Pengelolaan Sumber Daya di Sekitar

1607 Words
Satu bulan kemudian, seluruh persiapan untuk bertani telah siap. Irigasi pun telah selesai. Kini, semua warga sedang bergotong royong untuk menanami lahan-lahan itu. Lahan yang semua hanya dipenuhi semak belukar. Kini, dirombak untuk dikelola lebih baik lagi. Wijaya sedang mencangkul tanah bersama beberapa warga. Termasuk, Raja Purnama yang ikut juga untuk terjun langsung dalam proses bertani. Di sini, semua saking belajar untuk melakukan kegiatan ini. Sebuah aktivitas baru yang sedang dalam bahan percobaan. Hari yang sangat mendukung untuk bekerja. Semua warga yang ada di tempat saling bahu membahu demi tercapainya kemakmuran. Sebuah impian yang membutuhkan aksi. Mimpi tanpa ada tindakan, tidak akan pernah bisa terwujud. Walaupun mendung, mereka tetap semangat dalam mengerjakan pekerjaan masing-masing. Tidak hanya pria saja yang bekerja, tapi wanita-wanita tangguh pun ikut bekerja dengan memasak makanan untuk teman istirahat siang, nanti. Saat ini, Gayatri sedang berada di sebuah tenda yang digunakan untuk memasak. Bersama dengan beberapa warga lainnya. Walaupun sudah satu bulan berlalu, sikap ibunya belum juga melunak. Apalagi, ayahnya yang masih saja belum mau untuk bertegur sapa. Padahal, sudah dijelaskan semuanya. Raja Purnama pun telah memberikan penjelasan kepada mereka. Mungkin, memang harus bersabar dan terus mencoba untuk menyairkan suasana kembali. “Bunda, singkongnya mau dibuat apa?” tanya Gayatri dengan sopan. Berjongkok di dekat ibunya yang sedang mengupas singkong. “Direbus,” singkatnya. Beberapa jam kemudian, singkong rebus, air minum, dan beberapa camilan yang sama-sama terbuat dari singkong pun telah matang. Sudah siap disajikan untuk dinikmati warga yang sedang bergotong royong mengelola lahan kosong itu. Gayatri bersama beberapa temannya pun mengangkat masakan itu ke tempat paling dekat dengan lahan. Raja Purnama yang mengetahui kehadiran wanita-wanita itu pun menyuruh agar warga bisa menikmati hidangan terlebih dahulu. “Padahal, sebenarnya saya juga sudah lapar sejak tadi,” katanya yang menimpali ucap salah satu warga. Warga itu tidak sengaja mengeluarkan bunyi dari dalam perutnya. Pertanda telah lapar kelas tinggi. “Sudah ayo makan,” sambung Raja Purnama mengambil selembar daun pisang untuk alas makan. Wijaya mengambil satu porsi makanan. Duduk di sebelah ayah mertuanya. Walaupun berada di tempat yang ramai, tetap saja Prabu Tengker bersikap cuek. Bahkan, menyapa Wijaya saja tidak. Mengetahui Wijaya yang terdiam, Raja Purnama pindah tempat duduk di sebelah Wijaya. “Wijaya, bagaimana hubungan kamu dengan Gayatri?” tanyanya dengan sengaja. Beliau memiliki tujuan agar Prabu Tengker merasa bersalah telah bersikap egois. Seakan tidak memikirkan kebahagiaan anaknya. “Kalian selalu bahagia, bukan?” “Puji syukur, Gusti memberikan kebahagiaan. Walaupun ... belum terasa lengkap,” jawab Wijaya mengusap keringat yang bercucuran di pipinya. “Bagus, selalu bahagia. Kalau ada masalah, bersikaplah seperti anak kecil. Bertengkar sebentar, lalu kembali bersama. Jangan pernah mendahulukan sifat egois dalam sebuah rumah tangga. Hal itu tidak akan baik dalam menjalani kehidupan bersama,” katanya beranjak untuk membuang sampah di tempat yang telah disediakan. Setelah selesai makan siang, mereka kembali untuk mencangkul lahan yang masih luas. Perlahan tapi pasti. Wijaya selalu berpegang pada kalimat itu dalam mengerjakan atau mengejar sesuatu. Dia tidak akan pernah terlalu berambisi. Memang, manusia seharusnya memiliki sebuah ambisi untuk kehidupannya. Tapi, ambisi yang berlebihan bisa saja akan mematahkan tujuan. Oleh karena itu, Wijaya ingin menikmati proses demi proses dalam menggarap lahan itu. Tangannya telah merasakan sesuatu yang tidak nyaman. Otot-ototnya telah berkumpul di salah satu titik. Rasanya, ingin menyerah, tapi melihat warga yang memiliki semangat menggebu-gebu pun membuat Wijaya kembali mengumpulkan semangatnya. “Istirahat dulu, jangan dipaksa kalau memang sudah lelah,” kata Raja Purnama yang sedang melihat situasi lahan sebelah. Kebetulan melewati di mana Wijaya berdiri. “Jangan pernah memaksakan. Kasihan itu tanganmu,” sambungnya sembari berlalu. Wijaya memilih untuk menuruti apa yang dikatakan oleh raja. Menepi lalu duduk di sebuah batu besar. Memandangi warga yang sedang mencangkul dengan semangatnya. Tangan kiri digunakan untuk memijit tangan kanannya selama beberapa menit, lalu bergantian. Ternyata, mencangkul lahan yang benar-benar baru, rasanya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Sekitar pukul dua siang, tiba-tiba turun hujan dengan derasnya. Akhirnya, mereka memilih untuk segera meninggalkan tempat. Mengingat sungai yang sering pasang ketika hujan menerjang. Kini, Wijaya telah berada di rumah satu petak itu bersama Gayatri. Mereka selama satu bulan tinggal bersama. Gayatri tidak ingin terlalu merasakan sakit ketika melihat sikap orang tuanya yang dingin setiap hari. Akhirnya, ia memilih tinggal di rumah satu petak itu. “Kamu lap dulu pakai ini,” katanya sembari memberikan satu kain kepada suaminya. Wijaya membersihkan tubuhnya dari air hujan. Kemudian, duduk di depan tungku. Menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Sedangkan, Gayatri membuatkan minuman jahe hangat untuk Wijaya. “Silakan diminum, biar hangat,” katanya sembari memberikan satu gelas berisi air jahe yang masih sedikit panas. “Terima kasih,” kata Wijaya sembari menyalakan kayu bakar yang sempat mati apinya. “Wijaya, sudah satu bulan, kapan bisa kaya dulu lagi?” katanya sembari menunduk. Wijaya menghadap ke arah perempuan itu. Mengusap air matanya lalu memeluknya. Memberikan energi positif agar bisa menahan rasa rindu itu. Benar, hubungan yang menyakitkan itu ketika hidup berdampingan akan tetapi situasi telah berubah. “Kita masih harus bersabar,” kata Wijaya mencium kening istrinya. “Apa nanti akan ada kesempatan bisa akur lagi?” “Ada.” Hujan telah mereda. Tapi, hujan tangis dalam hati Gayatri masih sederas satu bulan lalu. Tak banyak yang bis dilakukan, Gayatri hanya bisa berdoa. Meminta untuk dibukakan hati orang tuanya. Dia ingin bisa berbakti kepada keduanya. Tapi, sikap yang tidak bisa diubah secara dadakan. Membuatnya tak bisa berbuat banyak untuk ayah dan ibunya. Tapi, di dalam hati Gayatri akan selalu ada cinta untuk keduanya. “Sudah jangan menangis, kalau kamu seperti ini, saya jadi bingung harus berbuat apa,” katanya sembari mengacak-acak rambut istrinya. Keesokan harinya, Wijaya membantu untuk menanam tanaman yang sudah disediakan. Walaupun tidak langsung menyeluruh, tapi setidaknya telah ada beberapa kotak ladang yang ditanami. Tidak terasa, waktu semakin terasa cepat. Sinar matahari telah berada di atas kepala. Raja Purnama meminta kepada Wijaya untuk ikut dengannya. “Wijaya, sampah-sampah ini bagaimana?” tanya Raja Purnama sembari menunjukkan dua kantong sampah yang belum juga disingkirkan. “Sampah daun-daun bisa digunakan untuk membuat pupuk. Nantinya bisa bermanfaat untuk tanaman-tanaman. Tapi, lagi-lagi masih dibutuhkan waktu untuk mengolahnya. Sedangkan, sampah plastik ini bisa pilah kembali. Ambil yang masih layak saja, bisa digunakan kerajinan tangan.” Beberapa waktu kemudian, Wijaya bersama dengan Raja Purnama sedang mencoba untuk mengelola sampah organik. Pelan-pelan mereka membuat sampah itu menjadi barang yang lebih berharga. Padahal, Wijaya sendiri tidak tahu langkah yang benar. Dia hanya menggunakan logika saja. Menimbun sampah organik itu dengan tanah. “Maaf, Baginda, saya juga sedang melakukan percobaan,” ketanya sembari tertawa tipis. Setelah selesai, mereka ikut gabung bersama warga yang sedang bercocok tanam. Melanjutkan kegiatan yang belum selesai, kemarin. Sekitar pukul dua belas siang, mereka kembali ke rumah. “Wijaya, nanti setiap tiga hari sekali kamu cek saja.” Raja Purnama menepuk pelan bahu Wijaya. “Baik, nanti saya yang akan mengecek secara berkala.” “Wijaya!” teriak Gayatri yang sedang berlari. Langkah larinya seakan sedang ada sesuatu yang bahaya. Wijaya menghadap ke arah Gayatri. “Ada apa?” tanya Wijaya yang tengah khawatir kepada istrinya itu. “Ini ada sesuatu,” jawabnya masih memasang mimik panik. “Sudah, kalian selesaikan dulu,” kata Raja Purnama sembari berlalu. Kakinya kembali ke arah ladang untuk melihat proses yang sedang berjalan. Wijaya mengajak Gayatri menepi. Duduk di sebuah batu yang tidak jauh dari mereka berdiri, tadi. Pria itu menunggu Gayatri untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Akan tetapi, Gayatri belum juga membuka mulutnya. “Ada apa?” tanya Wijaya sekali lagi sembari membetulkan rambut wanita itu yang sedikit berantakan. Mengundurkan rambut ke belakang telinga. “Wijaya ... sebentar masih agak sesak.” Gayatri membuang napasnya beberapa kali. “Begini .... “ “Ayolah Gayatri, saya masih ada pekerjaan,” katanya mengeluh karena ulah istrinya. Apalagi, dari kejauhan ada Prabu Tengker yang sedang mengamatinya. Dari kejauhan saja terlihat jelas raut wajahnya yang begitu tidak suka. “Tidak ada apa-apa, sih. Gayatri hanya rindu sama kamu,” jawabnya sembari tersenyum manis. “Astaga, kamu pulang dulu. Saya mau melanjutkan pekerjaan, itu masih banyak,” kata Wijaya sembari menunjuk ke arah ladang yang sedang digarap oleh warga. Mereka masih setia bergotong royong untuk mengerjakan semua perencanaan yang sudah matang. Gayatri cemberut sembari membuang muka dari Wijaya. Melangkah pergi dari tempat. Melihat tingkah Gayatri membuat Wijaya terheran-heran. Menggelengkan kepalanya akan tingkahnya itu. Kemudian, melanjutkan untuk mencangkul tanah dan membantu tipis-tipis menanam sayuran, serta pohon singkong. “Kamu kalau mau pulang tidak apa,” goda Raja Purnama. “Tidak, Baginda. Saya tidak mau kalah dengan warga yang masih memiliki semangat tinggi,” kata Wijaya sembari tersenyum manis. Kembali berjongkok untuk menanam sayuran yang sudah ada di genggamannya. Tiga jam kemudian, mereka kembali ke rumah masing-masing. Waktu memang sudah sore, waktu untuk istirahat dan bercengkerama bersama keluarga. Begitu pula dengan Wijaya yang sudah sampai di pintu belakang. Membuka pintu lalu melenggang ke dalam. Terkejut dengan sosok wanita yang ada di sana. Beliau sedang memasak singkong rebus menggunakan tungku. “Gayatri,” panggilnya. “Wijaya, saya masih kaget. Tadi, Bunda datang ke sini secara tiba-tiba.” Gayatri memeluk ibunya dengan erat. “Saya meminta maaf, saya sebagai orang tua tidak seharusnya bersikap seperti itu. Perlahan, saya akan berusaha untuk memberikan restu untuk kalian. Bunda sadar bahwa Wijaya ini orang baik. Hanya saja, asal-usul yang masih belum jelas,” jawab Tunggadewi sembari mempererat pelukan putrinya. “Tidak apa-apa, Ibu. Kami selalu menyayangi Ibu dan Ayah, tidak ada rasa benci atau marah di hati kami,” kata Wijaya sembari tersenyum manis. “TUNGGADEWI, PULANG!” Wanita itu segera beranjak dari duduknya. Terpaksa melepaskan pelukan hangat yang sama-sama sedang dirindukan itu. Tapi, karena suatu hal harus terpisah kembali. Gayatri dan Wijaya hanya bisa menatap punggung itu perlahan menjauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD