Chapter 3

1211 Words
Sebelum berangkat ke tempat yang tertera pada undangan, Dave kini sedang dalam perjalanan berkunjung ke kantor sang ibu sekaligus atasannya untuk berpamitan dan meminta cuti. Begitu sampai, Dave disapa hangat oleh sekretaris sang ibu dan dipersilakan masuk. Dave tetap melanjutkan langkahnya perlahan menuju kursi di depan meja kerja sang ibu, saat melihat pemiliknya sangat serius mengobrol lewat telepon sambil membelakanginya. Samar-samar dari percakapan yang berhasil ditangkapnya, Dave mengasumsikan jika sang ibu dan lawan bicaranya tidak sedang membicarakan urusan pekerjaan. Apalagi sesekali ibunya terkekeh dan bahasa yang digunakan pun sangat santai. “Ya sudah, nanti atur saja pertemuan kita. Kami semua sudah sangat merindukan kalian. Ingat, selalu jaga kesehatanmu dan jangan lupa sampaikan salam rindu dari neneknya kepada cucuku, Nath.” Setelah mengatakan itu Vanya memutuskan sambungan teleponnya. Walau sebentar, setidaknya kerinduannya terobati. “Sedang berbicara dengan siapa, Ma? Kelihatannya Mama bahagia sekali?” Vanya terkejut dan seketika tubuhnya menegang saat menyadari pemilik suara itu. “Ma?” ulang Dave sebab Vanya masih bergeming. “Davendra, jangan membiasakan diri mengagetkan Mama dengan tiba-tiba ada di ruangan ini!” hardik Vanya setelah berhasil menguasai diri. “Mama yang terlalu asyik mengobrol, aku mengetuk pintu sudah beberapa kali tapi tetap tidak ada respons dari Mama, jadi aku langsung masuk saja,” Dave membela diri. “Sedang ngobrol dengan siapa, Ma? Sampai-sampai anaknya mengetuk pintu tidak di dengar,” selidik Dave. “Cucu? Nath? Siapa mereka, Ma?” cecar Dave lagi dengan curiga sebelum ibunya menjawab. “Ceritanya kamu sedang mencurigai Mama?” selidik Vanya sambil menyipitkan matanya. Meski di dalam hatinya sangat gelisah, karena tertangkap basah berkomunikasi dengan menantunya, tapi dia berusaha bersikap seperti biasa. Dave hanya mengendikkan bahu dan menjawab asal, “Terserah Mama mau mengartikannya bagaimana.” “Anaknya Nathalia, berarti cucu Mama juga kan?” Untung saja Vanya cepat teringat pada nama salah satu keponakannya yang tinggal di New Zealand. “Mama harap kamu masih ingat mempunyai sepupu bernama Nathalia,” sambung Vanya, menyamarkan kegugupannya. “Masih, Ma. Dia satu-satunya keponakan Mama yang paling manja dan cengeng,” Dave terkekeh sendiri mengingat sifat menyebalkan sepupu dari ibunya itu. “Oh ya, ada apa kamu datang ke sini? Tidak biasanya,” Vanya mulai mengalihkan pembicaraan setelah memastikan kecurigaan Dave menguap. “Aku mau mengambil cuti selama dua minggu, Ma,” beri tahu Dave setelah ibunya duduk di hadapannya. “Pekerjaanmu? Memangnya kamu mau ke mana?” Vanya memerhatikan ekspresi anaknya. “Besok aku akan menghadiri pembukaan cabang studio foto milik Vyren, selanjutnya aku mau melanjutkan pencarianku terhadap anak dan istriku, Ma. Mengenai pekerjaan, sudah beres semua dan aku titipkan pada sekretarisku,” Dave menjelaskan sambil memainkan kunci mobilnya. Vanya hanya mengangguk sambil mengamati wajah anaknya yang tidak secerah dulu, bahkan penampilannya pun sedikit menyeramkan. “Sudah ada informasi mengenai mereka?” selidik Vanya. Dave menggeleng lemah. “Orang-orangku semuanya payah, Ma,” jawabnya sendu. “Dave, kamu yakin mereka masih ada di Bali? Mama dan yang lain juga tidak mendapat petunjuk sedikit pun mengenai jejak mereka,” Vanya mulai menggali informasi. “Walau pada kenyataannya aku belum bisa memastikan di mana tepatnya mereka sekarang, tapi hati kecilku mengatakan bahwa keduanya masih berada di pulau ini,” jawab Dave yakin. “Aku akui sampai saat ini Titha pandai bersembunyi dariku, tapi dia lupa pada satu hal?” sambungnya. Vanya tidak mengerti akan kelanjutan ucapan anaknya. “Apa?” Tanpa disadarinya, mulutnya spontan bertanya. “Batin. Dia memang ibunya yang mengandung dan melahirkan anakku, bahkan hingga detik ini merawatnya. Namun tidak bisa dibantah bahwa di dalam tubuh anak itu mengalir darahku. Walau kontak batin seorang ibu dan anak sangatlah kuat, tapi kontak batin seorang ayah dan anak juga tidak bisa diabaikan atau diremehkan begitu saja.” Jawaban Dave membuat Vanya tersenyum lebar. “Jika kontak batinku dengan Titha sudah hilang, biarlah kini kontak batinku dengan Prisha yang menuntunku menemukan mereka,” Dave menambahkan sebelum mengembuskan napasnya dengan berat. Senyum Vanya semakin melebar. Dia bangga pada pemikiran anaknya kini yang menurutnya lebih dewasa. Vanya beranjak dari kursinya dan menepuk pundak Dave. “Jika keyakinan hatimu seperti itu, Mama harap usahamu segera membuahkan hasil. Mama juga sangat merindukan mereka,” ucapnya memberi semangat. “Aku berjanji pada Mama, akan segera menemukan mereka dan membawanya ke rumah lagi. Aku juga sangat rindu bisa berkumpul dengan kalian lagi.” Dave meremas tangan ibunya yang bertengger di pundaknya. “Jika memang kalian ditakdirkan bersama, Mama harap pencarianmu kali ini membuahkan hasil, Nak.” Vanya mencium kepala anaknya. “Biarlah batin kalian yang menuntun pertemuan itu. Della, semoga kamu bisa mempersatukan orang tuamu dan membawa kedamaian di dalam keluarga kita. Sesuai nama yang diberikan Papamu untukmu, Sayang,” batin Vanya penuh berharap. *** Tidak biasanya Nath belum bangun, padahal sinar matahari sudah memasuki kamarnya melalui celah tirai. Andai saja tangannya yang dijadikan bantal oleh Della tidak kebas, mungkin dia masih asyik berada di alam mimpi. “Sudah jam tujuh ternyata,” gumam Nath saat matanya melirik jam kecil di atas nakas. Dengan hati-hati dia memindahkan kepala putrinya pada bantal, juga mengeluarkan tangan Della dari dalam baju tidurnya. Baru saja dia hendak memberikan morning kiss pada pipi Della yang tidur menyamping, mata indah putrinya itu perlahan terbuka. “Mama,” gumam Della serak. “Ayo bangun, Sayang.” Nath mengecup wajah anaknya sehingga membuat Della kegelian. “Mama, sakit?” Della langsung duduk setelah melihat Nath memijit pelipis usai menciumi wajahnya. “Kepala Mama sedikit pusing,” jawab Nath menenangkan putrinya yang menampilkan raut cemas. “Kalau begitu Mama tidak usah kerja. Della tidak marah, kalau hari ini Mama tidak membelikan ice cream vanila untuk Della,” ujar Della sehingga membuat Nath terenyuh. “Oh, Sayang.” Nath membawa Della ke pelukannya. “Mama sangat menyayangimu, Nak,” bisiknya. “Della juga sangat menyayangi Mama,” balas Della yang kini sudah duduk di pangkuan sang ibu. “Jadi, hari ini Mama tidak kerja?” Della memainkan rambut ibunya yang masih tergerai. Nath tersenyum. “Mama harus tetap kerja, Sayang. Mama baik-baik saja. Kamu tidak usah khawatir, Sayang.” Nath mengikat asal rambut sebahu Della yang sedikit kusut. “Mama, kapan rambut Della bisa sepanjang rambut Mama?” tanya Della yang masih memainkan rambut ibunya. “Nanti, Sayang. Asalkan Della tidak malas menyisirnya, pasti rambut Della cepat panjang. Ayo, sekarang kita bangun dan membersihkan diri.” Nath menuruni ranjang dan menggendong Della menuju kamar mandi. *** Bi Rani tersenyum geli melihat Della yang kesusahan berjalan sambil membawakan clutch milik ibunya. “Wah, pagi-pagi Della sudah cantik. Mau ke mana, Sayang?” Bi Rani mengambil alih clutch milik Nath dan menaruhnya di meja makan. “Tidak ke mana-mana, cuma mau sarapan, Nek,” jawabnya jujur dan menepis tangan Bi Rani agar tidak membantunya duduk. “Della sudah bisa sendiri, Nek,” protesnya saat Bi Rani mengabaikan tepisan tangannya. “Iya, Della sudah semakin pintar sekarang, tapi tetap harus Nenek bantu dulu agar tidak jatuh. Della kan belum cukup tinggi untuk bisa duduk sendiri di kursi ini,” ujar Bi Rani sambil memperbaiki posisi duduk Della. “Lalu kapan Della bisa tinggi seperti Mama, Nek?” tanyanya serius. “Beberapa tahun lagi, Sayang. Nah, sambil menunggu beberapa tahun lagi, mulai sekarang Della harus rajin minum s**u supaya Della cepat tinggi,” Bi Rani menjawabnya sambil memberikan segelas s**u kepada Della. “Oh begitu, tapi mengapa Nenek, Mama, dan Tante Donna masih minum s**u, padahal kalian kan sudah tinggi?” Della kembali bertanya. “Selain untuk membantu tubuh cepat tinggi, s**u juga menyehatkan tubuh, Sayang. Agar tidak mudah sakit,” Donna yang sudah bergabung mewakili bibinya menjawab. “Oh berarti Mama juga harus banyak minum s**u, Tante. Tadi Mama bilang kepalanya pusing, artinya Mama tidak sehat. Kalau begitu s**u punya Della buat Mama saja, agar tubuh Mama sehat kembali.” Della batal meminum susunya setelah mendengar penjelasan Donna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD