Wijaya memiliki nama yang banyak makna. Tentu saja, orang tuanya memberi nama dengan unik dan banyak doa yang tersirat. Pradipta Putra Wijaya nama yang diberikan oleh orang tuanya. Nama yang begitu indah. Saat ini, Wijaya sedang berjalan menyusuri lorong kampus yang menghubungkan dengan kelasnya. Dia merupakan salah satu mahasiswa jurusan pendidikan sejarah tingkat akhir. Sekitar dua semester lagi, dirinya sudah resmi menyandang sebuah gelar sarjana.
Dia telah duduk di bangku barisan depan, tepat di depan meja dosen. Benar-benar menjadi mahasiswa kebanggaan para dosen. Wijaya mengambil bolpoin bertinta hitam dan sebuah buku kecil dengan sampul warna hitam. Dengan santai ia menuliskan beberapa daftar kegiatan yang akan ia kerjakan selama satu hari. Bagi seorang Wijaya, waktu adalah segalanya. Bahkan, saru detik saja baginya setara dengan beribu juta nilai uang. Dalam artian, setiap waktu yang berjalan akan menentukan kesuksesannya di masa depan. Oleh karena itu, ia akan membuat daftar semacam menu makanan yang akan ia santap selama satu hari. Begitu pun di setiap harinya.
“Selamat pagi ... mohon maaf sedikit terlambat masuk kelas, sebab, saya mengalami halangan di perjalanan. Nah, hari ini, saya akan mengajak kalian ke titik balik nama kalian,” ujar dosen sejarah yang saat ini memakai pakaian batik berwarna cokelat.
“Ya Allah, Pak. Saya tidak tahu arti dan makna nama saya. Kenapa harus bahas itu, sih. Kenapa tidak membahas tentang kerajaan-kerajaan nusantara saja, Pak,” ucap salah satu mahasiswa yang mengikuti kelas dengan duduk di barisan belakang. Dia memakai kemeja hitam dengan celana putih dan sepatu warna hitam.
“Sudah-sudah. Saya akan memulai dari Jaya. Nah, Jaya silakan maju dan perkenalkan tentang diri kamu.”
Wijaya berjalan ke depan. Ia berdiri di tengah-tengah sembari memakai mikrofon. Entah aneh jika pelajaran sejarah di mulai. Pasti akan ada sebuah presentasi tentang banyak hal. Tidak heran jika tiba-tiba disuruh presentasi mengenai topik yang—mungkin—nyeleneh. Contohnya saat ini, mereka harus menjelaskan tentang nama yang mahasiswa dan mahasiswi pakai seumur hidup.
“Huh, rasanya benar-benar deg-degan. Baik, sebelumnya ... Assalamualaikum, selamat pagi dan salam enam agama. Sebenarnya, nama saya biasa saja. Tetapi, kata orang tua saya unik. Nama saya, Pradipta Putra Wijaya. Konon, kata dari ibu saya nama ini selain indah juga mengandung doa. Orang tua saya berharap, agar saya menjadi anak laki-laki yang memiliki kemenangan dan penuh keterangan. Jika ditanya, apakah saya telah mewujudkan doa dari orang tua saya, maka jawabannya belum sama sekali. Oleh karena itu, dengan kuliah di jurusan sejarah ini saya berharap menjadikan langkah awal dalam mencapai impian orang tua. Sekian dari saya, terima kasih.” Jaya berjalan kembali ke tempat duduknya.
“Baik, apakah penjelasan tentang makna dan titik balik nama kalian akan diteruskan atau kita masuk pada materi?” tawarnya.
Mahasiswa dan mahasiswi berteriak membuat suasana semakin gaduh. Mereka memilih untuk melanjutkan materi daripada harus menjelaskan arti nama masing-masing. Alasan paling mendasar adalah mereka tidak tahu dengan arti namanya.
“BAIK, TENANG ANAK-ANAK SEKALIAN! SAYA AKAN MELANJUTKAN MATERI,” ucapnya setengah teriak karena suasana kelas memang persis seperti pasar. Bahkan, hampir tidak layak disebut ruang kelas mahasiswa.
“Pak, tidak adil. Masa saya maju dengan perasaan yang malu, teman-teman tidak.” Jaya berdiri sembari mengangkat tangannya. Ia protes dengan keputusan gurunya. Sebenarnya, ia tidak sanggup saja jika harus mendengarkan dosennya menjelaskan materi sejarah yang lumayan rumit itu.
Setelah saru jam, Jaya mengikuti pembelajaran, ia langsung pulang ke rumah. Ia sampai di rumah sekitar pukul dua siang. Sebab, ramainya jalanan kota yang menyebabkan macet sepanjang jalan. Jaya membersihkan badannya lalu ikut bersama ibunya duduk di ruang tengah sembari membaca buku sejarah. Ibu Wijaya merupakan salah satu ibu-ibu yang menyukai dunia sejarah, khususnya sejarah Indonesia. Katanya, dengan mempelajari sejarah, kita akan mendapatkan pelajaran berharga yang bisa diimplementasikan ke dalam kehidupan era globalisasi.
“Ma, kenapa selalu baca-baca tentang sejarah?” tanya Jaya yang duduk di sebelah kanan ibunya. “Ma, wanita seumur Mama itu harusnya duduk diam banyak istirahat. Mama, masih saja belajar sejarah. Wijaya yang kuliah saja rasanya malas.”
“Kamu mah malas terus. Walaupun umur sudah banyak, ilmu itu wajib. Untuk mencari ilmu itu tidak dibatasi umur, gender, dan apa pun itu. Ilmu juga bisa dicari dari siapa pun dan di mana pun. Jadi, Mama bisa dong tetap mencari ilmu. Bahkan, Mama dapat banyak hal dari materi-materi atau bacaan yang mengandung sejarah. Nama kamu saja, Mama terinspirasi dari sejarah.”
“Memang apa, Ma?”
“Ya itu, Wijaya. Mama terinspirasi dari nama pendiri Kerajaan Majapahit, yaitu Prabu Sriwijaya. Mama memberikan nama Wijaya karena ... Mama ingin kamu mampu menjadi laki-laki yang bisa menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, selain itu, Mama juga ingin kamu bisa sukses dengan cara kamu sendiri. Mama hanya bisa mendukungmu dari belakang.”
Terdengar suara bel rumah yang berbunyi. Di luar ternyata ada ketua RT yang bertamu. Mama Wijaya bergegas menghampirinya. Ternyata, beliau meminta sumbangan seikhlasnya untuk menambah dana pembangunan masjid. Setelah ia pergi, Mama kembali ke ruang tengah. Mereka melanjutkan pembicaraan tentang nama Wijaya.
“Ma, kenapa bukan Mada. Keren tuh.”
“Ya ... Setiap tokoh dalam sejarah pasti memiliki sifat atau karakternya masing-masing. Namanya juga keren-keren. Tapi, Mama kesengsem sama Raden Wijaya.”
“Memang apa yang membuat Mama kesengsem?” tanya Wijaya dengan tersenyum kala melihat ibunya pun tersenyum dengan manis. “Memang Mama tidak kesengsem sama almarhum Papa?”
“Papa kamu mah paling terbaik. Mama suka sama karakter Raden Wijaya. Beliau pemimpin yang hebat sampai akhir hayatnya. Selain itu, Beliau tipe orang yang tidak ingkar janji. Oleh sebab itu, Jaya, jangan pernah kamu mengingkari janji. Kalau sampai ... Kamu ingkar janji, malu Mamamu ini.”
Mama Wijaya beranjak meninggalkan Jaya yang masih duduk di sofa. Sofia—Mama Wijaya— pergi ke dapur untuk memasak makan malam. Walaupun, di dalam rumah hanya ada dua orang, beliau tidak mau membeli makanan dari luar. Menurutnya, makanan jauh lebih sehat jika dirinya sendiri yang memasak.
Sore hari itu, Sofia memasak menu sayur jengkol, ayam goreng, tahu dan tempe goreng, serta sambal kosek. Walaupun harta peninggalan almarhum suaminya melimpah ruah, ia jauh lebih suka dengan makanan yang sederhana. Kehidupannya jauh dari kata mewah, semuanya serba sederhana.
Wijaya berjalan ke arah dapur. “Ma, butuh bantuan?” tanyanya ketika berdiri di belakang Sofia yang sedang mencuci piring.
“Enggak. Kamu tunggu saja di meja makan.” Sofia menaruh gelas, piring, dan beberapa perabotan di rak dekat meja kompor.
Wijaya berjalan ke meja makan. Ia duduk di kursi yang biasanya ia duduki. Sejak dua tahun kepergian ayahnya, Wijaya lebih sering meminta pada ibunya untuk memasakkan makanan kesukaan ayahnya. Contohnya hari ini, ia meminta ibunya untuk memasak sayur jengkol.
“Jaya .... “