"Apa itu cinta?"
Pertanyaan itu terus terlintas di dalam pikiran Bian. Bersarang di benaknya dan terlupakan begitu saja. Bian sama sekali tidak peduli dan bahkan tidak ingin memperdulikannya. Rasanya ia tidak butuh dengan apa yang disebut dengan cinta.
Cinta hanya sebuah kata yang sama sekali tidak bisa di pahami oleh Bian. Ia tidak mengerti apakah cinta itu nyata atau hanya sekedar bualan semata. Mungkin pula cinta itu hanyalah sebuah alasan. Alasan untuk bermanja yang membawa nama cinta, beralasan untuk saling berbagi hanya karena cinta, bahkan di saat orang memberi sebuah perhatian maka cinta juga akan dijadikan sebuah alasan, ada pula yang meninggalkan dengan alasan cinta.
Tidak hanya sebuah kebaikan, kepedihan, tangis dan air mata seperti apa yang saat ini terjadi pada Lily juga beralasan cinta.
"Cinta hanya alasan, aku benar-benar benci yang namanya cinta!"
"Aku bukan benci karena Lily menangis. Tapi, aku benar-benar benci karena air mata dari Lily itu juga beralasan cinta!"
"Haaaah... aku tidak mengerti kenapa Lily terjebak dengan yang namanya cinta?"
Bian mengomel sendiri dengan matanya yang hanya terfokus pada tangisan Lily. Bian tidak mampu menenangkan hati yang resah karena cinta, sebab ia sendiri tidak pernah merasakan yang namanya cinta.
Hanya saja, Bian mencoba memahami hal tersebut. Ia sudah bekerja dengan Lily bertahun-tahun. Dari sekian banyak asisten pribadi Bian, hanya Lily yang bisa mengimbangi pekerjaannya. Bersama dengan Lily, Bian telah sukses dalam banyak hal. Lily termasuk salah satu sosok yang sangat berharga bagi Bian. Sehingga rasa sakit yang Lily rasakan seolah ikut meresap ke hatinya.
"A-apa benar rasanya sakit sekali?" tanya Bian memastikan dan langsung di jawab anggukan dari Lily.
Ruangan itu kini hanya bersisa Bian dan Lily saja, semua terasa hening dengan isak tangis Lily yang masih bergema. Aroma desinfektan menusuk indra penciuman dan Bian hanya bisa merelakan lengan bajunya untuk Lily.
"Lily, setelah ini kamu ganti biaya laundry baju saya ya!"
Bian pun lega setelah meminta pertanggung jawaban Lily tersebut. Meski ia rela bukan berarti ia akan memberikan begitu saja lengan bajunya. Sama seperti Lily yang tak sengaja meneteskan ingusnya di sana. Bian juga merasa tidak ada bedanya bila itu kotor sedikit dan kotor banyak. Pada akhirnya semua akan ia serahkan kembali pada Lily untuk di cuci.
"Yah, Pak. Kok saya yang tanggung laundrynya?"
"Kan kamu yang mengotorinya Lily!!" jawab Bian santai.
Di saat itu, Lily yang semula merasa terharu akan sikap Bian yang penuh perhatian mendadak menjadi seakan rambu sebuah bencana. Rasa kagum itu mendadak menghilang, berganti dengan rasa was-was yang menusuk di hatinya. Melebihi dari rasa sakit yang saat ini tengah ia rasakan akibat dari kekasihnya Yuda.
"Pak, firasat saya tidak enak!" kata Lily tiba-tiba.
"Tenang Lily, firasat kamu tidak salah kok!"
Bukannya menenangkan Lily, Bian malah menyetujui pernyataan Lily tersebut.
"Bener Pak, jantung saja berdegup lebih kencang."
Akan tetapi, Bian kembali hanya menganggukkan kepalanya yang pasti membuat jantung Lily semakin berdebar tidak karuan.
Lily seketika menarik tangan Bian dan langsung merangkul erat lengan Bian. Lily yakin akan perasaannya dan ia pun langsung menunjukkan wajah memelasnya.
"Jangan bilang saya juga yang harus bayar rumah sakitnya Pak?" tanya Lily atas perasaan tidak enaknya itu.
Tentu, Lily sangat paham dengan atasannya itu. Ia tahu jika Bian tidak mungkin begitu perhatian. Meski Bian bersikap baik, tidak banyak mengomel urusan pekerjaan dan juga tidak pernah memerintahkan hal yang aneh padanya. Tapi selama Lily bekerja dengan Bian, Lily sangat yakin baru kali ini lah Bian benar-benar penuh perhatian sampai membawanya ke rumah sakit.
Batas perhatian yang selama ini Lily dapatkan dari Bian hanya sampai memberikan izin pulang lebih cepat saja. Jika kali ini Bian sampai mengantar ke rumah sakit, apa lagi barusan Bian juga meminta untuk membayar ongkos laundry dari pakaiannya yang kotor. Sehingga wajar bagi dompet Lily merasa terancam dengan hal tersebut.
"Pak tolong di jawab jangan nyengir mulu!" gumam Lily sambil tersenyum lebar ke arah Bian, melupakan bahasa formal yang biasa Lily gunakan saat berbincang dengan Bian.
"He-he.. Kamu tahu aja. Tentu saja, semua harus kamu yang bayar!"
"Kita di kamar VVIP, biaya perawatan, infus, dan segala pemeriksaan. Kamu yang bayar semua, ya!"
Tanpa beban, Bian malah mengatakan hal tersebut.
"Ta-tapi Pak.."
Lily tampak gugup matanya sudah berkaca-kaca. Meski sebenarnya ia baru selesai menangis, kali ini Lily berusaha memperlihatkan sumber kesedihannya yang berbeda. Bukan karena kekasihnya, melainkan karena tagihan rumah sakit tersebut.
"Lah.. yang sakit siapa? Kamu kan!" sambung Bian tanpa aba-aba.
Seketika bibir Lily cemberut, ia memajukan bibirnya sembari mengerutkan keningnya. Lily menarik napasnya kasar dan dalam. Berharap ingus yang nyaris menetes itu bisa kembali masuk.
Melihat hal itu Bian tertawa renyah. Tawa yang memenuhi ruangan inap Lily. Ruangan yang sebelumnya hanya di penuhi suara tangisan, kini mendadak berubah menjadi tawa menggelegar.
"Bapaaaak..." rengek Lily yang merasa jika Bian sedang mengolok-olok dirinya.
"Aduh.. perutku!" kata Bian seraya memegang perutnya yang sakit akibat terlalu banyak tertawa. Bian pun menghapus sedikit air mata yang menitik di pelupuk matanya.
Sementara itu, Lily hanya cemberut bak jambu air yang menyuncung. Menggemaskan dengan warna merah bibir Lily yang lembab serta terlihat segar.
"Isss.. si Bapak!" seru Lily lagi yang malah menambah gelak tawa Bian.
Tak bisa berhenti tertawa Bian pun bertanya pada Lily, "Lagian, dari mana kamu tahu jika aku akan meminta padamu tagihannya?"
Lily kembali mengerutkan keningnya. Wajahnya lurus dan ekspresinya terlihat serius. Lalu, dengan penuh keyakinan dari setiap kata yang Lily ucapkan. Lily pun merogoh sesuatu dari sakunya, dan mengambil dompet yang tersimpan di dalam sakunya itu.
"Lihat Pak, dompet saya bergetar dia sudah memberikan peringatan dini bencana yang akan terjadi."
Membuat seolah dompet itu bergetar, Lily menggoyangkan dompet tersebut di hadapan Bian.
"Pak, lihat dia sudah kering, tipis dan gemetaran. Sebentar lagi saya rasa dia akan berdarah-darah dan melambaikan tangan. Dia sekarat dan sudah tidak kuat," sambung Lily lagi dengan nada seriusnya.
Kesulitan menahan tawa, Bian sama sekali tidak menyangka jika Lily adalah orang yang sangat menyenangkan seperti ini. Selam ini, ia hanya tahu bila sang asisten itu bersikap sedikit kaku dan hanya mengetahui tentang pekerjaan saja. Siapa pula yang menyangka jika Lily yang kaku itu ternyata sangat menggemaskan. Membuat Bian ingin lebih banyak menggodanya.
"Kamu kira dompetnya goyang pohon, bisa hujan koin?" kekeh Bian sambil membayangkan Lily yang pernah terlihat memainkan goyang pohon beberapa waktu lalu.
Sialnya, Lily malah mempraktikkan apa yang saat ini sedang Bian bayangkan. Dompet tipis itu Lily goyangkan dan uang koin pun berjatuhan di atas tempat tidurnya, sebagian lagi jatuh dan berdenting menggelinding entah sampai mana. Suara denting yang membuat tawa Bian semakin pecah dan perutnya benar-benar sudah mulas.
"Ya apun, beneran dong hujan koin?" kata Bian yang bahkan suaranya sudah mulai serak akibat terlalu banyak tertawa.
"Sudah, sudah, nanti malaikat maut datang pula menjemput nyawa dompetmu. Aku belum siap mengadakan pemakaman untuk dompet itu."
Bian menyerah, ia mengalah pada tingkah asistennya yang baru ia ketahui itu. Tingkah menggemaskan yang benar-benar segar. Bak buih soda di siang hari yang terik. Menyegarkan, manis dan terasa begitu menagihkan bagi Bian.
Saat itu Bian memang sudah menyerah, tapi Lily masih pada keresahannya. Ia masih cemas dengan biaya rumah sakit yang harus ia tanggung.
"Pak, saya baru ditipu pacar saya Pak, biaya rumah sakitnya bagaimana Pak?"
Sambil berbisik Lily menanyakan hal tersebut yang sontak membuat tawa Bian lagi-lagi pecah.
"Ya Tuhan, Lily. Kamu benar-benar menggemaskan."
Tanpa Bian sadari, Bian sudah mencubit pipi Lily dengan kedua tangannya.
"Uuuuch... Pak sakiit.." rintih Lily yang masih resah akan tagihan rumah sakit.
Bian tidak peduli dengan rintihan Lily, ia malah menepuk pipi Lily dan sesekali mencubit pipi itu. Bibir Lily yang merah dan ranum itu pun sesekali tampak mengkerut. Semakin terlihat menggemaskan dan lucu, pipi dan bibir yang semakin mirip dengan ikan buntal yang menggembung.
Braaaak ....
"Bian kamu sakit?"
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka, membuat Bian yang sedari tadi sedang asik pada pipi Lily terperanjat kaget saat melihat ibunya dan juga sang tunangan berdiri tepat di depan pintu kamar inap tersebut dengan posisi Bian yang masih memegang pipi Lily dengan erat.
"Aku dengar kamu tiba-tiba ke rumah sakit. Begitu mendengar kabarnya, aku langsung pergi ke sini untuk melihatmu. Aku bahkan pergi bersama ibu hanya untuk menjengukmu!"
"Ta-tapi, apa yang sekarang sedang kamu lakukan?"
Tasa memasang wajah penuh amarah, menatap Lily yang pipinya masih di pegang erat oleh Bian. Lily yang bahkan memegang pergelangan tangan Bian dengan santainya.
Bersambung ....
____ * Spoiler Bab Selanjutnya :
Bian : Hmmm.. Bian? Sekarang kamu juga sudah berani memanggil namaku?
Lily : (Tersenyum indah dan paripurna dengan gigi yang tidak putih-putih amat)
Judul : Terlanjur
Author : Kanaya Kumarin