Bian menatap asisten pribadinya yang hanya termenung saja. Lily yang biasanya rajin bekerja dan giat itu terlihat begitu murung. Lily hanya mentap sedih ke layar ponselnya. Ia menghela napas berkali-kali dan Lilly terlihat tidak fokus pada pekerjaannya.
Hal itu sungguh mengganggu bagi Bian. Tak biasanya sang asisten yang bekerja dengan giat terlihat murung. Dengan segala keberanian yang Bian miliki, akhirnya Bian pun memberanikan diri untuk bertanya pada Lily.
"Lily, sebenarnya kamu kenapa?"
"Sepertinya kamu tidak konsentrasi saat bekerja."
"Apa kamu ada masalah?"
Sangking tidak sabarnya Bian menunggu akhirnya ia pun mencencar Lily begitu saja tanpa membiarkan Lily menjawab pertanyaan itu. Bian malah terus bertanya tiada henti. Bahkan di saat Lily hendak menjawab, Bian malah berbalik dan mulai kembali bertanya tentang berbagai hal.
"Pak ..."
"Lily jika kamu memang ada masalah, ceritakan saja? Mungkin aku bisa membantu."
"Anu, Pak ---"
"Jika kamu murung seperti itu, aku jadi sedih Lily!"
"Pak Bian.."
Lily berusaha untuk menghentikan ocehan Bian, namun Bian benar-benar tidak mendengarkannya. Akhirnya dengan kekesalan yang memenuhi dirinya Lily pun berteriak.
"Pak hati, hati saya pak!"
Seketika Bian langsung terdiam. Ia menatap Lily yang mendekap dirinya sendiri dengan putus asa.
Jantung Bian berdebar kencang, pandangannya kabur dan hanya mampu melihat sosok Lily di sana. Bahkan apa yang Lily katakan selanjutnya juga membuat Bian semakin terkejut. Suara Lily seolah menggema di telinganya. Debaran jantung Bian berdegup luar biasa kencang sehingga membuat tubuh Bian sendiri merinding. Rasa khawatir pada sosok yang berharga bagi Bian itu pun membutakan matanya.
"Hati saya Pak. Rasanya sangat sakit!"
Saat Bian mendengar hal itu, ia tak bisa lagi berpikir jernih. Tubuhnya tentu bergerak jauh lebih cepat dari pada pikiran dan hatinya. Bagi Bian yang ada hanyalah keselamatan bagi Lily saja.
Seketika Bian menggendong tubuh Lily, ia berlari keluar ruangannya dan berteriak. "Siapkan mobilku! Panggil supir sekarang juga!"
Teriakan itu membuat heboh seisi kantor. Baru kali ini para karyawan melihat kepanikan dari Bian. Wajah Bian pucat dengan suaranya yang terus menggema meminta semua cepat untuk di lakukan. Ia menggendong Lily dan berlari dengan terburu-buru.
"Cepat hubungi rumah sakit terdekat katakan aku akan ke sana sesegera mungkin!" titah Bian lagi yang langsung dilaksanakan oleh salah satu sekretaris yang mendengarnya.
Semua mata memandang ke arah Bian dan mungkin bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Namun, Bian tidak goyah sedangkan Lily hanya bisa terdiam sambil mendekap erat tubuh Bian yang sedang menggendong Lily.
"Tuhan, ada apa ini?" benak Lily.
Bahkan Lily sendiri kebingungan dengan hal tersebut. Lily berpikir keras namun ia tidak menemukan sedikit pun petunjuk yang membuat sang atasan bertindak seperti ini. Apa lagi, Lily berada di dalam gendongan Bian dalam sekejap. Untuk berontak saja, Lily tak sempat kepikiran apa lagi untuk langsung turun dari gendongan Bian. Lily terlalu terkejut dengan sikap tiba-tiba dari Bian. Bisa dibilang jika Lily sendiri tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya dan hanya bisa berusaha untuk tidak jatuh dari gendongan Bian.
"Pak mobilnya sudah siap di depan!" teriak salah satu karyawan yang menyambut Bian di depan pintu elevator.
Entah bagaimana secepat kilat mereka sudah ada di sebuah ruang UGD di rumah sakit terdekat. Bian langsung berteriak pada para suster dan dokter untuk meyelamatkan Lily. Lily sudah di baringkan di ranjang tidurnya dan para suster menyerbu Lily dengan begitu sigap dan membawa Lily entah kemana. Sementara dari kejauhan Bian terlihat berbincang dengan dokter.
"Pak.. Pak Bian!!!"
Lily terus mencoba memanggil Bian. Tapi, para suster malah meminta Lily untuk tenang dan langsung menyuntikkan Lily dengan sesuatu yang entah bagaimana bisa membuat Lily lebih tenang dan diam di atas kasurnya.
"Pasien sudah mulai tenang. Obatnya sudah bereaksi."
"Ambil sampel darahnya!"
"Kita lakukan MRI juga segera."
"Coba cek apakah pasien memiliki sindrom Fitz-Hugh-Curtis (kondisi langka pada wanita yang menyebabkan rasa sakit mendadak dan parah) tolong dicek juga trombosis vena portal yang memungkinkan pasien mengalami sakit secara tiba-tiba!"
Semua orang terlihat panik dan dokter terus mengatakan banyak perintahnya pada para suster tersebut. Lily masih di dorong entah kemana, kini ia malah terasa lebih lemas dari sebelumnya. Ia yang sejak awal sudah kebingungan semakin tidak berdaya dengan adanya suntikan yang tadi diberikan kepadanya. Hanya memandang langit-langit dan mendengarkan suara berisik dari para dokter dan suster lah yang bisa Lily lakukan.
Samar suara itu juga semakin tak mampu lagi Lily dengar hingga ia benar-benar sudah terpejam.
"Hmm.. aku ngantuk sekali."
Lily bergumam dalam benaknya yang sudah tak tahan lagi untuk menahan kantuknya. Apa lagi sejak semalam Lily memang tidak bisa tidur.
"Ah, pasien adalah pasien VVIP, siapkan juga kamar khusus untuk pasien!"
Saat Lily mendengar samar suara tersebut yang bahkan di saat ia masih menutup matanya. Lily sempat berpikir kenapa dia harus di bawa ke kamar VVIP di rumah sakit hanya untuk tidur siang. Padahal ada apartemen milik Bian yang letaknya tak jauh dari kantor jika memang Bian bersedia meminjamkannya untuk Lily.
"Uch, Pak Bian pasti tidak rela meminjamkan itu. Dia lebih memilih melempar aku ke rumah sakit dari pada harus meminjamkan apartemennya itu!" benak Lily.
Bahkan yang terburuk, Lily sampai bergumam jika memang tidak boleh meminjamkan apartemen milik Bian. Lily cukup merasa senang jika ia menyewa kamar hotel dan biaya sewanya akan di tanggung oleh kantor.
"Yah, gitu juga bisa sih. Aku malah butuh libur. Ini juga gara-gara pak Bian menolak izin cutiku hari ini."
Pikiran Lily memang masih sangat aktif. Ia berpikir dengan beragam kemungkinan. Tapi, ada satu kebiasaan Bian yang juga mampu Lily ingat dengan pasti. Kala Bian kelelahan dia memang sering datang ke rumah sakit untuk meminta infus saja. Menjaga daya tahan tubuhnya dan mengisi cairan kembali bila ia mengalami kelelahan. Sehingga tindakan kali ini membuat Lily menganggap adalah hal yang biasa.
Tanpa tahu jika sebenarnya Bian sudah panik luar biasa, mencemaskan kondisi Lily yang tiba-tiba terlihat begitu layu. Tidak pernah Bian melihat asisten pribadinya yang seperti itu.
"Aku mohon bertahanlah!"
Putus asa Bian memegang tangan Lily, ia berdoa setulus hatinya untuk kesembuhan Lily. Bian tak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi pada Lily saat ini.
Di sisi lain, Lily sudah kembali sadarkan diri. Tubuhnya masih lemas, tangannya terasa hangat. Ia menyadari genggaman erat dari Bian tersebut.
"Pak ..."
Serak, suara Lily memanggil atasannya itu.
"Lily ..."
Bian membalas sapaan Lily dengan matanya yang berkaca-kaca. Genggaman tangannya semakin erat dan Bian kemudian kembali membuka suaranya.
"Kita sedang mengecek kondisi hatimu Lily, semoga tidak ada hal buruk yang terjadi!" kata Bian seraya menghapus sedikit air mata yang nyaris menetes di matanya itu.
Hembusan napas berat Lily hela, matanya menatap fokus pada sosok Bian. Bibirnya terasa kelu, logika dan nuraninya terputus begitu saja. Firasat buruk merasuk begitu saja tanpa aba-aba.
"Maksud bapak?" tanya Lily yang masih belum berani berasumsi. Walau di hatinya sudah merasakan keresahan yang luar biasa.
"Kamu tenang saja, meski kamu memiliki sakit liver aku janji tidak akan memecat kamu begitu saja. Aku akan meringankan pekerjaanmu Lily."
Kala Bian menjelaskan segalanya di saat bersamaan Lily sudah merasakan bencana yang menerpanya dalam seketika.
"Maaf, Pak!"
Ketir, Lily akhirnya hanya bisa meminta maaf sebelum kemurkaan menyeruak dari Bian.
Di saat yang sama, para suster dan dokter datang ke ruangan tersebut. Mengetuk dan membuka pintu dengan Lily yang sudah memeluk lengan Bian dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Pak, mohon maafkan saya Pak. Saya benar-benar sakit hati!"
"Iya, saya tahu. Makanya kamu harus diperiksa dengan baik Lily. Dokter juga sudah datang dan tampaknya hasil pemeriksaan sudah keluar."
Kala itu, perut Lily terasa terputar begitu saja. Ia tidak bisa lagi menghindar dan harus bisa menghadapi apapun resikonya kelak. Hingga dengan putus asa Lily pun berteriak dengan lantang tak peduli di ruangan itu ada para dokter yang akan mendengarnya.
"Pak saya sakit hati yang lain Pak. Bukan sakit hati yang itu!!!"
Suasana hening sejenak. Bian menatap Lily yang sudah memejamkan matanya dan masih memeluk erat lengan Bian. Seolah tak akan membiarkan Bian pergi sampai Bian memahami dengan jelas apa yang Lily katakan.
"Sakit hati yang lain?"
Bian mengulang kembali ucapan Lily dalam bentuk pertanyaan. Lalu, para dokter yang mendengar hal itu juga malah membenarkan apa yang Lily katakan.
"Benar Pak Bian. Tampaknya pasien mengalami sakit hati yang parah tapi kami tak bisa menyembuhkannya. Kami sama sekali tak bisa berbuat apa-apa Pak. Mohon maaf!"
Mendengar pernyataan putus asa dari sang dokter Bian semakin terlihat cemas dan pucat. Kesedihan semakin terlihat dari wajah Bian.
Sedangkan Lily yang mendengar hal ucapan dari dokter tersebut Lily langsung mendelik dengan tajam ke arah dokter tersebut. Ia tak menyangka sang dokter malah memanasi keadaan.
"Tidak.. Lily apa keadaanmu sangat parah?"
Bian langsung mengguncang tubuh Lily dengan kedua tangannya dan menatap ke arah dokter penuh harapan. Namun, sang dokter hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Mohon maaf Pak. Kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk Lily!"
Air mata pun banjir membasahi pipi Bian. Padahal Bian adalah sosok yang dingin, kali ini dia malah meneteskan air matanya di hadapan Lily.
Lily yang terombang-ambing dalam ombak besar itu hanya bisa menghela napasnya dengan lemas. Menatap dokter yang tak goyah pada pendapatnya dan Bian yang terus menepuk punggung Lily sambil mengasihani Lily.
Lemas, Lily yang semula tak sanggup menanggung malu kini malah bersiap menghadapi kematiannya. Ia tidak akan heran jika setelah pengakuannya itu Bian akan langsung memecat dirinya.
"Pak.. Pak Bian.. bisa dengarkan saya dulu?"
Bian lagi-lagi seolah tak mendengarkan Lily, ia mengasihani Lily yang seolah tak memiliki harapan lagi untuk sembuh. Sedangkan Lily sendiri sedang menelan derita selanjutnya yang harus ia hadapi.
Tak bisa lagi di hentikan, Lily akhirnya mendekap Bian untuk menghentikan tingkah Bian yang terus menggoyangkan tubuh Lily karena kasihan.
"Pak Bian!" teriak Lily yang sudah membuat Bian mendekap dalam pelukan besar Lily.
"Tenanglah Pak.."
Perkataan tenang dari Lily pun berhasil membuat Bian terdiam dan Lily kembali berteriak di samping telinga Bian.
"Saya sakit hati sama pacar Pak. Saya ditinggal begitu saja sama pacar saya. Pacar saya kabur membawa seluruh uang tabungan saya dan ia bahkan pergi membawa hati saya Pak. Saya sedang galau karena pacar Pak. Bukan sakit liver seperti yang bapak pikirkan!"
Dokter yang ada di sana pun akhirnya mengangguk. Membenarkan apa yang Lily katakan. Mengartikan segala ucapan dokter yang mengatakan jika dokter tak bisa berbuat apa-apa.
"Benar Pak Bian, oleh sebab itu pihak dokter tak ada yang bisa mengobati hati Bu Lily."
Tubuh Lily pun seketika gemetar, ia masih memeluk Bian agar tidak mengamuk. Meski hatinya sudah berdisko riang, bersiap menghadapi badai besar yang akan melanda.
"Jadi kamu sakit hati yang itu?" tanya Bian kembali mastikan.
"Iya Pak, saya sakit hati yang itu!"
Lily pun seketika menangis keras dan mulai mengungkapkan isi hatinya.
"Padahal dia pacar pertama saya. Tapi, dia membawa kabur uang dan hati saya sakit sekali Pak. Hati saya sakit Pak."
"Pak Bian, bagaimana ini. Hati saya sakit sekali."
Lily menangis tersedu-sedu.
"Tidak apa jika Yuda mengambil hati saya. Saya rela hati ini dirampas olehnya. Tapi setidaknya kembalikan semua uang itu. Pak Bian, uang Pak. Uang saya Pak!"
Bian terlihat masih tenang, sangat tenang dan terlalu tenang. Ia menatap ke arah Lily dan kembali bertanya, "Jadi kamu sakit hati karena pacarmu mengkhianatimu atau karena dia membawa pergi uangmu?"
Lily pun kemudian menjawab. "Saya sakit hati karena uang saya dibawa kabur Pak. Jika dia mengkhianati saya, saya juga akan mencari cara untuk membalasnya. Tapi, kalau dia membawa kabur uang saya. Saya tidak tahu cara menagihnya Pak."
"Sedihnya lagi, dia memberikan uang itu untuk wanita lain Pak. Saya tidak mungkin menagih pada wanita itu."
"Tunggu-tunggu, jadi bagaimana ceritanya?"
Bian masih tidak paham dengan apa yang Lily kisahkan. Bian terlalu terkejut dengan banyak hal sebelumnya sehingga ia sulit untuk mencerna dengan baik cerita Lily yang tak berhenti menangis itu.
Akhirnya Lily mengisahkan kembali percintaannya. Saat Yuda sang pacar yang selalu bersikap baik padanya itu kerap meminjam uang Lily dengan dalih investasi. Lalu, investasi itu dia percayakan pada wanita lain. Lily percaya begitu saja pada keduanya, hingga Lily pun menyadari keganjilan yang ada, keduanya tertangkap basah tengah bermesraan oleh Lily.
"Sekarang dia tidak bisa dihubungi, Pak. Rasanya saya ingin mencarinya tapi saya tidak berani."
Ingus kini sudah turun dan nyaris mendekati bibir Lily. Lily menarik napasnya kuat agar ingus itu bisa masuk kembali pada dua lubang hidungnya. Namun, nahas. Ingus tersebut tidak selamat dan mendarat di lengan baju Bian.
Sekalian kotor, akhirnya Lily menarik lengan baju tersebut dan menghempaskan ingus tersebut di kemeja Bian. Bian pasrah dengan lengannya yang kini berada di hidung Lily.
"Tanggung Pak," kata Lily kemudian dengan senyumannya yang lebar sambil mengeluarkan seluruh ingus yang membuatnya tak bisa bernapas.
Bersambung ....
____ * Behind the scene :
Bian : Jadi Lily sedih karena sakit hati atau karena uang?
Author : Lily lebih sedih kalau ga ada yang baca novelnya Bian...
Bian : Oiii... baca dan tap Love juga novelnya. Awas kalau sampai Lily semakin sedih.
_____
Judul : Terlanjur
Author : Kanaya Kumarin