Malam Petaka

1034 Words
"Akhirnya kamu sadar Ra. Kita harus berteduh di sini karena hujan." "Iya Kak terima kasih sudah menolong Dara." Dara beringsut duduk dengan tubuhnya yang lemah. Ia memeluk lututnya karena kedinginan. Ardi menatap teduh ke arah Dara yang terlihat menggigil kedinginan karena diguyur air hujan. Gadis itu duduk di lantai kotor itu memeluk lututnya, berharap rasa dingin yang mendera akan segera hilang. Dirinya pun sama basahnya dengan Dara. Seluruh tubuhnya basah tanpa terkecuali. Ia juga merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, namun ia seorang lelaki. Ia harus bertahan demi gadis yang ada di depannya saat ini. Ia harus menjadi pelindung gadis yang tidak berdaya itu. "Ra, kamu tunggu dulu di sini ya! Kakak akan coba cari apa pun untuk membuat api." Dara yang sudah kedinginan hanya bisa mengangguk pasrah dengan gemetar. Tak mempunyai daya sedikit pun untuk bergerak. Entah bagaimana mereka kembali ke tenda. Badai tak juga mereda. Mungkin mereka berdua terpaksa harus menginap di rumah tua tak berpenghuni yang sedikit menyeramkan itu. Tak lama Ardi datang dengan wajah sumringah membawa pemantik usang dan beberapa kertas juga botol-botol bekas. "Sabar ya, Ra? Kakak akan membuat api." Lagi-lagi gadis itu hanya bisa mengangguk lemah. Nyeri di kakinya yang terluka semakin terasa menusuk. Membuat gadis itu sedikit meringis kesakitan. Ia menyembunyikan ekspresi kesakitannya. Takut jika Ardi semakin khawatir. Tak butuh waktu lama Ardi berhasil membuat api. Lelaki berusia 18 tahun itu tersenyum lega. Keadaan lebih terang dari sebelumnya. Suasana di ruangan itu lebih jelas terlihat. Rupanya ada setumpuk kayu lapuk yang berada di sudut ruangan. Ini keberuntungan bagi mereka. Dengan wajah semringah lelaki itu mengambil kayu-kayu itu dan ikut memasukkan dalam bara api yang sudah tercipta. "Akhirnya berhasil. Mungkin kita harus bertahan sampai pagi Ra. Tak mungkin kita kembali ke tenda dalam situasi seperti ini. Ini juga sudah terlalu malam. Mungkin saja mereka akan mengirimkan tim penyelamat untuk menyelamatkan kita. Bertahan ya Ra?" Gadis itu semakin menggigil membuat Ardi iba. Ardi mendekati Dara yang memeluk lututnya. Ia merasa sangat iba dengan kondisi wanita itu. Ia sudah mencoba mencari ke sekeliling rumah, siapa tahu ada baju-baju bekas di rumah itu. Sayang, tak ada sehelai pun kain ia jumpai. "Ra, letakkan tanganmu seperti ini." Ardi memberikan contoh kepada Dara. "Lebih hangat kan? Hmm?" Gadis itu tersenyum mengiyakan. Merasa nyaman diperhatikan sedemikian rupa. "Ap-apa sebaiknya kamu buka baju kamu? Aku ra-rasa kamu tidak nyaman dengan baju basah seperti itu." Dengan keberanian yang entah muncul dari mana, lelaki itu membuka jaket milik Dara. Hingga kemeja putih Dara yang basah mencetak lekuk tubuhnya yang mempesona. Ardi menelan ludah dengan susah payah. Niatnya yang semula ingin melepas kain penutup tubuh Dara karena kasihan melihat gadis itu kedinginan. Kini berubah haluan, ia tergelung nafsu ingin merasakan betapa hangatnya tubuh wanita di depannya. Bagaimanapun Ardi lelaki normal. Entah setan mana yang merasuki pikiran Ardi. Tubuhnya yang basah ia tempelkan pada tubuh gadis yang kurang lebih sama dengan dirinya. "Ka-kak mau ap..?" Belum sempat Dara bertanya, Ardi sudah menyumpal mulutnya dengan bibirnya. Memaksa Dara agar menerima ciumannya. Lelaki itu memejamkan mata seraya memeluk Dara erat-erat, agar gadis itu tak berontak. Dengan kekuatan yang ada, Dara memukul-mukul d**a bidang Ardi. Berharap lelaki itu mau melepaskannya. Agar lelaki itu tahu kalau semua salah. Tidak pada tempatnya. Mereka hanya dua orang asing yang belum genap sehari berkenalan. Namun, Ardi tak peduli. Ia masih sibuk dengan kegiatannya merasakan rasa manis dari wanita itu. Lelaki itu terlena dengan kenikmatan yang diberikan oleh Dara. "Ra? Aku suka kamu," ucap Ardi dengan deru nafas tak beraturan setelah ciuman itu terlepas. Membuat wajah Dara merona. Berpuluh lelaki mengatakan kata gombal itu padanya, tak pernah sekali pun mempengaruhinya. Namun, hanya lelaki ini yang sanggup membuat jantungnya berdegup dengan kencang. Seakan mau meledak dan melompat keluar dari tempatnya. Dan mungkin jika yang memaksakan ciuman itu lelaki lain, mungkin tak butuh waktu lama Dara akan menampar orang itu. Namun lain dengan Ardi, dalam hati Dara secara sukarela diperlakukan demikian. Walaupun Dara takut, tak dapat ia pungkiri jika ia menyukainya. Memang, cinta itu buta. Ya, sedari awal Dara menunjukkan rasa ketertarikannya pada Ardi. "Eng-enggak lucu, Kak." Gadis itu gugup dengan detak jantung yang menggila. "Aku serius Ra. Aku cinta kamu." Tanpa aba-aba, lelaki itu menyerang bibir merah yang sedikit membengkak itu lagi. Menikmati setiap inchinya yang penuh kelembutan. Dara yang merasakan gelenyar panas dan asing itu untuk pertama kalinya hanya bisa ikut memejamkan mata. Ia tak membalas, pasif. Karena memang gadis itu tak memiliki pengalaman apa pun dalam percintaan. Jangankan berciuman, ia tak pernah membiarkan lelaki lainnya memegang tangannya lebih dari sepuluh detik. Masih sambil menelisik setiap bagian dari mulut gadis itu, bak seorang yang profesional lelaki itu dengan berani membuka kancing baju Dara. Menampilkan bra merah yang menutupi gundukan basah yang terlihat sangat menggiurkan. Walau ukurannya yang tak seberapa besar karena mungkin masih dalam masa pertumbuhan. Ardi tetap saja tergoda dengan bagian yang berwarna putih bersih dan terlihat sangat lembut itu. Ardi memeluk Dara dan melepaskan kaitan bra gadis itu. Hingga kedua bagian kenyal itu menggantung bebas tanpa penopang apa pun. Membuat mata Ardi semakin berkabut. Ardi menyentuhnya dengan ragu. Namun akhirnya ia menggerakan kedua tangannya, menikmati rasa lembut dan kenyalnya. Hingga bagian bawah Ardi menjadi sesak karenanya. "Kak, aku takut," ucap gadis itu lirih dengan penuh rasa kegamangan. Suaranya tercekat karena perbuatan Ardi. Gadis itu ingin mengeluarkan suara desahannya karena kegelian. Namun, ia malu. "Takut apa? Tak ada yang perlu kita takutkan." "Tapi Kak ...."Gadis itu ingin memprotes bahwa semua ini salah. Namun tak ada suara yang keluar dari bibirnya yang masih sedikit membiru. Lelaki itu melepaskan Dara, bangkit dan melepaskan seluruh pakaiannya dan hanya menyisakan celana boxer miliknya. Menampilkan sesuatu yang membesar tercetak jelas dari balik celana boxer itu. Juga dengan perut ratanya yang belum terbentuk. Mungkin karena lelaki itu termasuk remaja bawah umur seperti dirinya. Belum berkembang secara sempurna. Tak lama, lelaki itu merentangkan pakaiannya di lantai. Dara tak berani menatap Ardi yang hampir telanjang. Wajahnya memerah karena malu dan entahlah dalam hati mungkin ia takut juga. Ia cukup tahu apa yang terjadi antara perempuan dan laki-laki yang bersama. Tubuh Dara bergetar hebat. Akankah terjadi sesuatu malam ini? Otaknya ingin menolak semua ini tapi hatinya? Entahlah, mungkin setan juga sudah membutakan akal sehatnya. Ardi mendekati Dara dengan pandangan yang berkabut, "Aku ingin Kamu, Ra."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD