Memberi Pelajaran

1962 Words
Selamat membaca! Kami bertatap muka. Dia jelas tidak menyangka akan melihatku di sini. Membeku sesaat, lalu memanggil namaku, "Dinda." "Jadi dia klien yang akan aku temui bersama Tuan Firdaus. Ini benar-benar di luar dugaanku," gumamku yang masih terpaku tanpa suara sedikit pun. Tuan Firdaus menatapnya, kemudian mengalihkan pandangan ke arahku dengan tersenyum. "Apakah kamu sudah kenal sekretaris baru saya?" tanyanya yang mungkin penasaran atau memang hanya pura-pura tidak tahu. "Sekretaris baru? Jadi sekarang Dinda adalah sekretaris Tuan Firdaus?" tanya Arga yang terdengar tak menyangka dengan pekerjaanku setelah dipecat dari perusahaan redaksi. Melihat senyuman di wajah Tuan Firdaus yang mengembang, tiba-tiba aku menyadari sesuatu tentang ajakan makan siangnya saat ini. "Apa ini adalah bagian dari rencananya? Apalagi menurut Mara selama ini sekretaris tidak pernah menemani atasannya dalam acara-acara seperti makan siang atau makan malam bersama klien. Jadi semua ini bisa jadi hanya akal-akalan Tuan Firdaus untuk menipuku. Dia sengaja menunjukkan padaku jika seolah-olah dia dan Arga tidak saling kenal sebelumnya," batinku dengan segala pikiran yang telah berputar di kepala. Hanya ada empat orang di sini, Tuan Firdaus dan aku dari Wijaya Group, lalu Arga dari Chase Electronic yang datang bersama atasannya. Arga bisa menghadiri makan siang bersama pimpinannya mungkin karena diminta oleh Tuan Firdaus untuk datang. Bisa jadi dia ingin membuatku malu. Namun, sepertinya Tuan Firdaus tidak terlalu mengenalku. Aku telah melalui banyak momen memalukan dalam hidupku selama ini dan aku sudah terbiasa dengan hal itu. Di saat mereka mulai makan sambil membicarakan bisnis, aku malah mengabaikan pembicaraan mereka dan membiarkan alat perekam suara yang aku letakkan di atas meja bekerja untuk mengambil alih tugasku di saat aku sibuk menyantap makanan. Tuan Firdaus memintaku untuk memesan hidangan yang aku suka. Jadi aku memesan beberapa menu favoritku yang ada di restoran ini, seperti sayap ayam bakar, kepiting kuah pedas, dan lobster asam manis. Setelah hidangan datang, Tuan Firdaus kembali menatapku dengan wajah datarnya. "Apakah kamu sangat lapar?" "Ya, memangnya aku tidak boleh makan saat aku merasa lapar?" "Pesanlah dua hidangan vegetarian lagi!" katanya memerintah. Orang kaya memang biasanya makan makanan vegetarian ketika mereka makan di luar dan orang biasa hanya memesan makanan yang tidak dapat mereka makan saat di rumah. Setelah hidangan datang, aku makan semuanya dengan penuh semangat. Aku sama sekali tidak mendengarkan apa yang mereka bicarakan, tapi aku dapat melihat Arga terus menatapku. Tanpa aku duga, diam-diam dia mengupas cangkang kepiting dan meletakkannya di piringku. Membuatku sedikit terkejut atas perhatiannya. Namun, aku memilih untuk tak peduli dan tak memakannya. Ternyata di sela-sela pembicaraan dengan atasan Arga, Tuan Firdaus masih sempat melihat perhatian yang Arga berikan padaku. Seketika senyuman pun hadir di wajahnya. "Arga benar-benar orang yang begitu baik, bahkan dia rela mengupas kepiting untuk sekretaris saya yang kesulitan. Saya jadi penasaran apakah pria sebaik kamu sudah menikah?" Arga menyeringai dan mendorong kacamata berbingkai hitam yang dikenakannya. "Waktu itu saya sempat hampir akan menikah, tapi sekarang hubungan itu sudah berakhir." "Saya sempat mendengar bahwa Arga memiliki calon istri yang sangat cantik." Atasan Arga tersenyum lebar saat mengatakannya. "Kalau tidak salah wanita itu adalah seorang reporter dan kamu sangat beruntung memilikinya," sambung pria itu melanjutkan ucapannya. Atasan Arga selama ini memang belum sempat bertemu denganku secara langsung, begitu pun dengan aku yang baru pertama kali bertemu dengannya siang ini. Ternyata dia adalah seorang atasan yang sangat baik jika dilihat dari pembawaannya saat ini. Aku pun melihat Arga hanya memesan beberapa menu saja. Jadi dia bisa menghabiskan makanannya dengan cepat dan aku lihat dia pamit pada atasannya untuk pergi entah ke mana. Berbeda dengan Arga, aku masih harus memukul cangkang kepiting dengan palu kecil di tanganku dan ternyata itu sangat keras sehingga sulit dihancurkan dengan satu palu. Di saat aku sedang menikmati daging kepiting yang berhasil aku dapatkan, tiba-tiba ponselku malah berdering. "Siapa yang menghubungiku ya?" Aku sejenak membersihkan tanganku yang penuh kuah kepiting dengan tisu, lalu mulai meraih ponselku. Kedua alisku saling bertaut dengan sorot mata yang seketika menajam. "Arga," batinku masih terkejut dengan pesan darinya. Aku mulai membuka pesan itu. "Dinda, kamu sedang hamil dan aku lupa jika orang hamil tidak boleh makan kepiting!" Itulah isi pesan darinya yang sok peduli. Aku menatap acuh. Meletakkan kembali ponsel milikku di dalam tas dan kembali melanjutkan aktivitas makanku. Memang ada yang bilang bahwa ibu hamil tidak boleh makan kepiting, tapi aku ingat punya teman yang tinggal di tepi laut dan melahirkan tiga kali berturut-turut. Walaupun dia sudah sering makan kepiting hasil buruan suaminya. Selain itu, karena aku tidak menginginkan kehadiran bayi ini dalam rahimku. Jadi aku bebas makan apa pun yang aku inginkan. Namun, aku tidak bisa memakannya lagi saat Tuan Firdaus dan atasan Arga tampak sudah selesai dengan makanannya masing-masing. Tidak mungkin aku membiarkan mereka menungguku selesai makan. Maka itu, aku pun mulai berpikir untuk membungkus sisa makananku dan akan aku lanjutkan makannya ketika tiba di rumah sambil menonton TV di malam hari. "Dinda, bayarkan tagihan ini!" Tuan Firdaus memintaku untuk membayar. Dia pun memberikan kartu atm-nya dan aku langsung beranjak pergi untuk segera membayar tagihannya. Namun, di saat aku sedang membayar. Suara Arga terdengar memanggilku dari arah belakang. "Dinda." "Untuk apa dia mengikutiku? Aku benar-benar malas menanggapinya," gumamku memutuskan cuek dengan panggilan Arga yang semakin menuntutku untuk melihatnya. Saat aku terus mengabaikannya, dia pun akhirnya menghampiri dan berdiri tepat di sampingku. "Dinda, bagaimana kamu bisa menjadi sekretaris Tuan Firdaus?" tanyanya yang terdengar sangat penasaran. Aku hanya diam. Enggan menjawab apa pun yang Arga tanyakan. Bagaimana tidak, saat ini amarah dan sedikit kebencian terhadapnya tak pernah bisa hilang dalam ingatanku. Terlebih ketika aku ingat tentang ibunya yang menamparku dua kali atas kesalahan yang tidak aku lakukan. Kehamilan yang membuatku menjadi buruk di matanya. Ketika tak mendapat jawaban apa pun, Arga kembali bertanya seakan-akan dia sangat penasaran tentang kehidupanku. "Kenapa kamu berhenti bekerja menjadi seorang jurnalis, Dinda?" Merasa kesal dengan pertanyaannya. Mataku pun mulai menatap wajah Arga dengan tajam. “Aku tidak mengundurkan diri, tapi aku dipecat!” Aku langsung mengoreksi kata-kata yang salah darinya. Arga bereaksi sedikit terkejut, tapi entah karena dia sudah tahu sebelumnya atau pura-pura tidak tahu dengan semua yang terjadi padaku. Namun, hal ini nyatanya berhasil membuat tensi darahku meningkat pesat. “Cukup sandiwaranya, Arga!" Dengan lantang aku mengatakannya. "Sekarang katakan padaku! Apakah kamu menjual tunanganmu sendiri pada malam itu agar kamu bisa naik jabatan? Apakah kamu memang merencanakan kehamilanku ini dan menginginkan aku melahirkan keturunan dari pria yang meniduriku?" "Dinda!" Dia memintaku untuk berhenti bicara dengan tatapan matanya yang tak kalah tajam dariku. "Aku tahu kamu marah padaku, tapi sekarang setelah semuanya terjadi, bisakah kamu lebih realistis?" Sejenak aku menjeda amarahku saat seorang wanita menyapaku. Ya, dia adalah kasir dari restoran ini. "Mba, ini kartunya." Aku langsung mengambil kartu yang disodorkan kasir padaku setelah menyelesaikan p********n, lalu aku memasukkannya kembali ke dalam tas. Tak ingin pertengkaranku menjadi tontonan dari kasir dan beberapa karyawan restoran, aku pun menarik tangan Arga ke tempat yang lebih sepi. Lebih tepatnya keluar dari restoran dan langkahku terhenti di pelataran lobi yang saat itu terlihat sepi. "Apa katamu? Realistis? Baiklah, kalau kamu ingin aku lebih realistis, beritahu aku apa yang harus aku lakukan? Bisakah kamu memberiku saran?" "Kamu cukup bertahan dan melahirkan bayi itu, lalu aku akan menjemputmu untuk kembali pulang. Setelah itu mari kita jalani kehidupan yang sama seperti sebelumnya, oke?" Makan terlalu banyak daging kepiting di siang hari sungguh membuat perutku begah. Rasanya aku benar-benar ingin membuka mulut dan meludahi wajahnya saat ini, tetapi aku merasa sayang jika kepiting terbaik yang aku makan keluar lagi karena Arga. "Jadi menurutmu setelah aku melahirkan anak pria lain, apakah kamu masih bisa menerimaku?" Arga pun langsung menggenggam kedua pergelangan tanganku dengan erat. "Dinda, kamu harus tahu kalau cintaku tidak pernah berubah sekalipun kamu tengah mengandung anak dari pria lain. Aku tidak membencimu dan aku akan menerimamu sama seperti saat pertama kali kita bertemu, tapi akan lebih baik jika kamu bisa melahirkan seorang bayi laki-laki." Sebuah tatapan penuh harap terlihat jelas dari sorot matanya tanpa dapat ditutupi. Aku tidak mengerti mengapa dia sampai hati berharap aku melahirkan bayi laki-laki. Padahal bayi ini bukan darah dagingnya, tapi dia tampak begitu antusias menantikan kelahirannya. "Cinta! Omong kosong, Arga. Seseorang yang mencintai itu tidak akan sampai kejam mengirim tunangannya untuk tidur dengan pria lain, apalagi sampai mengandung anaknya. Di mana pikiranmu, Arga! Kenapa kamu tidak merasa bersalah sedikit pun dengan semua terjadi padaku?" Andai bisa aku mengatakan hal ini langsung dan tidak di dalam hati. Namun pada kenyataannya, aku hanya bergumam dengan amarah yang terus aku tahan. Belum juga pertanyaan tentang kehamilanku terjawab, Arga kembali menambahkan pikiranku tentang anak laki-laki yang sangat diharapkannya. "Aku tidak boleh diam saja, aku harus memaksanya jujur tentang semua ini," batinku mulai menyusun rencana agar dapat menjebak Arga untuk berkata jujur. "Dinda, apa kamu mengerti dengan semua yang aku katakan?" Aku kembali menatap Arga setelah terdiam beberapa saat. "Arga, aku ingin bertanya sesuatu dan aku ingin kamu menjawab dengan jujur!" "Ya, kamu ingin bertanya tentang apa?" "Berapa banyak uang yang kamu dapatkan setelah menjualku pada malam itu?" Wajah Arga tiba-tiba memerah dan dia langsung menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak mungkin melakukan itu, Dinda!" Ketidakjujurannya benar-benar membuat amarahku meledak. Aku tidak bisa lagi menahan kesabaranku. “Aku disentuh oleh pria itu sampai mengandung anaknya, tapi kamu tidak mendapatkan uang sepeser pun? Jangan berbohong padaku, Arga!” Suaraku terdengar begitu lantang saat mengatakannya. "Dinda, apa kamu benar-benar kehilangan akal sehatmu sejak hamil atau kamu sengaja memancing amarahku saat ini?" tanyanya yang juga menjawab dengan tegas pertanyaanku. "Bagaimana aku tidak marah? Aku hamil, tapi tidak ada apa pun yang kita dapatkan." Aku memulai sandiwaraku. Bersikap seolah mementingkan imbalan atas kehamilan ini. "Kalau aku mengatakan sesuatu, apa kamu tidak akan marah?" tanyanya sambil mengedarkan pandangan ke area sekitar. "Aku akan marah jika kamu tidak menerima bayaran darinya sepeser pun!" jawabku sembari tersenyum tipis, tapi tanpa Arga ketahui hatiku terluka saat ini. Siap atau tidak, sebentar lagi aku akan mendengar kenyataan pahit dari mulut pria yang paling aku percaya selama ini. Ada ekspresi lega di wajahnya setelah mendengar jawabanku. "Dinda, aku tahu kamu adalah wanita yang cerdas dan kamu tidak akan khawatir tentang hal-hal yang tidak perlu." "Berapa?" tanyaku padanya tanpa berbasa-basi. Penasaran, sudah pasti. Namun, semua itu lebih dari kata penasaran. Aku benar-benar kecewa dengan ribuan luka di hati yang kian menusuk. Namun, aku harus siap daripada terus merasa bodoh dengan permainan ini. Dia dengan hati-hati menunjukkan 5 jari di hadapanku. "50 miliar?" tanyaku coba menebak dengan bibir bergetar. Dia menatap dengan mata terbelalak begitu mendengar jawabanku. "Bukan 50, tapi 5 miliar." Aku tersenyum pedih dan bersandar ke dinding untuk menjaga diriku tetap stabil. "Apakah kamu yakin?" tanyaku dengan ekspresi tidak percaya karena dia benar-benar menjualku seharga 5 miliar. “Sulit untuk berbisnis sekarang dan sulit untuk mendapatkan nilai yang tinggi.” Dia menghela napas berat sebelum melanjutkan kata-katanya. “Hanya 5 miliar, tapi kamu tenang saja! Setelah kamu berhasil melahirkan bayi itu maka aku akan memberi semua uang itu padamu. Aku benar-benar tidak menginginkan uang itu satu sen pun. Semua itu adalah milikmu." Haruskah aku berterima kasih pada Arga atas kemurahan hatinya dan kebenaran yang baru saja diungkapkannya? Aku mulai mengepalkan tinjuku erat-erat, lalu mengangkat tanganku tanpa berpikir dan memberinya beberapa pukulan keras tepat di permukaan wajahnya. Kebetulan Tuan Firdaus dan atasan Arga keluar dari restoran dan melihat adegan saat aku tengah memukuli Arga dengan penuh emosional. Bahkan Arga sendiri tidak menyangka jika aku akan memukulnya hingga dia tidak sempat untuk menghindar. Masih dari tempatnya berdiri, aku mulai memperhatikan ekspresi Tuan Firdaus saat ini yang tampak datar, sementara mulut atasan Arga terbuka lebar karena dia sangat terkejut atas apa yang aku lakukan pada bawahannya. "Arga, Nona Dinda, apa yang terjadi?" tanyanya dengan susah payah. Sambil menggerakkan telapak tanganku yang mati rasa, aku pun mulai memberi tahu mereka dengan santai. "Dia telah menghinaku dengan kata-kata yang kasar. Aku benar-benar tidak terima dan langsung memukulnya untuk memberi pelajaran!" Bersambung ✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD