Dorr!
Dorr!
Suara tembakan terus terdengar di sekitar gedung kosong itu.
"Serahin senjata itu sekarang!" teriak pemuda itu melupakan formalitasnya.
Pemuda di depannya hanya tertawa mendengarnya seakan itu adalah sebuah lelucon.
"Berarti lo nyerah?" tanyanya tersenyum miring.
Luka lebam yang di dapat keduanya imbang, namun pemuda ini terkesan lebih tenang.
Pemuda itu mengepalkan tangannya lalu membuang pistol yang ada di tangannya. Dia berjalan ke depan, dan berhenti tepat di depan pemuda yang satunya.
"Tahan senjata kalian!" teriaknya tanpa mengalihkan tatapan dari pemuda di depannya itu.
"Balikin apa yang udah jadi milik gue sekarang juga!" ucapnya penuh penekanan dan intimidasi.
"Milik lo? Yang mana? Senjata itu? Hahaha! Itu milik lo? Hahaha!" pemuda itu tertawa lepas.
Namun sesaat kemudian dia merubah raut wajahnya menjadi datar.
"Lo yang curangin pembelian senjata ini. Ini punya gue, bukan punya lo!" ucapnya menunjuk pemuda itu.
"Apa yang udah jadi milik gue, itu milik gue. Gak ada yang bisa ambil dari gue, termasuk lo." lanjutnya berucap pelan.
Emosi pemuda itu semakin memuncak. Diam-diam dia mengeluarkan sebuah pisau kecil dari balik sakunya dan dengan cepat mengarahkannya pada pemuda di depannya itu.
Srek!
Pemuda itu sempat menghindar namun, lengannya terkena goresan pisau itu sehingga mengeluarkan darah.
"Selama masih ada gue, apa yang jadi milik lo, gak akan pernah jadi milik lo." ucapnya lalu pergi dari hadapan pemuda itu.
"Ambil petinya!" teriaknya pada anak buahnya.
Pemuda itu berhenti dan menoleh sebentar pada pemuda yang terluka, menatapnya dengan tatapan penuh amarah, lalu kembali melanjutkan langkahnya untuk pergi dari tempat itu.
"Van, lo gak apa-apa?" tanya rekan pemuda itu padanya.
Dia hanya menoleh sebentar pada luka di lengannya lalu terseyum miring.
"Petinya aman?" tanyanya.
"Aman, ada diruangan lo." jawabnya mengangguk.
"Gue kan udah bilang. Gak ada yang bisa rebut apa yang udah jadi milik gue, termasuk lo." ucapnya pelan sambil terus menampakkan senyum miring di wajahnya.
"Bawa yang lainnya balik ke markas." ucapnya lagi pada rekannya itu lalu pergi menuju mobilnya yang terparkir di luar gedung.
****
Di sebuah rumah sakit ternama di kota ini, rumah sakit besar yang hampir seluruh dokter maupun perawat yang bekerja di sini terkenal akan tampangnya yang memenuhi kriteria semua orang. Entahlah, mungkin rumah sakit ini tempat khusus bagi yang berwajah menawan.
Dan yang paling mencolok adalah seorang dokter tampan bak dewa, yang terkenal akan ekspresi datar dan dinginnya. Namun tetap saja pasien maupun perawat di sana sangat betah berlama-lama untuk duduk di depannya walau tanpa mengeluarkan satu kata pun.
Bagi mereka, dapat memandang wajahnya saja itu adalah sebuah keberuntungan yang amat langka.
"Pagi Dokter Ervan." sapa salah seorang perawat.
Ervan hanya menoleh dengan tatapan datarnya tanpa menjawab apapun. Tapi lihat lah reaksi perawat itu, dia hampir saja menabrak dinding di sampingnya.
Ervan Manuel Dinanta, seorang dokter tampan yang baru 3 tahun ini bergabung di rumah sakit itu. Dan tentu dengan kepintaran di atas rata-rata. Proporsi tubuhnya yang sempurna itu semakin menambah daya tarik dari dirinya. Apalagi, dia adalah satu-satunya pewaris dari keluarga Dinanta, termasuk salah satu keluarga terkaya di Asia. Apakah masih ada yang kurang dari diri Ervan?
"Dokter Ervan!" panggil seseorang membuat Ervan berbalik menatapnya.
"Pasien Dokter yang satu minggu lalu selesai operasi. Dia kabur, Dok." ucap nya dengan nafas terengah-engah.
"Kapan?" tanya Ervan.
"Barusan Dok, dia gak ada di sekitar rumah sakit. Saya sama peraaa--- Dok! Dokter mau kemana!" teriaknya melihat Ervan yang tiba-tiba langsung berlari.
"Oksigen! Oksigen! Oksigen!" ucapnya sambil terus berlari mengejar Ervan.
Nafasnya hampir habis. Tentu. Setelah berlari kesana kemari mencari seorang pasien yang hilang, sekarang kembali berlari turun mengikuti langkah lebar Ervan. Semoga saja setelah ini jantungnya masih berbaik hati untuk bekerja bagi tubuhnya.
Ervan berlari dengan cepat, langkahnya sangat lebar membuat para perawat yang mengikutinya kewalahan.
Ervan berhenti di depan sebuah lift, memencet tombolnya dengan tak sabaran. Dan akhirnya Ervan memilih melewati tangga darurat.
Huh huh huh
Uhuk! Uhuk!
Nanda, Riska dan Zaki berhenti berlari dan mengatur nafas mereka di atas tangga.
"Itu kaki atau apaan sih, panjang banget perasaan. Satu langkah nya 2 meter ada kali ya?" ucap Zaki dengan nafas tak beraturan.
Plak!
"Itu mulut gak bisa di jaga banget. Lo lupa kalau radar Ervan ada di mana-mana? Di tatap sama dia aja bisa kencing berdiri lo." ucap Nanda padanya.
Percakapan mereka membuat seorang Riska bingung.
"Bukannya Dokter Zaki pipisnya emang berdiri ya?" tanyanya polos membuat mereka dengan cepat menoleh pada Riska.
"Lanjut kejar." ucap Nanda cepat dan berlari ke bawah begitupun Zaki yang ikut menyusul.
Riska masih bingung dengan situasi ini. Dia menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.
"Riska salah lagi?" gumamnya bertanya pada dirinya sendiri.
Jauh di bawah sana, tepatnya di parkiran rumah sakit, Ervan masih berkeliling mencari-cari pasiennya yang melarikan diri itu.
Ervan memencet tombol yang ada di jam tangannya.
"Di mana?" tanyanya.
"Arah pukul 10, Jeep Grand Cherokee
warna merah, di bagasi." jawab seseorang yang suaranya berasal dari jam tangan miliknya.
Ervan memencet tombol itu sekali lagi dan menarik nafas dalam untuk mengatur nafasnya.
Dengan langkah santai, Ervan berjalan ke arah sebuah mobil yang tadi disebutkan orang itu padanya.
Bukh!
Ervan memukul kuat bagasi itu membuat orang yang ada di dalamnya terkejut. Tak melihat tanda-tanda bagasi itu akan dibuka, Ervan memilih untuk membuka paksa bagasi itu dengan tangannya sendiri.
Dan terbuka.
Ervan melihatnya sedang meringkuk ketakutan, dengan darah yang tampak pada perut bagian kanannya.
Ervan mengeluarkan pasien itu dari sana dan membawanya kembali ke ruangan.
"Dokter, saya mohon jangan bawa saya ke ruangan itu lagi. Saya mohon." ucap pria itu memohon.
Tapi Ervan tetaplah Ervan. Sejak kapan dia peduli dengan orang yang memohon padanya. Yang penting baginya adalah, dia memenuhi kewajibannya dan bertanggung jawab pada pasiennya.
"Dok, saya mohon. Mereka bakal bunuh saya kalau saya balik ke sana, Dok." ucapnya lagi membuat Ervan berhenti melangkah.
Hanya menoleh sebentar, lalu kembali berjalan, dan tidak menghiraukan semua ucapan yang pria itu katakan.
Huh huh huh
Nanda dan Zaki yang baru sampai di tempat parkir berhenti berlari saat melihat Ervan yang sedang berjalan ke arah mereka dengan membawa seorang pasien.
"Dokter. Huh huh larinya--- eeh Dok!" ucap Zaki sedikit kaget.
"Bawa dia." ucap Ervan seadanya meninggalkan pasien itu pada Zaki dan Nanda.
Nanda berdecak kesal, ada sedikit rasa menyesal di dirinya karena telah membantu Ervan.
"Ki, kapan-kapan atur jadwal buat mutilasi tu Dokter." ucap Nanda membantu Zaki membawa pasien itu.
"Sama dokter lain aja Nan, masa depan gue masih panjang, masih cerah." jawab Zaki membuat Nanda kembali berdecak.
Ervan menaiki lift, disusul Nanda dan Zaki serta pasien yang bersama mereka.
"Dokter, darah Pasien makin banyak keluar." ucap Zaki pada Ervan.
Ervan sama sekali tak menggubris ucapan Zaki dan terus fokus ke depan.
Nanda menatap Zaki dan menempelkan jari telunjuknya di bibirnya. 'Diam aja' kira-kira itulah yang Nanda ucapkan tanpa bersuara.
Ervan mengeluarkan ponsel dari saku jas miliknya, menelfon seseorang.
"Kamar nomor 137 ruangan Neon." ucapnya singkat dan cepat lalu memutuskan sambungan nya.
Zaki dan Nanda hanya saling bertanya lewat tatapan mereka. Selama 3 tahun mereka bekerja sama dengan Ervan tak dapat membuat mereka mengerti setiap kata yang Ervan ucapkan, maupun setiap tindakan yang akan Ervan lakukan. Ervan terlalu misterius untuk di mengerti.
Drrtt! Drrtt!
Nanda mengambil ponsel miliknya dan menggeser icon berwarna hijau.
"Halo."
"Dok, Riska udah di bawah, kalian di mana? Riska gak liat kalian di sini." ucap Riska dari seberang sana.
Bisa-bisanya mereka melupakan si polos itu.
"Riska, kita udah balik ke ruangan Pasien. Mendingan kamu balik juga ke atas lagi." jawab Nanda lalu memutuskan sambungannya.
"Halo? Halo, Dokter?"
"Ih, kok di matiin sih! Riska kan capek harus bolak balik, naik turun tangga." ucap nya kesal dengan raut cemberut.
Dengan langkah kesal dia berbalik dan menaiki tangga untuk dia kembali ke atas.
Mungkin bagi Riska, lift yang ada di sana sama sekali tidak berguna.
****
Hari ini adalah hari pertama bagi seorang Reva Anggista mulai bekerja di sebuah perusahaan besar. Jabatannya memang tidak tinggi, hanya seorang kariawan biasa dengan gaji yang mungkin pas untuknya yang hidup sendiri.
Reva bukanlah seorang anak dari keluarga yang berada, keluarganya sangat sederhana. Kedua orang tua nya bercerai, ayahnya pergi entah ke mana dan ibunya sudah meninggal. Dia tak punya saudara, dia hanya sebatang kara sekarang.
Tapi itu tak masalah baginya. Meski begitu, dia masih bisa melanjutkan sekolahnya sampai jenjang universitas, bahkan dia sudah sarjana sekarang. Ya, dia hanya mengandalkan kecerdasan yang dia miliki, tak ada yang lain selain itu.
Reva turun dari motor ojol yang mengantarnya ke tempat dia bekerja.
"Makasih ya Pak." ucapnya tersenyum dan berjalan menuju perusahaan besar di depannya.
Reva menyapa semua orang yang di lihatnya, setidaknya dia harus memulai semuanya dengan senyuman dan ke ramah-tamah-an.
Ruangannya ada di lantai 13, dia menaiki lift untuk sampai ke sana. Namun begitu pintu lift terbuka, dia melihat ada beberapa orang di dalamnya dan ada seorang ibu hamil yang sedang kesakitan.
"Kamu, tolong panggil ambulance, cepat." ucap salah seorang dari mereka padanya.
Reva yang masih bingung, akhirnya mengangguk dan menelfon ambulance.
Tak berselang lama, mobil serba putih itu datang.
"Tolong temani dia. Saya tidak bisa ikut." ucap orang itu lagi pada Reva.
Reva hanya mengikuti dan ikut masuk ke dalam mobil bersama seorang wanita di sana. Lagi pula keadaannya sangat darurat.
Sesampainya di rumah sakit, wanita itu langsung di bawa ke ruang bersalin.
"Saya permisi ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini, tidak apa-apa?" tanya wanita yang bersamanya.
"Iya. Saya akan tunggu di sini." jawab Reva tersenyum.
Reva duduk di sana dan tiba-tiba seorang dokter datang padanya meminta nya untuk memanggil Dokter Reza di ruangannya. Reva berfikir, apakah mereka tak punya handphone? Apa rumah sakit ini kekurangan pekerja? Kenapa harus menyuruh dia? Tapi apa boleh buat, tak ada salahnya jika dia menolong seseorang, pikir nya.
Reva pergi ke lantai 5 dan pergi ke ruangan Dokter Reza seperti yang dokter tadi arahkan padanya.
"Anda bisa tunggu sebentar, Dokter akan segera kembali." ucap seorang perawat padanya.
"Eh, tapi," belum sempat Reva meneruskan ucapannya perawat itu sudah pergi dari hadapannya.
"Ini sebenarnya pekerjaan gue apa sih?" gumam Reva bertanya pada dirinya sendiri.
Reva memilih duduk di sana hampir 15 menit. Namun dokter itu belum juga datang.
Ting!
Reva mengalihkan tatapannya pada Lift yang ada di depannya, dia berharap kalau itu adalah dokter yang dia tunggu.
Dia melihat jas berwarna putih, dan sepertinya itu adalah seorang pria.
"Permisi." Reva memutar tubuhnya merasakan seseorang menyentuh pundaknya.
"Anda mau bertemu saya?" tanya dokter itu.
"Dokter Reza?" tanya Reva dan dokter itu mengangguk.
Di dalam lift, Ervan sekilas melihat seorang gadis yang menatapnya, namun dia tak sempat melihat wajahnya karena gadis itu dengan cepat berbalik dan berbicara dengan seorang dokter.
Ervan mengacuhkannya dan kembali berjalan. Namun segera terhenti saat menyadari sesuatu.
Ervan berbalik, namun gadis dan dokter itu sudah tidak ada di sana.
"Azira.." gumam nya pelan.