Bab 14

2021 Words
Lima jam kemudian proses oprasi Miko telah selesai dilakukan. Dokter membuka pintu ruangan oprasi dengan wajah lelahnya. Bu Ratih, Dimas dan Ida segera memburunya. Mereka tak sabar mendengar hasilnya. Perasaan mereka bercampur aduk. Semoga semuanya baik-baik saja. "Dokter bagaimana keadaan istri saya?" Dimas menjadi orang pertama yang mendekat ke arah dokter untuk menanyakan kondisi istrinya. Perasaannya diliputi rasa khawatir yang teramat sangat. "Alhamdulillah proses oprasi berjalan lancar. Kita tunggu sampai pasien siuman." Dokter paruh baya bernama dr Kenzie itu menghela nafas lega. "Alhamdulillah." Semua mengucapkan hamdallah bersamaan. Wajah Bu Ratih yang pias perlahan tampak membaik. Aliran darahnya kembali normal. "Semoga Miko kuat dan lekas pulih." Doa Bu Ratih untuk menantu kesayangannya. "Amin." Dimas mengaminkan. "Kalau begitu saya permisi dulu. Kemungkinan satu jam lagi Bu Michiko sadar." Dokter pun meninggalkan keluarga pasiennya untuk kembali ke ruangan tempat dimana Miko terbaring lemah. Dimas tak henti mengucap puji syukur. "Semoga Mbak Miko lekas sehat." Ida pun berdoa untuk kesembuhan Miko. Ia tak bisa membayangkan jika hal buruk terjadi pada Miko. Sebab kecelakaan itu terjadi usai Miko pulang dari rumah kontrakannya. Ketika ketiganya larut dalam pikirannya tiba-tiba terdengar suara langkah kaki beriringan. "Papi!" Bu Ratih segera mendekat dan memeluk suaminya. "Mi, gimana kabar Miko?" Pak Yusuf baru saja tiba di rumah sakit. Ia ditemani oleh Fikri,  assisten pribadi yang merangkap sekretarisnya. Raut wajahnya tampak cemas. "Alhamdulillah operasi telah selesai kita tunggu Miko siuman. Menurut dokter sih satu jam. Berarti beberapa menit lagi." Bu Ratih menjawab pertanyaan suaminya seraya melirik jam tangannya. "Alhamdulillah. Papi langsung ke sini begitu tahu Miko masuk rumah sakit. Sejak kemarin perasaan Papi ga enak." Pak Yusuf terlihat mencemaskan menantunya. Ia belum lama tiba di Jakarta usai melakukan perjalanan panjang dari Belanda. Tanpa pikir manjang lagi segera menuju Denpasar. "Kamu yang sabar ya Dim," Fikri memeluk Dimas mencoba menenangkan. "Makasih, Mas." Dimas berusaha terlihat baik-baik saja. "Kalian sudah makan?" Fikri memperhatikan ketiga orang itu. Mereka tampak kelelahan. "Belum sempat! Kami fokus menunggu Miko." Dimas sampai lupa jadwal makan siangnya. Di saat genting, ia tak selera makan. Pikirannya hanya tertuju kepada istrinya. "Bagaimana kalau kalian makan dulu." Pak Yusuf mengusulkan. "Iya, kalian makan dulu, jangan sampai sakit gara-gara menunggui orang sakit." Lagi-lagi Fikri bersuara. Ia sangat memperhatikan kondisi kesehatan majikannya. "Ayo Mi, Papi antar ke kantin." Pak Yusuf menuntun istrinya. Wanita itu tak dapat membantah. "Ayo Dim, kamu harus kuat. Kamu isi dulu perutmu. Soal Miko santai saja." Fikri membujuk Dimas. Ia khawatir anak majikannya itu malah ikutan sakit apalagi setahunya Dimas juga baru pulang dari perjalanan jauh. "Ntar aja Mas, saya nunggu dulu Miko. Mas ajak Ida saja. Kasihan dia dati tadi di sini." Dimas melirik ke arah sekretaris istrinya yang duduk di bangku memainkan ponselnya. "Emm, Ida ayo ikut saya ke kantin." Fikri yang kaku memberikan ajakannya. Ida yang tak mengenal Fikri tampak ragu. Pria berkemeja hijau itu tampak dingin. "Kamu ikut mas Fikri nyusul Mami dan Papi. Kamu belum makan siang, kan" Perintah Dimas. Ida yang lugu akhirnya menurut. Sesungguhnya perutnya sudah keroncongan sejak tadi siang. Ia berusaha menahannya. Tak mungkin ia enak-enakan makan sementara orang di sekitarnya tengah cemas menunggu keluarga yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Dimas kembali duduk di bangku usai ditinggal semua orang. Menunggu sang dokter mengabari istrinya sadar dan mempersilahkan dirinya untuk masuk. *** Dimas telah memakai baju khusus pengunjung rumah sakit. Di hadapannya tampak Miko dipasangi alat-alat medis. Kaki, tangan dan kepalanya dipenuhi oleh perban. Ia hampir tak mengenali istrinya sendiri. "Sayang, kenapa jadi begini. Kamu yang kuat. Aku yakin kamu pasti sembuh. Aku akan selalu menemani kamu setiap saat." Air mata Dimas tak tertahankan. Miko tersenyum. Ia belum bisa bicara. Dimas meraba tangan kiri Miko yang terpasang selang infus. Ia usap-usap penuh sayang. Ia tak tega melihat kondisi istrinya yang tampak kesakitan. "Di..mas.. Terdengar suara Miko memanggil namanya. "Miko.." Dimas memeluk istrinya. Dimas bersyukur Miko mengenalinya dan dokter pun mengatakan jika kondisi kepala Miko aman. Ia hanya mengalami benturan ringan. Dimas tak dapat membayangkan jika istrinya amnesia. "Sayang, kamu harus kuat ya. Kita pulang. Aku kangen sama kamu. Aku ga bisa hidup tanpa kamu." Dimas kembali menangis. Miko telah berada di ruang perawatan setelah berhari-hari menempati HCU. Pembesuk pun boleh datang mengunjunginya. Bu Ratih masih setia mendampingi Miko. Keempat anaknya yang lainpun datang menjenguk Miko bergantian. Sementara Pak Yusuf dan Fikri telah kembali ke Jakarta beberapa hari yang lalu. Diana dan keluarga baru pulang kemarin. Sementara Diki dan Dany masih berada di Bali dan tengah istirahat di rumah Dimas. Seperti kebanyakan anak muda mereka malas berada di rumah sakit. "Maaf ya aku baru datang sekarang." Deri anak ke tiga Hadiwijaya duduk di dekat Dimas yang hampir setiap hari menemani istrinya. Ia abaikan semua urusan pekerjaannya. Ia mengambil curi panjang dan menyerahkan semua tugas kepada sekretaris serta asistennya. Jika ada hal penting barulah mereka datang menemui Dimas ke rumah sakit. Ruangan kamar inap Miko seperti kamar hotel. Makan dan mandi pun Dimas lakukan di sana. "Ga apa-apa. Aku tahu kamu tengah sibuk di Paris." Dimas tahu akan kesibukan adiknya yang berprofesi seniman itu. Hampir tiap bulan pergi melancong ikut pameran internasional. "Aku nginap di sini ya. Maaf besok harus pulang lagi." Deri menyatakan penyesalannya. "Terimakasih ya Der, kamu sudah mau datang." Miko sudah bisa banyak bicara. Perkembangannya cukup pesat. Sementara sekretaris Miko yang bernama Ida pun tak pernah absen mengunjungi setiap pagi dan sore. Ia sering membawakan makanan untuk Dimas. Dimas sangat berterima kasih. *** Setelah berada di rumah sakit selama satu bulan, akhirnya Miko diizinkan  pulang ke rumah. Kakinya masih belum bisa seratus persen digerakkan sehingga ia harus duduk di kursi roda untuk beberapa bulan ke depan. Tangan kanannya pun belum seratus persen pulih. Ia harus mengikuti terapi dan kontrol seminggu sekali. Dokter pun tak dapat memprediksi berapa lama Miko akan sembuh total. Semua tergantung dari usahanya ikut terapi. "Alhamdulillah, akhirnya aku kembali berada di rumah." Miko mengucapkan puji dan syukur. Ia bisa menghirup udara segar, jauh dari yang namanya bau obat-obatan. Sebenarnya ia merasa sedikit stres berada di rumah sakit. Mbok Darmini dan Ida menyambut kedatangan Miko dan Dimas dengan gembira. Mereka berdua sudah tahu berita kepulangan Miko sejak kemarin. Ida sengaja izin dari kantor. Ia akan berangkat usai makan siang. "Selamat datang Bu Miko, saya senang sekali ibu sudah bisa pulang. Mudah-mudahan Ibu lekas sembuh total." ART berkerudung coklat itu memeluk majikannya. "Saya juga rindu dengan Mbak Miko yang selalu ceria. Suasana di kantor juga sepi tanpa adanya Mbak,." Selama sebulan ini Ida merasa kehilangan. Bukan hanya dirinya melainkan karyawan kantor juga. "Saya juga kangen kalian semua. Terima kasih atas doa-doanya sehingga saya bisa bertahan dam kembali berada di tengah-tengah kalian. Mbok Darmini, terima kasih sudah menjaga rumah dan Ida, terima kasih kamu rajin menjenguk ke rumah sakit. Kamu juga yang mengurus semua pekerjaan kantor. Semoga Allah membalas kebaikan kalian." Miko menatap dua wanita beda generasi itu bergantian. Keduanya sangat berjasa dalam kesembuhan dirinya. Tanpa kehadiran mereka entah bagaimana nasibnya. Miko tak bisa melupakan kebaikan merela. "Mbak tak perlu khawatir, itu sudah menjadi tugas dan tanggung jawab saya selaku karyawan perusahaan. Mbak Miko tidak perlu berterima kasih. Hal terpenting adalah kesehatan Mbak. Mbak Miko harus kuat dan pulih." Ida berkata bijak. "Ayo, Sayang ngobrolnya di dalam saja!" Dimas mengingatkan mereka masih di luar. Memang benar mereka harus bicara santai di dalam. Tanpa di perintah Mbok Darmini dan Ida menurunkan barang-barang dari bagasi mobil. Suasana rumah Dimas dan Miko tetap seperti sebulan yang lalu. Semua tata letak dan lainnya masih sama. Miko gembira tak terkira, sebulan di rumah sakit membuatnya jenuh. Ia hanya terbaring lemah. "Mulai hari ini untuk sementara waktu kamarnya pindah dulu ke bawah." Dimas menunjukkan kamar baru mereka yang terletak persis dekat tangga. Ia membawa istrinya masuk ke dalam, mendorong kursi rodanya dengan hati-hati. Kamar yang biasa digunakan untuk kamar tamu itu sudah disulap sedemikian rupa sesuai selera Miko yamg dipahami oleh Dimas. Dimas tak ingin terjadi sesuatu yang berbahaya menimpa istrinya jika tetap menempati kamar di lantai atas. Apalagi penggunaan kursi roda jelas mengganggu pergerakannya. Di bawah, istrinya akan lebih mudah dalam meminta bantuan ARTnya apabila Miko butuh pertolongan. "Ayo kita makan siang dulu, baru jam sebelas tapi Mbok Darmini sudah masak. Aku juga lapar sekali." Dimas mengajak istrinya menuju ruang makan. Tiba di tempat yang dituju, aroma masakan menyeruak memenuhi indera penciumannya. "Aku rindu masakan rumah."!Miko berseru. Ia tampak senang melihat aneka hidangan tersedia di atas meja makan. Ia masih dapat merasakan betapa tak enaknya masakan rumah sakit yang dimakannya. Dimas mengisi piring untuk istrinya. "Ayo makan yang banyak biar lekas sembuh." Dimas menyuapi istrinya dengan telaten. Tangan kanan Miko masih belum bisa digerakkan seratus persen sehingga masih memerlukan bantuan orang lain u nuk dapat memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Dalam rangka perayaan kepulangan Miko, Mbok Darmini dan Ida turut bergabung makan siang bersama, sayangnya tak ada satu pun keluarga Hadiwijaya yang hadir. Bu Ratih telah menelepon dan menyatakan penyesalannya karena belum bisa kembali menjenguk menantunya. Wanita itu sibuk dengan urusan kepindahan dua adik Dimas ke luar negeri. Diki akan Kuliah di Australia dan Dany ke Amerika. "Alhamdulillah kita bisa kembali berkumpul." Dimas merasa bahagia tak terkira. Dimas senang melihat Miko makan dengan lahap. *** Sudah tiga hari Miko berada kembali di rumah. Ia merasa jenuh karena harus duduk di kursi roda terus atau berbaring. Jika ingin duduk di Sofa, butuh bantuan Dimas. "Aku butuh assisten, bagaimana kalau Ida tinggal saja di sini. Supaya ada yang membantu dan menemani aku kalau kamu sedang tak dirumah." Miko memberikan usulan. Ia telah memikirkan hal ini sejak masih berada di rumah sakit. Mbok Darmini kini tinggal di rumahnya, ada juga perawat yang datang tiap pagi dan sore untuk memeriksa kesehatannya. Namun Miko membutuhkan sosok Ida untuk mendampinginya. Ida selalu ada saat dibutuhkan. Ia juga merupakan seseorang yang enak diajak bicara Ia ingin agar lebih mudah mengontrol  urusan perusahaannya. Selain itu Ida juga tak perlu bolak-bolik ke kontrakannya. Dimas terdiam memikirkan permohonan istrinya yang berlebihan. Usulan Miko masuk akal, namun ia ragu. Ida itu orang lain dan rasanya canggung sekali jika ada gadis single berada dekat ia dan istrinya. "Jika dia di sini, kasihan dia pasti repot. Selama kamu di rumah sakit dia sibuk kerja dan mengurusi kamu." Dimas memberikan alasan penolakannya. Miko mengangguk. Dia sadar, permintaannya memang berlebihan. Sekretarisnya pasti cukup lelah mengurusi pekerjaan kantor. Jika ia harus menemani Miko, maka waktu istirahatnya akan banyak terganggu. Sebenarnya Miko butuh teman bicara. "Aku sudah memutuskan suster yang merawat kamu, sebaiknya menginap saja." Dimas telah memikirkan hal ini. Semua demi kemudahan istrinya. Dimas tak mungkin berada di samping istrinya selama dua puluh empat jam penuh. *** Seperti biasa pagi hari sebelum ke kantor, Ida menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Miko. Ia ingin mengetahui kondisi atasannya. "Selamat pagi Mbak Miko! Ida menyapa Miko yang tengah berada di teras depan rumah. "Pagi!" Miko tersenyum ramah. Hari ini Dimas pergi ke Surabaya sehingga ia Usai mengunjungi rumah Miko, ia segera menstarter motornya dan melajukannya ke kantor. Ia tiba di kantor pukul setenhah delapan dan dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang paling dihindarinya. Dewa telah berdiri di dwkat pintu masuk. Memasang tampamg sangar penuh emosi. "Paman mau apa?" Ida menatap Dewa dengan ketakutan. Sang paman mendatangi kantornya, setelah mencari Ida kemana-mana. Namun tak ditemukannya. "Kamu pergi dari rumah tanpa pamit." Dewa tampak marah. "Apa maksud kamu?" bentaknya. Ia bahkan menyeret Ida untuk mencari tempat yang sepi. "Maaf Paman, saya ingin menentukan jalan hidup saya sendiri, jadi tolong jangan usik saya lagi. Saya sengaja meninggalkan rumah agar bisa hidup tentram. Paman juga bebas menguasai rumah peninggalan ayah." "Ingat, kamu tidak bisa lolos begitu saja. Kamu harus menikah dengan Oka." Dewa memberikan ancaman. "Antara saya dan Mas Oka tak ada hubungan apa-apa. Tak ada kesepakatan apapun antara saya dengannya. Jika ada perjanjian atau urusan yang mengikat itu hanya antara Paman dan Mas Oka. Saya tak terlibat apapun." Ida kembali menegaskan. "Dasar anak kurang ajar, tak tahu diuntung dan balas budi." Ia mencaci maki Ida. "Balas budi apa Paman? Bukannya sebaliknya justru keluarga paman yang merePotkan saya." Ida semakin berani. Beruntung saat terjadi keributan tampak seorang satpam hendak mendatangi keduanya, sayangnya Dewa telah kabur terlebih dahulu. Usai mengancam Ida. *** Hampir setiap hari Dimas pulang lebih awal. Ia ingin merawat istrinya dengan baik agar segera pulih. "Dimas, maaf ya aku selalu merepotkanmu. Aku benar-benar tak berguna hanya duduk di kursi roda dan menyusahkanmu. Aku tak bisa melayanimu." Miko terlihat sedih. Ia tak bisa menjalankan semua kewajibannya. Jangankan mengurus suaminya, mengurus diri sendiri pun tak bisa. Dimas menggenggam jemari tangan istrinya. "Kamu tidak perlu bicara seperti itu. Melihat kamu ada di sampingku, aku senang. Soal pekerjaan ada Mbok Darmini. Aku juga tak keberatan memgurus kamu." Dimas mencium tangan istrinya menyalurkan segenap perasaannya. Miko terharu. Suaminya begitu sabar dalam mengurusnya. "Terima kasih Dim, terima kasih banyak" tak terasa buliran air mata membasahi pipinya yang tampak tirus. *** TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD