Sepasang Manset

1864 Words
Selamat membaca! Aku pun terus mengikutinya ke atas. Saat ini, dia terlalu berpikiran buruk karena mengira aku akan berbagi tempat tidur dengannya, padahal semua ucapanku tadi hanyalah gurauan belaka. "Tidak peduli seberapa tampan atau kayanya dia, aku tidak akan melupakan tujuanku saat ini. Selain itu, aku juga bukan orang bodoh yang mau mengajak orang asing untuk tidur bersamaku," gerutuku masih terus mengikuti langkah kakinya. Sampai akhirnya, Tuan Firdaus memilih untuk menempati kamar tamu yang letaknya di sebelah kamarku. Sebelum pria itu masuk, aku pun berdiri di depan pintu dan mengatakan sesuatu padanya sambil tersenyum, "Seharusnya tanpa saya memberitahumu, saya yakin kamu pasti bisa melihat sendiri bahwa pintu kamarku telah dirusak olehmu. Jadi tolong jangan masuk ke kamarku saat saya sedang tertidur nanti karena saya tidak bisa mengunci pintu!" Tuan Firdaus bahkan tidak memberiku jawaban sepatah kata pun, dia langsung berbalik badan dan memasuki kamar tamu. Aku masih terus memperhatikan lengan bajunya dengan begitu jeli, satu sisi digulung dan yang satunya lagi tidak. Jadi aku hanya dapat melihat satu kancing manset yang kupikir sangat mirip dengan yang tadi pagi aku temukan di kamarku. Tanpa membuang waktu, aku pun kembali ke kamar untuk menemukan kancing manset yang aku simpan dan coba membandingkannya dengan milik Tuan Firdaus yang aku lihat barusan. "Aku benar-benar tidak bisa membandingkannya jika kancing manset yang satunya tidak ada. Aku masih tidak dapat menyimpulkan bahwa kancing ini adalah pasangannya," gumamku masih terus mengingat kancing yang aku lihat pada lengan kemeja Tuan Firdaus. Aku pun memutuskan untuk menyelidikinya di lain waktu dan merebahkan tubuhku. Setelah berguling-guling di atas ranjang, aku tidak bisa tertidur. Hingga aku kembali bangkit, melangkah menuju jendela kamar. Pandanganku kini mulai melihat ke luar jendela dari balik tirai. "Ternyata wanita itu masih ada. Dia tidak berani masuk atau mendobrak pintu. Mungkin saja karena dia takut itu akan membuat Tuan Firdaus marah dan nantinya bisa mencampakkannya. Kalau aku pikir-pikir dia wanita yang tidak terlalu bodoh," ucapku masih terus memperhatikan hingga wanita itu kembali masuk ke dalam mobil dan pergi dari pelataran rumah ini. "Akhirnya dia pergi juga. Jadi aku tidak perlu memantaunya lagi dari atas sini!" Waktu pun terus beranjak semakin larut. Namun, entah kenapa aku masih tidak bisa tidur. Padahal saat ini, waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari dan menurutku seharusnya Tuan Firdaus sudah lelap tertidur di kamarnya. "Daripada aku tidak bisa tidur dan terus memikirkan kancing manset itu, lebih baik aku menyelidikinya dengan masuk diam-diam ke kamar tamu," gumamku memutuskan. Kalaupun Tuan Firdaus mengunci pintu kamarnya, tapi aku memiliki kunci cadangan semua kamar. Pada hari pertama aku tinggal di rumah ini, aku memang memutuskan untuk mengumpulkan kunci semua kamar yang aku pikir, pasti akan sangat berguna suatu saat nanti. Ternyata pemikiranku tepat, malam ini, aku bisa dengan mudahnya menyelinap ke kamar seorang pria yang masih asing bagiku. Aku melangkah dengan berjinjit, tapi aku sangat berpengalaman dalam melakukan hal semacam ini. Dulu ketika saat aku bekerja sama dengan polisi untuk menyelidiki suatu kasus, aku juga pernah menyelinap ke kamar tersangka di tengah malam untuk mencari petunjuk. Dalam hal ini, aku memang sangat berani. Setelah berhasil masuk ke dalam kamarnya yang gelap karena Tuan Firdaus sengaja mematikan lampu, aku coba meraba-raba setiap sisi hingga aku berhasil menemukan kemejanya yang ternyata digantung. Beruntung aku sudah cukup akrab dengan semua fasilitas dan penempatan furnitur di tempat ini. Jadi aku dengan cepat menemukan gantungan itu dan menyentuh kemeja sutranya di bawah sinar bulan di luar jendela. Tekstur kemejanya sangat bagus, tidak licin. Lalu, aku menyentuh bagian lengannya dan sesuatu yang keras mengenai jemariku, ternyata ini adalah kancing manset yang aku cari. Aku pun buru-buru menyentuh lengan lainnya yang lembut dan ternyata tidak ada apa-apanya. "Jadi lengan satunya ternyata tidak memiliki kancing manset," gumamku mulai teringat dengan manset yang aku temukan di kamar. Seketika karena hal itu membuatku jadi bersemangat. Kini detak jantungku bertambah cepat, rasanya seperti akan keluar dari mulut. "Sekarang lebih baik aku cepat mengambil kancing manset ini dan membawanya kembali ke kamar untuk membandingkannya dengan kancing manset yang aku temui," gumamku mulai ingin menarik kancing tersebut agar terlepas dari lengan kemeja. Saat aku hendak melakukan itu, tiba-tiba lampu ruangan pun menyala seketika. Membuatku tidak berani membuka mata untuk sementara waktu karena terbiasa dengan kegelapan. Aku masih tetap menutup mata dengan tangan yang aku sembunyikan di balik tubuhku. Lalu, aku pun berusaha mundur perlahan demi perlahan menuju arah pintu, tapi tanpa sengaja aku menabrak d**a seseorang. Seharusnya aku tidak perlu membuka mata untuk mengetahui siapa itu. Tuan Firdaus memiliki tubuh bagian atas yang telanjang karena dia melepaskan pakaiannya, tubuh yang sangat kuat dengan otot d**a seperti dua roti persegi. Aku mencibir dan mengangkat kepalaku. Perlahan-lahan mulai membuka mata setelah berhasil mengumpulkan keberanian sedikit demi sedikit. "Kebetulan sekali kamu belum tidur," ucapku yang mungkin di telinganya terdengar gugup sambil menggaruk kepala. Wajahnya sangat muram saat menatapku. "Saya pikir kamu akan menyentuh tempat tidurku, tapi saya tidak menyangka ternyata kamu malah mengambil kemejaku." "Sebenarnya saya punya hobi khusus." Aku berbicara omong kosong dan berencana untuk keluar, tetapi dia dengan cepat berdiri di depan pintu untuk menghalangiku. "Kenapa kamu menyentuh kemejaku di tengah malam sampai berani menyelinap masuk ke kamarku? Bukankah tadi kamu sendiri yang sudah menuduhku akan bersikap macam-macam dan memperingati saya untuk tidak masuk ke kamarmu. Sekarang malah kebalikannya, 'kan?!" Aku menggigit bibirku sambil menatap matanya. "Saya kekurangan uang untuk dipakai berbelanja dan jarang menemukan orang kaya datang ke rumahku. Jadi saya berniat ingin meminjam uangmu." "Saya bisa menelepon polisi jika kamu tidak ingin berkata jujur dan berniat mempermainkan saya!" ancamnya sambil mencengkram pergelangan tanganku. "Tapi ini adalah tempat tinggal saya." Aku dengan cepat menganalisa kejadian ini untuk menyadarkan Tuan Firdaus. "Jika kamu yang memanggil polisi, maka polisi pasti akan bertanya mengapa kamu tinggal bersama saya? Ini adalah aib buruk, apalagi jika pacarmu sampai mengetahuinya, bisa dipastikan duniamu akan jadi berantakan." Dia masih bisa menatapku dengan tenang dan aku sedikit gugup karena hal itu. Padahal sebelumnya, aku tidak pernah merasa terganggu saat ditatap oleh pria mana pun. Beruntung tatapan mata Tuan Firdaus sudah tidak terlalu tajam saat ini. Lalu, dia mulai melonggarkan cengkeramannya pada lenganku hingga terlepas dan langsung mengambil kemeja miliknya dari tanganku. "Pergi!" titahnya singkat. Tentu saja aku yang mendengar perintahnya segera berlari lebih cepat dari seekor kelinci. Aku berlari ke kamar tanpa pintu dan duduk bersila di tempat tidur, jantungku berdebar kencang. "Ini lebih menegangkan dari pengalamanku saat itu," gumamku coba mengendalikan rasa takutku. Setelah berhasil menepikan sesaat perasaan itu, pikiranku kembali fokus dengan apa yang berhasil aku dapat. Kini aku mulai menyalakan lampu putih di meja samping tempat tidur dan perlahan membuka telapak tanganku yang masih menggenggam sebuah kancing manset milik Tuan Firdaus. "Setidaknya walaupun ketahuan, aku tetap berhasil mengambil ini dari kemejanya. Untung saja dia tidak menyadarinya," gumamku menatap kancing manset itu dengan penuh kemenangan. Tak ingin berlama-lama membandingkan, aku pun langsung mengambil kancing manset lainnya dari bawah bantal dan mulai menyatukan kedua kancing manset tersebut di bawah penerangan lampu yang cukup. Ketika berhasil melihat kedua kancing manset itu, jantungku berdetak semakin tak beraturan. Lidahku sedikit Kelu untuk berkata. Ini benar-benar di luar dugaanku. "Ternyata ini adalah sepasang kancing manset. Tidak peduli warna atau gayanya, tapi yang lainnya semua sama. Bahkan berlian kecil yang bertatah pada permukaannya sama-sama 9," gumamku terus menganalisa kedua manset yang masih berada dalam genggamanku. Setelah beberapa detik berpikir, akhirnya aku dapat menyimpulkan dengan sangat jelas tentang semua yang terjadi padaku. Jawaban dari setiap pertanyaan yang seolah-olah mempermainkan hidupku. "Ternyata Arga mengirimku ke kamar hotel Tuan Firdaus pada malam itu." Di saat aku coba meyakini semua kesimpulan yang telah aku buat, logikaku seolah menolak semuanya. Aku jadi kembali ragu. Sulit untuk bisa memastikannya. "Tapi kenapa? Bukannya seorang pengusaha terkenal seperti Tuan Firdaus tidak harus menggunakan cara kotor seperti itu untuk dapat meniduri seorang wanita? Aku rasa ini mustahil untuk dilakukannya, dia bisa dengan mudah meniduri siapa pun. Wanita mana saja pasti akan datang dengan sukarela kepadanya. Aku dapat melihat dari caranya melihatku jika aku memang bukanlah wanita yang cantik menurutnya. Jadi ini benar-benar tidak mungkin." Tanpa aku sadari, kedua tanganku terus menggaruk kepala sebagai tanda bahwa hal ini benar-benar membuatku frustasi. Sekarang aku punya bukti, tapi secara logika ini tidak masuk akal. Di tengah kebimbanganku akan hal ini, aku pun memutuskan untuk menyembunyikan kedua kancing manset itu di suatu tempat yang aku pikir tidak akan ada yang bisa menemukannya. Masih sulit bagiku memejamkan kedua mataku. Aku terus memikirkan semua itu sepanjang malam dan sulit memahaminya. "Andai aku bisa langsung bertanya padanya, rasanya aku ingin sekali bertanya, apakah kamu yang tidur denganku pada malam itu?" Aku membenamkan wajahku pada bantal. Mencoba terpejam untuk tertidur. Penat ini sungguh mengusik ketenanganku. Membuat aku sulit terpejam dan masih dibayangi semua kenyataan yang baru saja aku dapatkan. Bahkan jika pria itu ternyata benar adalah dia, tapi Tuan Firdaus tidak mengenaliku sampai tidak mau mengakuinya, itu berarti dia tidak akan pernah mau mengingat-ingat kejadian malam itu lagi. Aku pun menghela napas berat. Rasanya begitu sesak. Sulit sekali aku terima semua ini. Kehormatanku seolah benar-benar tak ada artinya untuknya. Dirampas sesuka hatinya dan setelah itu diabaikan tanpa ada permintaan maaf sedikit pun. "Sebaiknya aku tidak menanyakan hal ini dan menyembunyikan dulu darinya," gumamku terpaksa memutuskan. Setelah sekian lama berkutat dengan pikiranku, akhirnya aku dapat tertidur lagi dan bangun di pagi hari dengan kantong mata yang terlihat menghitam. "Kenapa waktu terasa cepat sekali? Perasaan baru saja aku tertidur tadi." Aku pun bangkit dari atas ranjang untuk membersihkan diri dan mengenakan pakaian yang cukup bagus. Setelah memastikan penampilanku, aku mulai melangkah pergi ke ruang makan di lantai bawah untuk sarapan pagi. Setibanya di sana, ternyata Tuan Firdaus sudah duduk di meja makan untuk sarapan lebih dulu. "Selamat pagi, Tuan Firdaus." Aku langsung duduk di seberangnya, mengambil sepotong roti dan memasukkannya ke dalam mulutku tanpa menjaga image. Sekarang aku perhatikan kedua lengan bajunya digulung. Ya, tidak ada kancing manset di kedua lengan kemejanya. Jadi bagaimana dia bisa memakainya tanpa menggulungnya. Dia masih terlihat mengabaikanku dan memakan bubur yang disuguhkan Lusi dengan perlahan. Semalam aku memang tidak cukup tidur, tetapi nafsu makanku masih sangat baik pagi ini. Bahkan tanpa sadar, aku sudah menghabiskan dua mangkuk bubur ditambah sandwich dan sepiring besar ham juga telur pada saat dia baru menghabiskan satu mangkuk bubur. Selesai dengan makanannya, Tuan Firdaus tampak melangkah keluar dan aku memutuskan untuk mengikutinya. Di pelataran rumah ini, mobilnya diparkir menghadap pintu dan mobil Pak Tama di parkir tidak jauh dari hadapan pintu seperti biasanya. Ketika dia melihatku membungkuk dan hendak masuk ke mobil, dia tiba-tiba berhenti dan menatapku. "Saya sangat ingin tahu bagaimana kehidupan seorang jurnalis pengangguran, tapi tinggal di rumah yang mewah dan juga memiliki mobil mewah." Ketika aku melihatnya, itu seperti bukan sebuah sandiwara. Ekspresi wajahnya sungguh terlihat nyata hingga aku tidak dapat membaca, apa pria itu tengah berakting atau tidak saat ini. "Pria ini semakin membuatku bingung dengan sikapnya." Aku pun kembali membungkuk dan masuk ke mobil Pak Tama untuk mengikuti mobil Tuan Firdaus. Ketika mobil baru saja keluar dari persimpangan, aku melihat sebuah mobil dari kaca spion. Pengemudinya adalah Nona Keisha dan karena dia mengikutiku mobil ini sangat dekat. Jadi aku bisa melihat bahwa riasannya cukup tebal. "Mungkinkah dia tidak kembali tadi malam dan tetap berada di sini untuk mengawasiku?" batinku yang mulai bertanya-tanya diliputi rasa penasaran. Bersambung ✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD