakery di rumah sakit tersebut. "Wat wenst u, mijnheer?" tanya seorang pelayan dari balik konter. Eri membaca daftar menu yang berada di belakang perempuan tersebut, lalu memerhatikan beberapa jenis roti yang terpajang di etalase. "Aku ingin satu butter croissant, satu hot camomile tea, dan satu hot long black," ujar Eri, menjawab pertanyaan sang pelayan tadi. Pelayan itu mengangguk, menghitung nilai yang harus dibayarkan Eri, lalu menyiapkan pesanan pelanggannya tersebut. Setelah makanan dan minuman itu berpindah ke tangan Eri, ia melangkah ke voedingsruimte atau ruang menyusui, menunggu Nina di kursi tunggu yang berada tepat di depan kamar tersebut. “Nada,” panggil Eri begitu Nina selesai menyusui Gala. “Lho? Bang Eri kok masih di sini?” “Aku lapar, tapi mau makan sendiri kayaknya ngga seru.” “Terus?” “Duduk dulu, Nad.” Nina menurut, ia duduk di kursi yang sama dengan Eri, terjeda satu dudukan. Eri menyodorkan roti dan camomile tea yang dibelinya. Mengangguk saat Nina menatapnya seraya menenggak salivanya sendiri. “Ganjal perut dulu, Nad. Udara makin dingin di luar, biar ngga masuk angin.” “Makasih.” Mungkin karena sangkin laparnya, Nina langsung melahap roti itu dalam dua suapan besar. Eri sontak membelalak, sementara Nina nyaris terbatuk karena melihat ekspresi Eri. “Pelan-pelan aja kali Nad. Aku ngga minta kok. Suer!” Nina tak sanggup berkomentar, hanya anggukan yang ia beri seraya melanjutkan kunyahannya. Eri berdiri dari duduknya, mengulurkan kedua tangan, mengambil Gala dari rengkuhan Nina. “Mmmph ….” “Makan aja, minum tehnya. Gala aman sama aku. Tuh lihat, remahan croissant-nya jatuh ke bajunya Gala.” Nina mengunyah perlahan, bisa-bisa ia tersedak jika terburu-buru mengunyah. Setelah isi mulutnya tertelan, ia menyesap tehnya beberapa kali. “Sambil jalan aja yuk, Nad? Kamu mau makan apa? Dekat sini ada sayur lodeh sama sambal goreng daging. Mumpung masih buka. Mau?” “Mau.” Eri gegas berdiri. Seraya menahan Gala dengan tangan kirinya, tangan kanannya meraih baby bag dan ia sampirkan di bahunya. “Ayo, Nada! Last order jam 11 soalnya, kita harus jalan agak cepat.” “Gala?” “Sama aku aja, let’s go!” *** “Sudah pernah makan di sini, Nad?” tanya Eri begitu pelayan kafe tersebut meninggalkan mereka untuk memproses pesanan. “Belum.” Eri mengangguk, sementara Nina menyapukan pandangannya ke seantero kafe. Mengamati detail fasad, interior dan furniture tempat itu. Eri pun pura-pura memerhatikan sekelilingnya, meski yang ia pindai sebenarnya adalah sosok perempuan yang tengah duduk di hadapannya. Parasnya ayu dan lembut, tak mengenakan riasan tipis seperti yang selalu Nina sapukan di wajahnya jika tengah menjalani peran sebagai seorang mahasiswi. Surai Nina hanya ia kuncir gulung dengan asal. Dan tubuhnya terbungkus piyama panjang bermotif garis-garis serta sweater panjang berbahan rajut yang agak tebal. Saat ia menyadari sebuah detail, kening Eri sontak mengerut. “Nada?” “Hmm?” “Sweater kamu dan Gala couple-an?” Nina tersenyum, lalu mengangguk. “Cuma nyari warna yang sama, terus gue lukis.” “Lukis? Ini kamu yang lukis?” “Iya.” Eri mengangguk-angguk. “Dan tempat yang kamu lukis adalah?” “Plawangan Sembalun.” “Rinjani.” “Iya.” “Hmm … kayaknya ada kenangan khusus ya di sana?” Nina mengangguk untuk kali kedua sejak mereka duduk di kafe itu. “Bang Eri?” “Ya?” “Gue mau ngomongin beberapa hal, boleh ya?” Eri terdiam sesaat. Ia lalu bernapas dalam, mengempaskan udara dari paru-parunya dengan keras. Entah mengapa, ia merasa akan ditolak sebelum memulai. “Boleh?” ulang Nina. “Oke,” ujar Eri dengan raut tak Ikhlas. “Kenapa ya perasaan gue tuh kayak mau diputusin, Nad.” “Berarti lo udah pernah ngerasain yang namanya diputusin. By the way, gue lebih suka kita ngobrol dengan panggilan lo gue. Lebih santai dan nyaman aja rasanya.” “Mmm … oke,” tanggap Eri. “Satu. Gue mau ngucapin makasih karena lo udah nolong gue malam ini.” “Sama-sama, Nada.” “Yang kedua, gue mau minta maaf karena sejak kita kenalan, gue ketus banget sama lo.” “Iya emang. Lo judes parah, sumpah! Kalau beli nasi goreng, Nad … udah dikasih karet dua, bungkus nasinya disobek dikit pulak. Pedas level lima!” Nina sontak tergelak. Tawa itu menular ke Eri, membuat Eri pun menyunggingkan senyum. Eri sungguh menyukai tawa dan paras Nada. “Terus … soal ngga daftar PPI, gue juga minta maaf,” lanjut Nada. “Lo punya alasan kan, Nad? Karena jujur aja, ego gue sebagai ketua PPI tuh terluka banget, Nad!” Nada lagi-lagi tergelak. “Iya, gue punya. Dan gue harap, lo juga ngga usah cerita ke siapa pun kalau lo kenal seorang Nada di sini.” Permintaan Nina membuat senyum di wajah Eri menghilang. Satu pertanyaan yang menggantung di pikirannya sedari tadi, ditambah permohonan itu, seolah membawanya ke satu kesimpulan. “Papanya Gala ngga mau tanggung jawab?” Nina otomatis terdiam. “I’m so sorry! Maaf banget Nada, gue terlalu kepo ya? Lo ngga usah jawab pertanyaan gue barusan. Lupain, please. Dan oke, gue menyanggupi permintaan lo.” “Gue punya alasan sendiri. Dan itu bukan karena Papanya Gala ngga mau tanggung jawab,” gumam Nina kemudian. ‘Berarti itu cowok ngga tau kalau lo hamil!’ “Oke, Nad,” sahut Eri. “Lo ngga jijik sama gue?” Eri terperangah. ‘Pertanyaan apa itu?’ Sungguh ia tak menyangka akan mendengar kalimat tanya itu dari mulut Nina. “Kenapa juga gue harus jijik sama lo? Emang lo belum mandi berapa hari?” Lagi-lagi Nina terkekeh. “Maksud gue …” “Nada, listen … semua orang punya dosanya masing-masing. Lo pikir gue lebih suci dari lo? Ngga, Nad. Orang-orang di sekeliling lo saat ini, apa mereka lebih baik dari lo? Belum tentu. Justru … apa pun alasannya, gue ngga bisa ngebayangin beratnya lo ngejalanin kehamilan, melahirkan, bahkan membesarkan Gala sebagai seorang ibu tunggal, di negara asing. Gue rasa, Tuhan pun pasti memaafkan kekhilafan lo. So, ngga usah berpikir lo menjijikkan atau kotor. Ngga sama sekali, Nad. In fact, you’re beautiful. Je bent mooi, Nada.” Nina tergugu. Ia menunduk cepat, mengusap kedua netranya yang tiba-tiba saja meneteskan air mata. Setelah mampu menguasai emosi, Nina kembali menegakkan punggung, menatap Eri. “Satu lagi, Bang ….” “Apa?” “Gue ngga lagi punya keinginan untuk menjalin hubungan romansa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD