Miss Adelku

1673 Words
Adel menutup perkuliahannya hari ini dengan senyum lebar yang menghiasi wajah cantiknya. Senyum yang membuat hati Ben remuk. Remuk karena ia ingin jika senyum itu hanya untuknya. Karena Ben ingin mencapnya sebagai kepemilikannya dan tidak ia bagi dengan orang lain. “Miss ….” Adel yang hampir keluar dari ruangan perkuliahan segera berbalik ke sumber suara. Seorang mahasiswi berkacamata dengan lesung pipi yang mempermanis wajahnya menyodorkan sebuah undangan untuk Adel. “Minggu depan saya menikah Miss, saya harap Miss Adel mau datang ke acara saya.” “Tentu.” Senyum Adel mengembang sambil meraih undangan tersebut. “Saya sekalian ingin minta izin Miss, meeting selanjutnya saya mau izin dulu.” “Oke, saya mengerti kalau pengantin baru mau honeymoon dulu. Asalkan izinnya tidak sampe satu semester. Kalo satu atau dua meeting sih saya masih bisa tolerir. Kalo sampe sebulan izinnya, wah sampe jumpa di semester selanjutnya.” Mahasiswi bernama Imel itu hanya tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. Adel pun melanjutkan langkahnya keluar dari ruang perkuliahan. Adel melangkah dengan begitu percaya diri ke ruang dosen. Kaki jenjangnya terbalut celana berbahan kain berwarna hitam yang ia padukan dengan kemeja berwarna soft blue. Kakinya tertutupi dengan heels 10 senti berwarna soft blue. Masih muda dan sangat memperhatikan penampilan. Wajahnya yang cantik ditambah bentuk tubuhnya yang membuat banyak pria mengiler membuat Adel menjadi idola para mahasiswa dan para rekan-rekan dosennya. Dosen-dosen senior yang bahkan sudah beristri tak tanggung-tanggung mangap-mangap jika melihat Adel. Tubuh Adel memang mempesona, meskipun ia sudah memakai pakaian sopan ke kampus, tetap saja mata jelalatan pria-pria di kampus selalu memandangnya dengan tatapan liar. Awalnya ia agak risih, tapi lama kelamaan Adel bermasa bodoh. Toh ia tak pernah berniat menggoda siapapun. Bisa apa Adel jika ia memang lahir dengan bentuk tubuh yang indah. Lagian selama ini ia berpakaian sopan dan pantas jika ke kampus. Palingan Adel hanya berpakaian sesukanya saat ia di rumahnya ataupun ke acara-acara yang sifatnya pribadi. Jika menyangkut pekerjaan, apalagi ia bekerja di dunia pendidikan, Adel sangat profesional. “Undangan siapa tuh Miss Adel?” Seorang dosen pria bernama Pak Guntur mendekati meja Adel setelah melihat Adel membuka undangan dari Imel. Pria dengan perut buncit itu ikut memperhatikan isi undangan yang sedang dibaca oleh Adel. “Kirain undangannya Miss Adel.” Pak Guntur bernapas dengan lega karena artinya ia masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Adel. “Hah, Miss Adel mau nikah?” Seorang dosen wanita langsung mendekat setelah mendengar ucapan Pak Guntur. Adel memasang wajah masam saat dosen-dosen lain juga ikut mendekatinya. “Undangan dari mahasiswi saya Pak, Bu, bukan saya yang menikah,” sergah Adel dengan cepat. Dosen-dosen lain jadi manggut-manggut mendengar ucapan Adel. Beberapa dosen pria terlihat mengelus dadanya karena lega. Yah, lega karena idolanya belum akan dimiliki oleh orang lain dalam ikatan yang sah secara hukum dan agama. “Tipenya Miss Adel tuh yang kayak gimana sih sebenernya?” tanya seorang dosen bernama Pak Aryo. “Tipe apa dulu nih?” tanya Adel sambil terkekeh. “Ya tipe suami yang dicari Miss Adel, saya mau mencalonkan diri kalo mampu memenuhi kriterianya Miss Adel.” Pak Aryo tak menutup-nutupi niatnya untuk memiliki sang idola kampus. Adel hanya menanggapi dengan senyum tipis lalu sibuk dengan layar komputernya. Ia memeriksa email yang dikirim oleh para mahasiswanya. Adel hanya mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan konyol dari dosen-dosen yang berniat menggodanya. Adel sudah sering diperlakukan seperti itu, bahkan sejak ia masih kuliah. Biasalah, orang cantik banyak sekali yang mau memilikinya. **** Ben mengambil langkah lebar di koridor kampus untuk mengejar sang pujaan hati. Lebih tepatnya, mengejar Adel karena jadwal bimbingan untuk penulisan thesis-nya. Meskipun terlihat sangat santai dan fleksibel, tapi Adel adalah dosen yang sangat teliti terhadap tugas-tugas para mahasiswanya. “Miss ….” Adel berbalik ke sumber suara. Suara yang sudah sangat ia kenali. Senyumnya mengembang saat Ben berdiri sejajar dengannya. Tangan Ben bergerak secara reflek untuk membantu Adel membawa dokumen-dokumen di tangan kanannya. Adel pun tak menolak sama sekali. “Miss, ada waktu untuk bimbingan?” Adel melirik jam tangannya sekilas. “Boleh, tapi saya gak bisa lama.” “Mau sambil makan siang Miss?” “Hmm ….” Adel melirik Ben. “Saya ada janji makan siang.” Ben mengangguk sambil tersenyum, meski dalam hati ia kecewa. Entah siapa yang akan Adel temui dan Ben tidak memiliki hak untuk tau hal itu. Meski dalam hati ia tetap penasaran. Karena Adel menolak makan siang bersama Ben, akhirnya mereka bimbingan di ruang dosen. “Ben ….” “Ben ….” Satu lagi panggilan Adel yang hanya berlalu. “BEN!” Adel agak meninggikan suaranya “Ya, Miss.” “Penjelasan saya didenger gak?” Ben tersenyum canggung karena ia melamun. Adel menghela napas panjang karena ia sudah menjelaskan panjang lebar, eh malah tak didengarkan. Ujung-ujungnya malah ia harus mengulang lagi penjelasannya. Tanpa menunggui Ben yang masih setengah melamun, Adel membereskan tasnya. Ia meraih kunci mobilnya lalu meninggalkan Ben yang masih mematung. Ben baru berbalik setelah Adel benar-benar pergi. “Miss Adel memang sangat cantik, susah sekali untuk fokus,” sindir seorang dosen wanita pada Ben. “Udah cantik, masih muda, wah … idaman banget,” timpal Pak Guntur. **** Bel apartemennya berbunyi, Adel yang baru selesai mandi jadi bingung. Ia jarang menerima tamu. Toh, tak banyak yang tahu alamatnya. Adel juga masih terbilang baru tinggal di Jakarta. Ia belum memiliki banyak teman dan kenalan. Cukup lama bel apartemennya berbunyi. Adel bermasa bodoh dan berpakaian dulu. Yah, tak lucu jika ia membuka pintu dalam keadaan hanya memakai handuk. Memakai pakaian sopan pun selalu membuat para pria hampir menerjangnya, apalagi kalau hanya memakai handuk. Adel bergerak perlahan menuju pintu. Ia mengernyit heran melihat siapa yang berdiri di depan pintunya melalui kamera pemantau. Adel mendecak kesal karena ia tak suka kedatangan tamu. Apartemennya adalah privasinya dan ia malas menjelaskan segala macam kekepoan tamunya. Meski kesal, Adel tetap membuka pintunya. “Ngapain ke sini?” “Maaf, Miss, saya boleh masuk?” Adel memasang tampang malas. Ia memasang badan di depan pintu agar Ben tak menerobos masuk ke dalam apartemennya. Satu tangannya menarik kenop pintu hingga pintu tersebut terkunci secara otomatis. Gerakan Adel tentu menjadi jawaban bahwa Ben tak boleh masuk. “Maaf, Miss, tadi saya kurang fokus.” “Terus?” “Saya ingin minta maaf.” “Permintaan maaf diterima.” Adel mengibaskan tangannya pada Ben sebagai tanda ia tak ingin diganggu lagi. Tapi, Ben masih merasa jika sikap cuek Adel adalah bentuk kemarahannya. Dan ia tak mau jika Adel marah padanya. Karena akan berakibat buruk bagi nilai-nilainya. Bukan, bukan nilai Ben yang penting. Tapi, perasaan Ben jauh lebih penting. “Miss ….” Ben menahan lengan Adel yang sudah berbalik memunggunginya. “Apa sih, Ben?” nada ketus Adel benar-benar mengganggu Ben. “Saya gak mau kalo Miss Adel marah sama saya.” “Kan saya bilang udah dimaafin. Pulang sana, saya tidak menerima konsultasi atau bimbingan malam-malam.” Tapi, Ben masih tak bergerak dari tempatnya. Ia masih di sana sambil terus memandangi Adel. Membuat yang dipandang merasa tak nyaman. Adel mengecek penampilan dirinya sendiri karena tatapan aneh dari Ben. Yah, Adel bisa melihat mata itu. Mata yang memandangnya dengan tatapan bernafsu. Adel memang terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Tapi, ia sangat tak nyaman dengan tingkah Ben. Karena biasanya pria itu bersikap sopan padanya. “Pulanglah, saya mau istirahat.” Ben masih di tempat yang sama, ia belum ingin beranjak. Ia masih ingin melihat Miss Adelnya tercinta. Terlebih cara berpakaian Adel memang membuat mataya benar-benar diuji. Adel hanya memakai baju kaos longgar dengan hotpants yang membuat paha mulusnya hampir membuat air liur Ben menetes. “Ben, kamu ngerti dibilangin gak? Atau kamu mau ngeliat kode akses apartemen saya?” “Oh maaf, Miss.” Ben buru-buru berbalik. Sementara Adel segera memasukkan kode akses apartemennya sebelum Ben menerjangnya. Karena Adel bisa melihat jika pria itu terlihat sedang menelanjanginya dari tatapan matanya. Ben tetaplah pria normal. Jika melihat yang menggoda matanya seperti Adel, ia tetap menginginkannya. Sisi ternakal dalam pikirannya menginginkan Adel sebagai wanitanya, menginginkan sang dosen untuk berada di bawah kendalinya dalam percintaan panas mereka. **** Pagi-pagi Adel sudah rapi dan siap ke kampus. Ia melirik ke arah dapurnya karena ia lapar. Memasak adalah satu hal yang paling ia hindari. Ia malas bersentuhan dengan segala jenis alat-alat dapur. Sangat-sangat merepotkan, hingga ia terbiasa makan di luar. “Pagi, Miss.” “Aaaaaakhh ….” Adel menjerit kaget saat ia membuka pintunya dan sudah ada Ben di sana. Adel mengelus dadanya karena jantungnya hampir copot. Ia tidak memprediksi akan kedatangan tamu pagi-pagi dan pria itu bahkan sudah tersenyum lebar padanya. “Miss Adel pasti belum sarapan kan?” “Belum.” Detik itu juga Ben langsung meraih tangan Adel dan membawanya keluar dari gedung apartemen berlantai 20 itu. Ben bahkan membuka pintu mobil dan memasang seat belt untuk Adel. Sementara respon Adel biasa saja, ia kembali sibuk mengecek email yang merupakan tugas dari mahasiswanya. “Mau sarapan apa, Miss?” “Emm … terserah kamu deh.” Klasik, Adel tetaplah wanita. Yang akan selalu berkata terserah saat ditanya mau makan apa. Artinya, Ben yang harus memilih menu sarapan mereka. Mobil yang dikemudikan Ben berhenti di depan sebuah warung di pinggiran jalan. Untunglah Adel bukan tipe orang yang enggan makan di tempat-tempat seperti pinggiran jalan. Tak masalah dimana tempatnya, yang penting makanannya enak. Belum sempat Adel membuka pintu mobil, Ben sudah membukakannya. Ben tersenyum lebar karena kali ini ia berhasil meromantisi dosennya itu. “Miss, jadi ke acara nikahannya Imel?” Adel hanya mengangguk sambil menyendok bubur ayam yang masih mengepul dari mangkoknya. Ben tersenyum memandangi cara Adel makan, cara yang menurutnya sangat manis dan menggemaskan. Karena buburnya masih panas, maka Adel berkali-kali meniupnya dan membuat bibirnya terlihat sangat menggoda kewarasan Ben. Jika tidak berada di tempat umum, Ben mungkin sudah menerjang Adel. Ben buru-buru menggelengkan kepalanya untuk mengembalikan kewarasannya. Bisa berabe jika ia sampai melakukan hal-hal gila. “Miss, ke acaranya Imel bareng saya yah, saya jemput Miss Adel.” “Boleh, tapi jangan ngagetin kayak tadi. Bisa-bisa gak ke kondangan tapi malah ke rumah sakit.” “Iya, Miss Adelku,” ucap Ben sambil terkekeh. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD