Canda Membawa Rasa

1109 Words
"Kalau begitu apa?” tanya Gayatri dengan bibir yang terlihat gemetar. Bahkan, tangan pun terasa ngilu kaku akibat hatinya yang diserang kupu-kupu secara mendadak. Apa memang seorang laki-laki pandai membuat perasaan seorang perempuan terbang tinggi ke angkasa? Gayatri melangkah beberapa langkah sampai berdiri tegak di hadapan Wijaya. Menatap seseorang yang beberapa waktu terakhir membuatnya merana setiap malam. Mungkin, Wijaya bukanlah sosok laki-laki yang terlalu sempurna. Tapi, kecerdasannya mampu membuat orang lain terkagum-kagum dengan sosoknya. Termasuk, Gayatri. Tapi, dia masih bisa mengelola hatinya agar tidak terlalu dalam menyukainya. “Berdirinya di sini,” jawab Wijaya menunjukkan sebelah kanannya. “Kalau kamu berdiri di depan saya, jalan saya terhalang,” sambungnya. Gayatri berjalan ke arah samping pria itu. Dasarnya perempuan kadung nyaman, pasti akan menurut dengan perintah dari seseorang yang spesial di hatinya. Akan tetapi, sebagai manusia biasa, lebih baik lagi apabila mencintai sesama umat-Nya secara wajarnya. Jangan pernah sampai menjadi manusia yang g****k hanya karena alasan cinta. “Bisa jalan, kan?” “Iya.” “Jaya, maksudnya itu kalau apa?” tanya Gayatri berjongkok di tempat. Menatap langkah kaki Wijaya yang tidak jelas akan melangkah ke mana. Benar-benar lucu melihat tingkah pria itu. “Kenapa tertawa?” tanyanya. Berbalik badan menatap gadis yang tengah kelelahan. Padahal, Gayatri hanya ingin belajar bersamanya. Tapi, malah menjadi tidak jelas kala Wijaya mondar-mandir tanpa tujuan. “Kalau kita langsung belajar,” sambungnya sembari mengambil ranting kayu yang ada di dekatnya. Wijaya mendekati perempuan yang sedang selonjor di tanah. Bahkan, gadis itu tidak takut dengan pakaian yang kotor. Padahal, kondisi tanah begitu lembap. “Gayatri, bisakah berdiri? Tanahnya basah,” katanya. Gayatri terbangun dari duduknya. Berdiri dengan menatap ke arah Wijaya. Tidak disadari, mata mereka bertemu. Tapi, sama-sama menyembunyikan rasa suka yang terpancar dari sorot matanya. “Maaf,” kata Gayatri yang menyadari bahwa matanya sama sekali tidak berkedip sejak beberapa detik yang lalu. “Iya, sekarang saya mau memberitahukan ke kamu tentang huruf. Jadi, guna si huruf ini yang akan dirangkai menjadi sebuah kata.” Wijaya menuliskan huruf-huruf secara berurutan di tanah. Kemudian, menyebutkannya satu persatu agar bisa dimengerti oleh Gayatri. Beberapa waktu kemudian, Gayatri telah mengerti dan lumayan bagus dalam menghafal huruf. “Jaya, kalau nama Gayatri berarti ada huruf G-A-Y-A-T-R-I, ya?” tanyanya sembari mengeja namanya sendiri. “Ada di hati saya,” lirihnya, “eh, iya sudah benar. Kamu belajar lagi, ya, nanti. Kalau sudah bisa, kamu ajarkan ke teman-temanmu. Mereka juga punya hak yang sama untuk belajar seperti kamu.” Beberapa menit kemudian, Wijaya masuk ke dalam huniannya. Mengambil dua gelas air putih untuk menghilangkan rasa dahaga yang mengganggu sejak tadi. Selain itu, agar bisa membantunya dalam menetralkan rasa deg-degan dalam hatinya. “Silakan diminum,” katanya. “Terima kasih, maaf, ya jadi merepotkan. Wijaya, saya boleh minta tolong? Tolong jelaskan saya untuk membaca huruf ini,” katanya sembari menunjukkan huruf Z dengan ranting yang ia gunakan untuk menuliskan huruf. Wijaya pun mengangguk lalu menyebutkan huruf yang ia maksud dengan bentuk bibir yang terlihat jelas. Memang, pengucapan huruf Z agak sulit. Bahkan, ada beberapa versi untuk penyebutannya. “Sebisa kamu saja,” kata Wijaya yang menyerah. Gayatri memang kesulitan dalam membacanya. Padahal, Wijaya telah memberikan contoh kata yang menggunakan huruf Z. “Ehm." Wijaya menunduk, “Wijaya, kenapa kamu mau berbagi ilmu sama aku?” tanya Gayatri sembari membenarkan sanggul rambutnya yang rusak. Pesonanya kala menyanggul rambutnya begitu terlihat lebih menawan. Bahkan, Wijaya tidak sempat untuk mengedip sampai akhirnya mendapatkan lirikan dari Gayatri. “Kenapa?” “Enggak ada apa-apa. Ya, karena saya tidak pelit ilmu. Lagi pula, semakin banyak orang yang tahu ilmu dari saya, kan, ilmu saya semakin bermanfaat. Jangan pernah menjadi orang yang sombong hanya karena memiliki sesuatu yang orang lain belum miliki. Syukur-syukur dibagikan apa yang memang kita miliki.” “Gusti, saya bangga sama kamu. Terima kasih, ya,” kata Gayatri. “Biasa saja. Gayatri, umur kamu berapa?” tanya Wijaya secara mendadak. Bahkan, kata-kata yang terucap saja tidak dipikir terlebih dahulu. “Eh, maaf,” sambungnya ketika melihat Gayatri tampak tidak menjawabnya. Justru, gadis itu memilih menunduk. “Enggak apa, umur saya ... 19 tahun. Memang kenapa?” jawabnya sembari melirik ke arah Wijaya. “Berarti sudah bisa untuk menikah,” jawabnya sembari membekap mulutnya yang tidak bisa dikontrol, jika sudah berhadapan dengan seseorang yang disukainya. “Maaf, bercanda saja,” sambung Wijaya sembari menggaruk kepalanya. “Sekarang kamu pulang, ya, takutnya Ayah mencari mu.” Gayatri mengangguk. Membuang ranting yang masih setia di genggamannya. Melangkah kembali ke rumah. Sedangkan, Wijaya pun kembali ke rumah. Membawa dua gelasnya. Kemudian, duduk di bangku panjang berkelana dengan pikirannya sendiri. Memikirkan bagaimana caranya agar bisa kembali ke dunianya. Bertemu dengan ibu dan teman-temannya yang sesungguhnya. Bahkan, alasannya bisa sampai di dunia yang asing ini saja, belum ditemukan olehnya. “Jaya, ayo dipikir, jangan keasyikan jatuh cinta.” Wijaya mengambil air dari gentong untuk mencuci wajahnya yang telah kusam akibat keringat dan debu. Beberapa waktu kemudian, Wijaya teringat dengan pesona Gayatri tadi. Apakah Wijaya harus menetap di dunianya saat ini agar tetap bisa bersatu dengan gadis itu? Tapi, jika begitu, Wijaya menjadi seseorang yang egois. Tidak memikirkan bagaimana ibunya sedang cemas mencarinya. Apalagi, sudah cukup lama dirinya tidak bertemu dengan malaikat tak bersayap. “Jaya, jangan sampai g****k mencinta!” teriaknya. Cinta, memang tidak tahu akan datang kapan dan untuk siapa. Bahkan, Wijaya sendiri tidak menyangka akan mencintai Gayatri. Tapi, banyak hal yang akan membebani dalam perjalanan asmaranya. Dia terus mencoba untuk mengontrol perasaannya. Sebuah rasa cinta, seharusnya bisa untuk dikontrol agar tidak lepas kendali. Mengingat, Gayatri seorang gadis yang polos dan masih suci. Seorang perempuan yang dibesarkan dengan penuh rasa kasih dari kedua orang tuanya. Wijaya merebahkan diri di bangku. Kepalanya terasa pening. Entah, karena apa. Tiba-tiba saja dia merasakan kepala yang berat. Bahkan, menatap atap rumah saja terasa berputar. Ada apa dengannya? “Jaya, kuat,” katanya sembari memegangi kepalanya. Mencoba untuk memejamkan matanya. Tapi, gagal karena rasa pening yang terus menghantuinya. Wijaya duduk bersandar pada dinding kayu itu. Menatap ke bawah agar tidak pusing. Nyatanya, sama saja. “Susahnya hidup seorang diri,” lirih Wijaya. Wijaya keluar dari rumah. Duduk di teras sembari mengamati gemerlapnya bintang di angkasa. Begitu indah, setidaknya benda langit itu menjadi pelipur laranya dalam beberapa waktu. Lumayan merasa tenang. Wijaya menunduk sembari memejamkan matanya sejenak. Angin malam itu semakin larut semakin menusuk sampai ke tulang-tulang pria itu. Tapi, dia tidak mengurungkan niatnya. Tetap duduk di teras sembari tertidur di sana. Entah, rasanya lebih nyaman di luar. Walaupun, tubuhnya menggigil, tapi pening di kepalanya mulai berangsur membaik. Mungkin, hal ini memang aneh bagi orang lain. Akan tetapi, bagi Wijaya sudah menjadi sebuah rutinitas kala sakit kepalanya kambuh. “Nak .... “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD