“Tumben lo di sini, ngapain?” Laki-laki berbadan tegap tersebut duduk di sebelah sahabatnya yang tengah termangu menatap tanaman di depannya. “Gue males di rumah, pilih berangkat pagi. Lo juga ngapain di sini, Nyu? Nggak biasanya.”
“Gue emang berangkat jam segini kalau lagi rajin dan selalu mangkal di sini sebelum Kinan atau Gendhis datang. Setelah mereka datang gue milih nongkrong di atas sampai lo datang. Wajah lo kusut banget sih, Mik, lagi ada masalah ya? Pagi-pagi tuh jangan murung gini, nanti bakal berdampak buruk ke hal lain loh. Kalau lo pengen berbagi, sini berbagi ke gue. Jangan pernah merasa sendiri. Lo masih punya kawan,” ucap Abimanyu sambil menepuk bahu Jatmika. Senyuman di bibir laki-laki tersebut seolah menjadi hipnotis dan obat penenang untuk Jatmika. Ia mencoba menghela napasnya lalu melirik Abimanyu yang menatapnya seoalah tanpa kedip sama sekali.
“Mama gue pulang.” Jatmika menatap langit yang terlihat mendung pagi ini, menggambarkan bagaimana perasaan yang sedang ia alami sekarang. Ia sebenarnya bahagia sekali mamanya kembali pulang ke rumah dan bisa menatap wajah cantik perempuan paruh baya tersebut. Hanya saja mamanya pulang membawa kabar buruk bagi Jatmika. Dia sudah dewasa dan tak ingin diatur lagi oleh sang mama. Jatmika merasa sudah bisa mengatur semua apa yang dia butuhkan, bisa dibilang mandiri dalam berbagai hal. Karena tidak ada kehadiran sang ibu di tengah kehidupannya membuat Jatmika merasa harus bisa menguasai segala hal, ia menjadi mandiri akibat paksaan dari keadaan.
“Bagus dong, Mika, lo kan dari dulu pengen mama lo pulang. Terus apa yang bikin lo nggak betah di rumah? Dan juga wajah lo murung banget pas bilang mama lo pulang. Lo nggak nyaman ya?” tanya Abimanyu. Raut wajahnya berubah menjadi khawatir, ia merasa apa yang tengah dirasakan Jatmika. Laki-laki yang berada di sampingnya tersebut hanya bisa menghela napas saja, bahkan terlihat Jatmika sangat capek sekali. “Mama mau ngajak gue pindah.”
Abimanyu menoleh dengan melebarkan matanya. Ia mengerjabkan mata meminta kepastian yang jelas dari Jatmika. “Lo beneran, Mik? Lo mau pindah kemana? Terus lo ikut? Pikirkan terlebih dahulu dengan kepala dingin, Mik, jangan sampai keputusan yang lo ambil sekarang malah jadi beban di kemudian hari. Atau mungkin mama lo punya alasan sendiri buat ngajak lo pindah kali, Mik, biar setiap hari dekat terus sama lo. Mama lo juga pengen ngawasi lo dua puluh empat jam penuh seperti para mama lainnya. Yang kalian jalani berdua bukanlah pilihan terbaik, tapi mama lo menjalaninya dengan baik. Sebisa mungkin menyempatkan diri untuk pulang tengok keadaan anaknya. Lo harus bisa melihat dari berbagai sudut pandang, Mik.”
“Gue nggak mau pindah. Mama ngajak ke Singapura. Semua perusahaan sudah dipindah tangankan ke mama dan pindah tempat ke Singapura. Jadi waktu mama bakal habis di sana terus. Tapi gue nggak mau ikut.” Jatmika menghembuskan napasnya kasar, ia kembali menatap langit. Ia tak bisa meninggalkan semua yang sudah menemaninya hingga dua puluh tahun lamanya dari jaman masih bayi sampai sudah sebesar ini. Jatmika sendiri kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan dan teman baru, bahkan di kampus temannya hanya itu saja. Ia tidak bisa menerima orang baru dalam waktu singkat, butuh adaptasi lama sekali.
“Alasannya lo nggak mau pindah apa, Mik? Kalau lo pengen nolak tetap gunakan bahasa yang baik dan benar, biar nggak menyinggung perasaan Tanter Mira. Perasaan seorang ibu itu biasanya rapuh banget, Mik, jangan sampai lo melukai perasaan mama lo. Fatal akibatnya. Bicarakan baik-baik dengan beliau, cari jalan keluar bareng-bareng. Pasti ada kok solusi terbaik untuk setiap masalah.” Abimanyu menepuk bahu Jatmika, ia tersenyum menyemangati laki-laki tersebut agar tidak terlalu murung seperti ini. Perasaan Jatmika pasti sedang berada di ambang hancur-hancurnya. Abimanyu bisa merasakan tatapan pedih yang Jatmika layangkan padanya, laki-laki itu jarang sekali memperlihatkan sisi rapuhnya seperti ini. Dan untuk pertama kali, Abimanyu menyaksikan betapa rapuhnya Jatmika di depannya.
“Gue nggak mau ninggalin Indonesia, kalian semua dan seluruh kenangan bersama papa. Semua nggak bisa gue dapatkan di sana. Keputusan gue nggak bisa diganggu gugat. Kalau mama pengen menetap di sana, nggak papa. Gue lebih baik di sini. Ada atau tanpa adanya beliau, hidup gue juga sama aja. Kenapa baru peduli sekarang? Kenapa baru ingat kalau punya anak, dari dulu kemana aja? Selama ini yang rawat gue juga cuma Bu Ratih.” Jatmika mengacak-acak rambutnya kasar. Ia tak suka dengan keadaan sekarang yang membuatnya harus memilih, sedangkan dirinya sendiri tidak bisa memilih di antara keduanya. Kalau memang harus dipaksa, ia akan tetap bertahan meski resiko yang akan didapat adalah tidak mendapatkan suntikan dana dari mamanya.
Abimanyu menghela napasnya, keadaan Jatmika sedang tidak baik-baik saja. Dia yang biasanya diam hanya buka suara dua patah kata, kini bisa mengeluarkan semua beban pikiran yang sudah mengganggunya. Pasti banyak masalah yang menganggu Jatmika saat ini. Abimanyu merangkul bahu Jatmika lalu menepuk perlahan. “Kalau itu keputusan yang bakal lo ambil, lo harus juga tau resiko yang bakal lo tanggung. Udah tau kan? Lo harus siapkan mental untuk itu semua, Mik. Kalau bisa lo harus bicara dengan kepala dingin sama Tante Mira, jangan sampai beliau salah paham dengan keputusan yang lo ambil.”
“Gue rasa Tante Mira bakal paham dengan apa yang lo ambil sekarang sih, Mik. Beradaptasi dengan lingkungan baru itu nggak gampang, apalagi mencari teman lagi yang kita nggak tau sifatnya gimana. Jadi harus hati-hati banget. Tapi …, bisa aja Tante Mira melakukan ini semua agar lo bisa keluar dari zona nyaman. Biar lo bisa mengembangkan diri lagi bahkan mungkin kepengen lo bisa bersosialisasi dengan baik. Kita juga nggak tau alasan apa yang lagi dipikirkan Tante Mira buat lo, Mik. Pasti beliau juga mempertimbangkan yang terbaik.” Jatmika mengangukan kepalanya perlahan.
“Gue pengennya mama nggak ikut campur sama masa depan gue, Nyu. Biar gue yang atur semuanya, gue bisa ngatur diri gue sendiri. Masa udah dewasa nggak diberi kebebasan. Mama pengen banget gue terjun ke dunia bisnis dan melanjutkan perusahaan papa. Tapi gue nggak mau. Mama pengen banget mengawasi gue lebih intens lagi, biar tau apa aja yang gue lakuin selama ini kalau beliau lagi nggak ada di rumah. Tapi gue nggak mau jadi anak kecil yang harus diawasi setiap hari pergerakannya. Gue pengen jadi diri gue sendiri.” Jatmika menghela napasnya.
Abimanyu ikut menatap langit yang sedang ditatap Jatmika. Tak ada secerca harapan akan cerah hari ini, semua hanya awan mendung di atas sana. Langit pun ikut merasakan perasaan yang sedang Jatmika rasakan. Pasti di hati kecilnya, ia ingin tetap mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu lagi seperti yang dirasakan teman sebayanya. Tapi ia tak bisa merasakan rasa nyaman jika berada di samping ibunya. Terlalu lama tidak mendapatkan kasih sayang seorang ibu kandung membuat perasaannya menjadi beku, bahkan Jatmika lebih sayang ke Bu Ratih daripada mamanya sendiri. Bu Ratih adalah orang yang mengasuhnya sejak bayi dan selalu menemaninya sampai ia sebesar ini, pengasuh yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri.
“Gue nggak pernah bisa merasakan mama di dekat gue, Nyu. Dari gue kecil yang ngasuh Bu Ratih, dari dulu gue ngira kalau Mama Mira itu tante gue. Pas pengambilan rapor di sekolah yang ngambil juga Bu Ratih, beliau sayang banget sama gue seperti sayang ke anak-anaknya sendiri. Mama dari gue lahir juga udah sibuk sama pekerjaannya, apalagi setelah kepergian papa malah semakin sibuk. Nggak ada waktu buat gue. Dari dulu juga nggak pernah memikirkan gue kayaknya. Mama tuh lebih mementingkan karir, karir dan karir.” Jatmika menghela napasnya kembali.
“Lo harus bersyukur punya mama yang pengertian dan meluangkan semua waktunya buat lo, Nyu. Tante Ifa mementingkan keluarganya dan percaya kepada suami. Kodrat yang mencari nafkah itu adalah laki-laki, suami. Mama dari sebelum papa meninggal udah nggak pernah percaya lagi ke papa. Apa yang papa dapatkan selalu dirasa kurang terus. Padahal kalau mengejar kurang itu nggak bakal ada habisnya. Namanya manusia pasti merasakan kurang terus. Biar semua terasa cukup, kita harus bersyukur. Dengan bersyukur semua tuh terasa cukup dan puas.” Abimanyu menoleh lalu ikut sedih melihat setetes air mata Jatmika yang sudah turun ke pipinya. Sebegitu hebatnya penderitaan Jatmika selama ini yang hanya ia pendam sendiri saja. Kemungkinan yang membuatnya menjadi pendiam karena terlalu memikirkan masalahnya sendirian tanpa mau berbagi pada orang lain.
Abimanyu menepuk bahu Jatmika kembali. “Lo kuat, Mika. Semua cobaan ini Tuhan berikan karena percaya kalau lo bukan orang biasa, lo itu termasuk orang kuat. Kalau emang ada masalah lagi seperti ini, lo jangan pernah sungkan buat berbagi sama gue. Kapan pun gue siap. Dengan lo diam dan terus memikirkan sendirian, bukan membuatnya selesai malah pikiran lo bisa stress.”
“Gue nggak tau harus gimana lagi, Nyu. Kadang gue pengen cerita tapi bingung mau cerita ke siapa, jadi lebih baik gue pendam sendirian. Gue takut buat cerita. Dulu gue pernah cerita ke mama kalau gue dapat nilai A di mata pelajaran menggambar, tapi apa responnya? Mama malah marah. Mama pengennya gue pinter di Bahasa Inggris sama matematika. Dari situ gue nggak mau cerita ke orang lain. Nggak ada yang peduli ke kita, selain diri kita sendiri. Yang gue anggap rumah pun menjadi tempat paling j*****m. Gue kira rumah adalah tempat paling nyaman dan tempat bersandar paling terbaik, ternyata mental gue nggak pernah aman.” Jatmika tersenyum kecut sambil mengacak-acak rambutnya. Ia sedikit lega beban pikiran dan perasaannya bisa dibagi dengan orang lain. Plong.
Abimanyu ikut menghela napasnya perlahan. “Lo nggak pengen pindah rumah? Bukannya dulu lo pernah dibelikan apartemen ya? Kemana sekarang? Kalau semisal lo pengen mengendalikan emosi kan bisa di sana untuk beberapa waktu, Mik.”
“Mama jahat, Nyu. Apartemen dari papa udah dijual. Padahal uangnya udah banyak, emang belum cukup ya? Yang beli untungnya om gue sendiri, adik papa. Mama nggak pernahh ngebolehin gue ke apartemen itu sampai sekarang. Tapi gue udah janji sama diri gue sendiri, setelah gue kerja dan punya uang sendiri bakal gue beli lagi apartemen itu dari om gue. Om gue juga nggak mau kalau sampai apartemen itu pindah tangan ke orang lain, Nyu. Apartemen itu milik papa sejak jaman bujang. Banyak kenanagannya,” jawab Jatmika. Ia terus menatap langit berharap ada air hujan yang membasahi bumi kali ini.
“Om lo baik, Mik, mau membeli dulu apa yang udah jadi hak lo. Sabar dulu. Gue yakin nanti lo bakal sukses seperti almarhum papa lo, Mik. Semangat lagi dong, jangan loyo! Lo harus lebih giat belajar biar cepet lulus.” Abimanyu tersenyum dengan mengelap air mata yang sudah menggenang di bawah matanya. Jatmika menganggukkan kepalanya sambil tersenyum kecil.
“Ya udah ke atas yuk. Daripada di sini nanti dikira kita lagi ngapain lagi. Kalau ketahuan orang lain kan nggak lucu,” ucap Abimanyu. Mereka berdua lalu beranjak pergi dari tempat tersebut. Lantai dua menjadi tempat mereka menimba ilmu hari ini. Dan akan bertemu dengan Bu Retno di hari kamis manis.
“MANYU, MIKA! TUNGGU!” teriak Gendhis tak jauh di belakang mereka. Ia melambaikan tangannya lalu berlari mengejar langkah kedua sahabat laki-lakinya tersebut. Abimanyu dan Jatmika menghentikan langkahnya lalu menunggu Gendhis yang sudah bersemangat mengejar mereka.
“Selamat pagi kalian berdua. Tumben lo udah sampai di sini, Mik. Kesambet apaan?” tanya Gendhis sambil menyibakkan rambutnya ke belakang. Udara pagi ini sudah terasa panas sekali, mungkin efek mendung. Bisa jadi aja akan segera turun hujan seperti yang diinginkan oleh Jatmika.
“Lagi pengen aja,” jawab Jatmika singkat. Wajahnya sudah kembali ke mode awal, datar tanpa senyuman. Abimanyu melirik sekilas lalu tersenyum tipis. Ia tak menyangka jika perubahan ekspresi Jatmika semudah ini bahkan hanya hitungan detik saja. Laki-laki itu tak ingin orang lain melihat keadaan dirinya yang sebenarnya.
“Mana si Kinan? Kok dia belum datang, padahal dia biasanya udah datang loh. Nggak biasanya deh kalian hari ini. Si Mika yang biasanya datang akhir jadi datang awal banget. Si Kinan yang biasanya datang awal malah jam segini belum datang. Aneh kali.” Gendhis mengerutkan dahinya perlahan lalu menatap curiga ke arah Abimanyu dan Jatmika.
“Lo kenapa dih? Mika tadi bareng sama gue, jadi gue ke rumah dia dulu ngajak berangkat pagi. Ya udah kita sampai di sini belum ada siapa-siapa. Lo jangan mikir yang enggak-enggak lah, Ndhis. Pikiran lo tuh kadang aneh,” sanggah Abimanyu dengan tersenyum. Ia juga mengedipkan matanya ke arah Gendhis.
“Dasar mata genit terus kalau lo tuh, Nyu,” kekeh Gendhis lalu menggandeng kedua laki-laki tersebut mengajak mereka untuk melanjutkan langkah yang sempat terhenti.