Tivana pov
Aku tersadar dan menatap langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Dimana aku? Sepertinya di rumah sakit.
“Sayang, syukurlah kau sudah sadar,” terdengar suara pria di sampingku.
Aku menoleh padanya dan tak dapat mengenalinya. Siapa dia? Dia pria yang sangat tampan, sekilas seperti orang Yunani. Juga, dia terlihat sangat percaya diri dan berkuasa! Apa aku punya kenalan seperti dia? Sepertinya tidak!
“Siapa Anda?” tanyaku bingung.
“Sayang, mengapa kau tak dapat mengenaliku? Aku suamimu…Alvaro Dimitri!”
Hah?! Aku sudah bersuami? Mengapa aku tak dapat mengingat pernikahanku sendiri? Mendadak kepalaku terasa pening.
“Tenang, Sayang. Kau baru tersadar setelah koma satu bulan. Pasti kepalamu pening kan?”
Aku koma? Bagaimana bisa terjadi? Aku tak bisa mengingat sama sekali apa yang telah terjadi padaku! Dan kepalaku sakit tiap kali aku berusaha mengingat sesuatu.
“Nyonya, Anda baik-baik saja?” tanya Dokter yang memeriksaku.
“Kepala saya sakit, Dok. Mengapa saya tak dapat mengingat apapun?”
Dokter memandangku khawatir.
“Kita akan mengadakan pemeriksaan lanjutan. Sementara ini Anda jangan memaksakan diri untuk mengingat semuanya. Istirahatlah yang tenang, Nyonya.”
Aku mengangguk mengiyakan. ‘Suamiku’ menggenggam tanganku dengan lembut. Ah, betulkah dia suamiku? Mengapa aku tak bisa mengingat figur luar biasa seperti ini? Pasti banyak wanita yang bersedia bertekuk lutut untuk mendapatkannya!
Menyadari tatapan menyelidikku, Alvaro menoleh padaku sambil tersenyum mesra.
“Sudah puas mengagumi suamimu sendiri, Nyonya?” tanyanya menggoda. Pipiku terasa panas mendengar ucapannya.
Bagaimana proses perkenalan kami dulu? Siapa yang suka duluan? Siapa yang menyatakan cinta duluan? Aku jadi penasaran.
“Boleh aku bertanya?”
“Anything, anytime, My Darling,” sahutnya sembari mengerling mesra.
Ah, dia membuatku salah tingkah dengan kemesraannya itu.
“Apakah saat perkenalan kita, aku yang mengejarmu? Siapakah yang menyatakan cinta duluan, apakah aku?”
Meledaklah tawa Alvaro mendengar pertanyaanku. Dia mengacak poniku dengan gemas.
“Tak penting siapa yang mengejar, siapa yang menyatakan cinta duluan. Yang penting kita saling mencintai dan kini telah menikah,” jawabnya diplomatis.
“Tapi aku pengin tahu,” kataku merajuk.
“Baiklah. Yang mengejar duluan aku. Yang menyatakan cinta duluan aku. Yang meminta menikah aku. Puas Nyonya Alvaro Dimitri?”
Uh syukurlah, itu memang aku. Meski tak dapat mengingat apapun, aku tahu pasti aku bukan tipe wanita agresif yang suka mengejar cowok, meskipun dia setampan dan secemerlang suamiku ini.
“Tivana!” seru seorang wanita yang berlari kearahku.
Dia memelukku erat dan dapat kurasakan air matanya membasahi pipiku. Siapa dia?
“Tivana, ini Mama, Nak.”
“Mama??”
Kurasa aku betul-betul gegar otak! Bahkan aku tak dapat mengingat mamaku sendiri. Mama menangis makin keras melihat keadaanku. Alvaro menepuk-nepuk bahu Mama untuk menenangkannya. Kemudian kurasakan tatapan mata seseorang yang memandangku aneh sedari tadi.
Aku melihat kebelakang Mama dan menemukan orang yang menatapku aneh itu. Dia pria tampan yang menatapku hangat namun juga terlihat sedih. Siapa dia? Aku tak dapat mengingatnya, tapi mengapa hatiku seakan mengenalnya?
“Siapa…??” tak sadar bibirku membuka menanyakan sosok itu.
Alvaro langsung memeluk pinggangku, seakan ingin menunjukkan kepemilikkannya. Kemudian mama memperkenalkan aku dengan pria itu.
“Dia Ardian, calon sua…ehm, sahabat kakakmu. Sejak kecil kamu dekat dengannya, Tiv.”
Oh, pantas aku merasa sangat mengenalnya.
“Ma, aku punya kakak?”
“Rio namanya, dia sudah meninggal tiga tahun yang lalu.”
Mama masih terlihat sedih dan aku juga merasakan kesedihan itu. Kupeluk mama lembut.
“It’s oke, Honey. Yang penting Mama tak kehilanganmu. Jangan tinggalkan Mama, Sayang.”
Kami pun menangis bersama-sama. Meski belum dapat mengingatnya aku yakin aku amat mencintai mamaku ini.
***
Tiga hari kemudian aku keluar dari Rumah Sakit. Untuk sementara mama memintaku tinggal di rumahnya, karena menurut mama aku masih harus banyak istirahat dan perlu perawatan khusus. Mama khawatir Alvaro tak bisa menjagaku secara maksimal karena dia juga harus bekerja.
Aku masuk ke kamar yang kutempati saat aku masih lajang dan puas melihat interiornya. Ini memang sesuai seleraku, meski aku lupa ingatan tapi aku tahu betul seperti apa seleraku.
“Sayang, mama meminta kita turun. Katanya dia sudah menyiapkan sayur asem kesukaanmu.”
Alvaro masuk dan langsung mengajakku turun ke bawah. Memang kamarku terletak di lantai dua.
“Apakah makanan favoritku sayur asem?” tanyaku memastikan.
“Tentu, kamu bisa makan berpiring-piring bila makan sayur asem,” goda Alvaro.
“Lainnya itu, aku suka apa?”
Alvaro terdiam, sepertinya dia berusaha mengingat-ingat.
“Kau menyukai semua masakan mamamu yang memang lezat dan juga masakanku yang meski amburadul tapi dimasak dengan bumbu cinta.”
Aku terkekeh mendengar jawabannya. Alvaro ini bisa lucu juga meski dia terkesan angkuh.
“Emang kamu bisa memasak?”
“Bisalah, Sayang. Khusus untukmu aku bisa memasak. Suatu saat akan kumasakkan yang spesial untukmu bila kita sudah kembali ke sarang cinta kita.”
Bukan cuma lucu, Alvaro juga romantis. Apakah itu yang membuatku jatuh cinta padanya? Entahlah, aku tak dapat mengingatnya!
“Turun yuk, mama sudah menunggu kita. Ntar kelamaan didalam kamar sini, dipikir mama kita bikin junior.”
Pipiku memanas mendengar gurauannya, pasti pipiku merona merah. Dia menowel pipiku gemas.
“Gendong..” aku memintanya dengan manja.
Dia menatapku geli.
“Manja juga kamu,” ucapnya dengan senyum dikulum.
“Manja sama suami gak dosa, kan? lagipula kakiku masih terasa lemas.”
Alvaro terkekeh mendengar ucapan merajukku, kemudian dia menggendongku ala bridal.
“Baiklah Princess. Keinginanmu adalah perintahku.”
***
Di meja makan…
Mama menatap kami bahagia. Melihat Alvaro memanjakanku, melihatku dengan manja merajuk pada suamiku, membuat mama tersenyum bahagia.
“Mama bersyukur melihat kalian seperti ini, Sayang. Awalnya Mama sempat khawatir dengan rumah tangga kalian.”
“Hah? Emang kenapa Ma dengan rumah tangga kami? Apa ada masalah?” tanyaku heran.
“Hmm, bukan begitu. Hanya saja pernikahan kalian terkesan mendadak sekali padahal sebelumnya kamu bertunangan dengan….” Mama menghentikan ucapannya setelah menyadari tatapan geram Alvaro.
“Bertunangan dengan….” Aku mendesak Mama menyelesaikan ucapannya yang menggantung tadi.
Mama menelan ludah dan menjawab dengan hati-hati, “bertunangan dengan tergesa-gesa.
“Iya, Sayang. Perjalanan cinta kita begitu tergesa-gesa, karena aku sudah tak sabar ingin segera memilikimu,” sambung Alvaro sambil mencium keningku mesra.
Ah, dia memang kelihatan seperti bukan tipe pria penyabar. Aku makin penasaran dengan Alvaro, aku ingin mengetahui semua sisi dalam dirinya. Kurasa aku bisa melakukannya pelan-pelan, waktuku bersamanya masih panjang.
Seumur hidupku..
Bersambung..