Part 5

2765 Words
Lewat tengah malam Liu mendengar suara bel berbunyi nyaring di rumah. Liu tersentak saat menyadari bahwa dia tertidur di sofa ruang tengah karena menunggu kekasihnya pulang. Matanya beralih pada jam dinding besar yang tergantung di dekat bufet tinggi satu-satunya di ruangan itu. Dia mengerang pelan ketika pusing di kepalanya menjadi-jadi. Sambil menduga-duga, dia melangkah terhuyung-huyung menuju pintu ganda ruang utama. Sampai jam segini Kal belum pulang. Apakah itu Kal? Sebenarnya Kal memiliki kunci rumah ini dan tidak mungkin dia pulang dengan memencet bel kalau dia sendiri bisa membukanya dengan kunci. Dan kebingungan itu terjawab begitu pintu terbuka, sosok Kal berdiri di depannya. "Kal?" "Maaf, apa aku mengganggu tidurmu?" Kal meringis melihat betapa pucatnya wajah Liu. Dia benar-benar tidak sengaja membuat kekasihnya itu membukakan pintu untuknya malam ini. Pria itu benar-benar terlihat sakit. Duplikat kunci rumahnya hilang entah ke mana. Kal ingat bahwa dia sudah masukkan benda itu ke dalam kantung kecil di sisi tasnya, tapi benda itu menghilang secara ajaib. "Kau tidak membawa kunci?" "Kunciku hilang, sepertinya besok aku akan menduplikatnya lagi." Keduanya duduk di sofa empuk ruang tengah. Liu menyandarkan kepala di bahu sofa sambil memejamkan matanya, sementara Kal lebih memilih melepas semua atribut kerja. Setelah itu Kal mengeluarkan sesuatu dari tasnya, lalu meletakkannya di pangkuan Liu. "Kau masih sakit?" "Hm." Punggung tangan Kal bergerak ke pipi Liu dan berpindah ke bagian lain juga. Ekspresinya berubah serius ketika merasakan suhu tubuh kekasihnya sangat tinggi. "Kau sudah ke dokter?" Liu menggelengkan kepala, mata menatap langit-langit ruangan dengan lekat. Dia terbatuk pelan, mengambil air mineral di atas meja yang hanya tinggal separuh dan meneguknya. "Ngomong-ngomong, tadi Sed meneleponku. Apakah kau yang memberitahunya kalau aku sedang sakit?" Kal mengernyit sebelum menjawab, "Ya. Kau tidak suka?" "Bukan begitu, tapi tolong jangan lakukan lagi. Maksudku—aku tidak ingin membuatnya khawatir." Kal mengangkat kedua bahunya. "Lebih baik kau minum obatnya dulu lalu tidur. Aku juga sudah sangat lelah." Liu mengangguk sebelum akhirnya melangkah ke dispenser besar yang berdiri di samping lemari pendinginnya. Kal berusaha keras melangkahkan kakinya yang mendadak kaku—berusaha mendampingi Liu di sana. Setelah itu keduanya beranjak menuju ke kamar mereka untuk melepas lelah seharian ini. Saat keduanya sudah duduk di sisi ranjang yang berbeda, Kal sudah tidak bisa lagi menahan gundah. Ucapan Rua sudah cukup mengganggu. Ada banyak hal yang ingin diketahuinya dari Liu agar tidak ada hal yang mengusiknya lagi. "Liu ..." panggilnya. "Hm?" Liu membuka matanya yang baru saja dia pejamkan. Kal terlihat gusar. Sepanjang jalan dia mencoba mengusir hal-hal buruk yang mengganggu. Berbagai dugaan negatif mengenai Liu turut timbul dalam otak. Dia takut kalau apa yang dikatakan Rua benar. Mungkin saja Liu mempunyai rahasia yang disembunyikan darinya selama ini. "Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu." Kal memulai dan membalas tatapan mata Liu. Kal tahu kalau dirinya sangat tidak pandai merangkai kata-kata, sampai-sampai dia melihat bagaimana Liu tiba-tiba tertawa geli dan bangun dari posisi tidurnya. Sebelah tangannya meraih lengan Kal dan menyandarkan kepalanya di bahu milik Kal. "Tidak biasanya kau mengatakan hal itu." Kal bergeming. d**a linu menahan diri untuk tidak menolak sentuhan Liu. "Apa kau punya rahasia yang mungkin kau sembunyikan dariku?" Liu tertawa kecil. Kal mengerang. Merasa malu tiba-tiba. "Tentu saja tidak ada yang kusembunyikan darimu, Kal." Kal menarik napas dalam. Mana mungkin Liu mengaku kalau ditanya langsung seperti itu. "Lalu, bagaimana dengan kehidupanmu? Masa lalumu mungkin?" "Masa laluku?" Kal menahan napas ketika kepala Liu melesak ke lehernya. Ada sensasi geli dari rambut halus milik Liu yang membuatnya meremang. "Ya, masa lalumu. Kau bisa menceritakan mantan kekasihmu," kata Kal dengan nada tak yakin. Diberi pertanyaan tiba-tiba seperti itu membuat dahi Liu mengernyit. Kal melontarkan dua pertanyaan terakhir dengan topik yang berbeda. Jadi, mana yang harus dia jawab terlebih dahulu? Tanpa sadar genggaman tangan Liu mengerat. "Sayangnya, tidak ada yang menarik dengan masa laluku." "Tapi—" "Kal, ayo tidur. Bukankah kau lelah?" potong Liu dengan nada merajuk. Tubuh Kal jatuh di fabrik empuk ranjangnya. Dua buah tangan melingkari lehernya erat-erat. Kal beku saat hidung Liu mengendus membaui aroma sisa parfum dari tubuhnya. "Liu—" Sepasang tangan di lehernya mengerat. "Jangan pernah membuka peti yang sudah lama dikubur, Kal. Isinya pasti sudah membusuk." Kal kaget mendengar kalimat terakhir itu meluncur dari bibir Liu. Saat dia menunduk, Liu sudah terlelap dengan lucu di dadanya. Pegangan pria itu pada lehernya mengerat, seakan tidak ingin dilepaskan. Hal itu pulalah yang membuat Kal merasa semakin gelisah dan kalut. Terutama pada kalimat yang dia dengar barusan. Kalimat yang pada akhirnya membawa Kal terjaga sepanjang malam. Sayang sekali, saat pagi akhirnya tiba, rasa gundah di benak Kal tidak sirna. Posisi tidur Liu bahkan sama sekali tidak berpindah. Kal merasakan kulit Liu yang hangat menjalar di tubuhnya. Bahkan wajah pria itu masih terlihat pucat sehingga Kal menjadi tidak tega padanya. Kal bangun dari ranjangnya hati-hati. Demi meringankan beban Liu yang sedang sakit, mungkin dia bisa membereskan rumah. Lagipula shift kerjanya selalu bertepatan sore hari, itu untuk seterusnya. Dia benar-benar akan menjelma menjadi nokturnal. "Preman, apa yang kau lakukan pada rumah Liu!" Kal terlonjak ketika mendengar suara serak melengking yang datang dari arah pintu depan saat dia sedang mengepel lantai. Dua sosok manusia terdiam mematung di sana. Sed dan Teo. Kal mengenal keduanya karena mereka merupakan kerabat Liu. Kal menunjukkan gagang alat pel yang menempel di lengannya. "Tentu saja mengepel! Kau pikir aku sedang menari?!" Pria yang sebelumnya mendelik sinis padanya, berjalan berjingkat mendekat. "Mengepel bagaimana maksudmu? Kau membuat lantai rumah banjir, bodoh!" "Tch. Setidaknya aku sudah berusaha!" "Sudah kuduga, kata 'preman' dan 'pel' tidak akan pernah cocok berada dalam satu kalimat!" "Uh, makin lama suaramu makin melengking, ya?" Kal membuat gestur mengorek kuping, matanya melirik ke arah pria berambut oranye di sampingnya. "Hei, Teo, apa kau tidak tuli lama-lama dekat dengannya?" Teo memasang wajah tanpa ekspresinya. "Terakhir kali aku sampai harus ke dokter telinga," sahutnya santai, tidak peduli orang di sebelahnya meneriakkan 'Hei!' sambil memukul bahunya. "Di mana Liu?" "Di kamar, sedang tidur. Demamnya belum turun juga." Kal melanjutkan acara mengepel basah lantai yang diceceri air berbau seperti pengharum. "Kebetulan kalian datang, aku ada urusan dan harus segera pergi." "Eh, tunggu—mau ke mana kau?" "Bukan urusanmu! Pegang ini!" Kal mendorong gagang pel hingga tergenggam di tangan Sed. Ponsel di saku celananya berdering karena panggilan masuk. "Halo, bagaimana?" Jeda sebentar beberapa detik. "Jadi, sudah kau tangkap? Bagus. Kau potong saja kepalanya sampai dia mati, lalu setelah itu baru kau cincang tubuhnya." Kalimat yang menjurus ke adegan berdarah itu membuat Teo dan Sed seketika melotot. "Baiklah, baiklah. Aku akan membantumu," sahut Kal dengan suara yang agak keras sebelum jeda mengambil alih. Dia melirik Sed sebentar sebelum melanjutkan, "Ha? Mutilasi? Tidak, tidak sekejam itu kok. Ya sudah, aku siap-siap sekarang. Bye." Kal memasukkan ponselnya ke dalam saku kemudian membalikkan badannya. Yang dia lihat hanya Teo yang tengah sibuk mengepel tanpa ada Sed di sana. Anak itu cepat sekali menghilang. "Errr, Kal, apakah kau ini semacam pembunuh bayaran?" tanya Teo dengan nada yang agak ragu. "Ha? Julukan apa lagi yang kalian berikan padaku? Belum cukup kalian memanggilku 'preman' atau 'berandalan'?" Teo berusaha menampakkan wajah kakunya. "Kau bilang di telepon, kau menyuruh seseorang untuk memotong kepala. Kau tidak bermaksud macam-macam, 'kan?" "Apa? Ha? Potong—oh! Ya, ampun! Kau salah sangka, bodoh! Itu cuma ayam yang berhasil ditangkap oleh temanku. Kami berniat memanggangnya. Kau tahu 'kan, temanku itu pengusaha ternak terkenal." "Aku tahu." Tangan Kal menepuk bahu Teo dengan kuat sambil menggumam, 'Aku pergi dulu!' dan Teo hanya mengangguk dengan wajah lega. "Kenapa jadi aku yang mengepel?" gumamnya. Teo berdecih, memutuskan untuk bergabung bersama Sed yang telah berada di kamar Liu. Pria itu sudah terbangun dan Sed tengah memijat tengkuknya. "Kau harus ke dokter! Aku tidak menerima bantahanmu!" Sed berseru. Di luar dugaan, Liu malah meringis karena pijatan Sed benar-benar seperti pukulan berat. "Aku baik-baik saja," katanya. "Lihatlah si preman itu! Kau sedang sakit, dia malah pergi bermain. Benar-benar tidak tahu diuntung!" "Kal sudah ada janji dengan teman-temannya, Sed." Sed mencemooh. "Itu artinya teman-temannya lebih penting darimu!" Di ambang pintu, Teo tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Maka dari itu, dia menuju ke dapur untuk membuat teh herbal yang sudah dibawakan Sed. Meskipun Sed galak dan pemarah, pria itu sebenarnya sangat perhatian dengan Liu. Setelah ketiganya berkumpul, sisa pagi itu dihabiskan mereka dengan bermain kartu. Sebenarnya permainan hanya melibatkan dua orang karena Liu tertidur lelap setelah minum obatnya. Mereka memutuskan untuk berada di sana sampai demam Liu benar-benar turun. Untungnya Sed tidak ada jadwal kelas di kampusnya hari ini, Teo juga izin mengambil cutinya selama beberapa hari. Jadi mereka benar-benar bebas. Mereka baru pulang ketika jam sudah menunjukkan pukul lima dan demam Liu sudah teratasi. Sed sebenarnya bersikeras untuk membawa Liu pergi, tapi pria itu menolak. Saat Liu sudah benar-benar sendirian ketika kedua makhluk yang menemaninya sudah pergi, dia akhirnya menghabiskan sisa waktu untuk menonton televisi. Kal juga sudah mengabarinya bahwa dia telah melesat ke tempat kerja setelah acara ulang tahun kecil-kecilan yang diadakan di rumah temannya. Jadi rasanya sedih sekali tidak melihat wajah Kal sejak pagi. Apalagi sejak pria itu melontarkan pertanyaan macam-macam semalam. Apa yang sebenarnya membuat Kal tiba-tiba berpikir untuk menanyakan itu? Entahlah. Liu menolehkan kepala ke ruang tamu begitu mendengar lubang kunci diputar. Jam di dinding menunjukkan pukul enam sore—tidak mungkin jika itu Kal. Tetapi siapa lagi yang memiliki kunci cadangan rumah ini kecuali kekasihnya? Walaupun kemarin Kal kehilangan kunci, dia sudah berjanji untuk menduplikatnya. Aneh juga kalau Kal kembali pada jam ini. Belum sempat semua pertanyaan di otaknya terjawab, dia mendengar pintu berderit terbuka disusul langkah kaki yang pelan di lantai. Dalam keremangan ruang tamu, Liu tidak bisa melihat dengan jelas sosok yang baru saja masuk. Benar, Kal pulang. Tapi ada apa? Kebingungan Liu terjawab ketika sosok yang muncul dari ruang tamunya bukanlah orang yang dia pikirkan sejak tadi. Bunyi ketukan pantofel yang membelah kesunyian di antara suara televisi semakin memberat. Matanya membelalak. Tidak, itu bukan Kal. Ketika otaknya mengirim sinyal peringatan, Liu berusaha sekuat tenaga untuk beringsut mundur. Kedua kaki mendadak gemetar dan dia segera terhuyung ke belakang sofa. "Hai, Liu." Liu terkejut dengan suara itu. Suara yang sangat familier di telinganya. Sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan orang itu, tapi Liu masih sangat ingat dengan jelas bagaimana sosoknya. Sesuatu dalam dirinya memberontak dan terdengar suara-suara perintah dari dalam kepalanya untuk segera lari. "Masih ingat aku?" ujar si pria misterius, tersenyum. Liu tidak berkutik saat tahu seluruh jendela rumahnya terpasang teralis solid. Jalan ke ruang tamu sudah diblokade oleh orang yang kini menyeringai sambil membawa pisau di tangan kanannya. Ya. Pisau. "R-Rua?" Liu mengingatnya. Pria pucat di hadapannya ini adalah orang yang berperan sangat penting dalam menghancurkan masa lalunya, orang yang sangat keji memperlakukannya seperti sampah. Secepat angin, sebuah dorongan di lehernya membuat punggung Liu membentur dinding. Dia bahkan tidak sempat bereaksi apa-apa. Tangannya berusaha menggapai-gapai udara kosong mencari pertahanan. Rua senang melihat pertunjukkan itu. "Ya, itu namaku, Liu. Kau masih ingat rupanya," desisnya berbahaya. Ujung pisau lancipnya mengarah pada pipi kanan Liu. "Aku adalah kekasihmu yang sangat kau sayangi. Kau masih ingat, 'kan?" Suara itu mengudara. "Kekasih yang dulu sangat kau agungkan, kekasihmu yang sangat berharga. Dan juga ... kekasih yang sudah kau tinggalkan. Benar begitu?" Liu menggeleng sekuat tenaga tanpa bisa menimbulkan sedikit pun suara. Hal itu membuat Rua marah hingga menghantamkan ujung pisaunya ke tembok dengan bunyi berdecit yang memekak. "Kau bohong! Aku kekasihmu, Liu!" kata Rua dengan nada merajuk seperti anak kecil. Matanya menyipit menatap Liu dengan polos. "Aku sangat kesepian saat kau pergi." "L-Lepas!" Kungkungannya tetiba mengendur, tubuh Liu refleks merosot dengan napas sesak tak terkira. Dia berharap ini mimpi buruk, atau efek halusinasi demam sialan yang menderanya. "Tidak ingatkah kau telah membuatku hancur? Kenapa dulu kau pergi dariku, hm?" Liu menggeleng. "Kau berada dalam masalah yang besar," ucap Rua tenang sambil meraih kedua tangan Liu dan memitingnya ke belakang tubuhnya. Pipi kirinya terdorong menyentuh dinding dingin di mana terdapat baret panjang bekas pisau. "Ah! Tidak, tidak! Bukan hanya kau—" Rua berbisik di cuping telinganya, "tapi kekasih laki-lakimu juga dalam masalah besar." Suara tawa Rua menggema di udara dan hampir melemahkan pertahanan Liu. Liu bersumpah jika Rua berniat macam-macam dengan Kal, bahkan menyakiti Kal, dia akan melawan ketakutannya sendiri dan membunuh Rua dengan kedua tangannya. "Dia tidak ada hubungannya dengan ini! Jangan melibatkannya!" Napasnya tersenggal bukan main. Dadanya terbelit, entah karena apa. Ruang udaranya menyempit. Sesak. Rua tidak peduli dengan teriakan Liu. Dia mengikat tangan pria itu dengan sebuah tali. Seberapa besar tenaga yang Liu kerahkan untuk memberontak, dia tetap kalah. Liu tahu Rua tidak pernah main-main dengan perbuatannya. Sejak dulu Rua tidak berubah. Liu menggigit bibirnya kuat-kuat, tidak ingin kejadian masa lalu yang sudah meluluhlantakkan mentalnya terulang kembali. Dia berteriak histeris, "L-Lepas! Lepaskan aku!" Rua tetap tidak peduli, dia terus melilitkan tali ke pergelangan tangan Liu dengan kuat. Satu simpul mati dibuat untuk mengekang kedua tangan lemah itu. "Tidak ada yang bisa kau lakukan, Liu. Bagaimana rasanya? Apakah kau mulai kesakitan?" ledek Rua sambil merangkak ke atas tubuh Liu dan memerangkapnya. "Sudah berapa lama aku tidak melihat ekspresi ini darimu, sayang?" Dari dalam saku mantelnya, Rua mengeluarkan lakban hitam dan menggunakannya untuk membekap mulut Liu. "Uh, lihat?! Kau kesulitan! Coba panggil kekasihmu. Apakah di saat seperti ini, kekasihmu akan datang menyelamatkanmu? Bagaimana jika dia sedang bersama wanita lain di sana?" Ini gila! Ini pasti mimpi buruk! Liu menutup mata rapat-rapat. Tubuhnya gemetar dan mulai sulit untuk bernapas. Di sisi lain, Rua menyamankan diri di antara kedua kaki Liu yang terbuka. Satu lututnya mendorong kuat selangkangannya hingga Liu melenguh kesakitan. Suara pria itu teredam lakban yang menyekap, Rua tertawa terbahak-bahak karenanya. Dengan perlahan, Rua menyentuh d**a Liu, melepas semua kancing piyamanya. "Liu, kau tahu, kau sudah menghancurkan hidupku." Liu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Di matanya ada ketakutan besar dan air matanya telah mengalir. Di sisi yang lain, Liu sesekali mencoba melemahkan tali di belakang tubuhnya, tapi semuanya sia-sia. "Tali yang mengikatmu itu adalah tali yang aku gunakan untuk mengikatmu di lemari gudang sekolah dulu, kau ingat?" Liu membuang pandangannya ke arah lain, namun tangan kanan Rua menarik sejumput rambutnya ke belakang hingga mereka kembali bertemu tatap. Bahkan ketika Liu memejamkan mata, maka Rua akan secara paksa membuka matanya lagi. Pria ini sangat kejam. "Pada hari kau pergi," Rua melanjutkan dengan mata sendu, "apa kau tahu apa yang mereka lakukan padaku?" Liu menggeleng makin kuat. Setitik air matanya jatuh. "Mereka mengejekku; melempariku dengan sampah dan batu. Mereka juga bilang bahwa aku gay menjijikkan. Apa itu benar, Liu?" Suara Rua yang berdayu beriringan dengan napas Liu yang memburu. Sekilas, mata Rua melirik Liu dengan sangat terluka. "Dan ... apa kau tahu bagaimana rasanya saat orang tua satu-satunya yang kau harapkan sebagai pelindung malah mengusirmu? Ha? Rasanya sakit. Sakit! Sakit!" Rua meludah sembarangan di lantai miliknya. "Aku ingin sekali membunuh orang tua itu!" Liu memejamkan matanya sejenak, sebelum akhirnya rambutnya dijambak lagi. "Dan sekarang mereka sudah mati. Kau pasti tidak mau bernasib sama dengan mereka, 'kan?" Kaki Rua merangkak ke atas tubuh Liu dan duduk di atasnya. Seluruh kancing telah terbuka. Kulit d**a Liu terekspos indah dan Rua berseringai. Sekuat tenaga Liu berusaha menjauhkan diri, tapi hasilnya tidak berubah. Dia merintih saat jari Rua menekan putingnya, memainkannya, mengigitnya! Gigitan itu tidak lemah sama sekali, bahkan mungkin Liu akan terluka karenanya. "Seharusnya kau yang mendapat cacian itu! Seharusnya kau!" teriak Rua, dan kalimatnya sendiri yang membuatnya murka dan menghantam rahang kiri Liu. Tak cukup di situ, Rua memberi beberapa pukulan lain secara bertubi-tubi sehingga kepala Liu didera pening hebat. Pandangannya mengabur. Rua berhenti sesaat untuk menikmati tubuh lebam di hadapannya. Amarah telah reda. Dia mendapatkan kembali senyum palsunya dan menarik Liu untuk berdiri berhadapan. Liu dihimpit ke tembok tanpa celah. "Kau akan mendapatkan akibatnya dari perbuatanmu," desisnya berbahaya. "Ah, tidak. Kekasihmu yang bernama Kal cukup menyenangkan untuk menjadi bahan balas dendamku." Rasa takut Liu memuncak mendengar pria ini berniat mencelakakan Kal-nya. Dia menggeleng dengan sangat cepat dan merasakan kepalanya semakin pusing. Secara bertahap Liu mulai kehilangan udara untuk bernapas. Saat itu pula Rua membuka lakban di mulutnya, tapi tidak dapat menghentikannya dari terengah-engah. "Lakukan apa pun padaku! Bunuh saja aku! Jangan sakiti Kal!" Hanya ada tawa meremehkan yang dapat Liu tangkap dari ekspresi Rua. "Kau rela mati demi laki-laki yang bahkan tidak mencintaimu? Naif sekali." Rua mengambil lagi pisau yang tergeletak di lantai. Secara instan menggoreskan ujung tajamnya ke pipi Liu. Lalu lengannya kembali menekan leher pria itu. "Kau salah! Kal sangat mencintaiku!" Rua membuang pandangannya ke sembarang tempat, meludahkan kemarahannya. "Makhluk gay menjijikkan seperti kalian memang pantas mati!" Saat desakan di lehernya terlepas, Liu meringis merasakan sentakan lain yang menyerang otot perutnya. Sebelum dirinya jatuh membentur lantai dingin dan keras, tubuhnya kembali melayang menghantam sudut meja lampu. Liu merintih bersamaan dengan cairan hangat yang mengalir dari dahinya. Semua benda di sekitarnya berbayang, dan sesaat kemudian tubuhnya terkulai. tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD