Danial menatap cahaya lampu yang menerangi sekeliling rumah keluarganya dari ujung jalan. Pria berwajah oriental itu enggan untuk kembali masuk. Ada rasa sesak setiap kali dia harus bertatap muka dengan sang Nyonya Rumah. Ditambah lagi dengan kebenaran yang baru saja terungkap, rasanya Danial tidak akan pernah sanggup lagi menatap wajah wanita itu. Memikirkannya saja sudah membuat Danial gemetar karena rasa bersalah. Namun, Danial tidak mau menjadi pria pengecut yang lari kesalahan dan penyesalan.
Danial menguatkan hati dan niat untuk membelokkan arah laju mobilnya. Perjalanan dari pintu gerbang menuju garasi rumah yang hanya berjarak tiga puluh meter terasa sangat jauh. Langkahnya terasa sangat berat ketika harus melewati ruas demi ruas lantai rumahnya. Otaknya masih memikirkan cara dan kata seperti apa yang harus dia ucapkan pada Ayu.
Danial melirik arloji di tangan kirinya. Sudah hampir tengah malam. Semua penghuni rumah sudah terlelap, tapi hati dan pikiran Danial tidak tenang. Dia tidak mau menunggu pagi untuk mengatakan semua penyesalannya pada Ayu. Ia memberanikan diri mengetuk pintu kamar Ayu. Satu, dua sampai beberapa kali ketukan, Ayu tidak membukakan pintu. Lancang, Danial memutar gagang pintu lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar Ayu. Wanita itu tidak ada di kamarnya.
Dahi Danial berkerut. Ke mana Ayu? Tanyanya dalam hati. Danial menuruni anak tangga, berbelok ke arah dapur dan kamar-kamar asisten rumah tangga di rumah tersebut. Ia mengetuk pintu kamar Dedeh. Mendengar ketukan pintu kamar Dedeh, asisten rumah tangganya yang lain yang tidur di kamar di samping kamar Dedeh membuka pintu.
"Bi Dedeh tidak ada, Den. Tadi, Bi Dedeh sama Bu Ayu dan Non Rachel ke rumah sakit. Tuan kritis katanya," papar asisten itu.
Mata Danial membelalak. Sengatan rasa sakit ia rasakan tiba-tiba. "Apa? Papa kritis?"
"Iya, Den. Tuan Anthony kritis," pungkas si Asisten.
Tanpa basa basi, Danial meninggalkan asisten itu. Mobil Danial melesat dengan cepat membelah jalanan menuju rumah sakit. Danial setengah berlari di lorong rumah sakit. Rachel terlihat duduk disamping Dedeh di deretan kursi tunggu. Wajahnya menyuruk ke pundak Dedeh. Wanita paruh baya itu membelai rambut Rachel dengan penuh kasih sayang.
Jantung Danial seakan berhenti berdetak ketika melihat wanita dengan wajah muram dan sedih yang sedang duduk bersandar di seberang Rachel dan Dedeh. Danial mengatur napasnya dan mengatur langkahnya setenang mungkin.
"Apa yang terjadi sama Papa, Bi?" tanya Danial sesaat setelah tiba di hadapan Dedeh.
"Kakak!" Rachel menghambur ke pelukan Danial sambil menangis. "Papa, Kak. Papa."
Danial mengelus rambut Rachel. "Tenang ya, Dek. Sabar. Papa pasti akan segera membaik."
Danial melirik pada Ayu. Tanpa diduga Ayu sedang menatapnya dan juga Rachel. Tatapan mereka bertaut. Napas Danial tersekat di tenggorokan. Dadanya tiba-tiba sesak dan saraf-sarafnya seolah terputus hingga tubuh Danial sedikit gemetaran.
"Aden, dari mana saja? Tadi, Bu Ayu dan Non Rachel neleponin Aden terus tapi tidak diangkat-angkat," selidik Dedeh.
"Maaf, Bi Dedeh. Ponsel Danial ketinggalan di rumah teman," sahut Danial sambil melepas pelukan Rachel. "Kondisi Papa gimana, Bi?"
Danial masih belum bisa menatap Ayu. Sebisa mungkin dia mengalihkan pandangannya dari wanita itu. Ia belum siap terpapar rasa sesal dan sedih yang harus ditanggungnya sendiri.
"Kata Dokter masih Kritis. Tadi, Dokter sudah bicara sama Bu Ayu." Ucapan Dedeh memaksa Danial menoleh pada Ayu.
Danial berharap Ayu tidak merespons pandangannya. Danial tidak ingin bertatap dan berkomunikasi dengan Ayu saat ini, di sini. Namun, harapan Danial tidak terkabul. Ayu berdiri lalu mendekat padanya. Desiran aneh menjalar ke seluruh tubuh Danial hingga membuatnya sedikit gugup.
"Tim Dokter yang menangani Mas Anthony sedang berupaya mengembalikan kondisi Mas Anthony untuk segera membaik," tutur Ayu.
Rachel mendekat pada Ayu lalu bergelayut di pundak Ayu dengan raut wajah sedih. "Apa Papa akan baik-baik saja, Tante?"
Ayu mengelus pipi Rachel. "Rachel terus berdoa untuk Papa ya. Semoga Papa bisa melewati masa kritisnya."
Danial melihat kasih sayang tulus Ayu pada Rachel. Rasa bersalahnya semakin besar pada Ayu. Saat itu pula ia ingin mengadukan kepalanya ke dinding rumah sakit untuk menghulum dirinya sendiri.
"Kalian pulang dan beristirahatlah. Biar aku saja yang menunggui Papa di sini," saran Danial.
Dedeh dan Rachel menuruti saran Danial. Namun, Ayu masih bersikeras menunggu di rumah sakit. Danial tidak bisa memerintah Ayu untuk meninggalkan rumah sakit. Bagaimanapun, dia adalah istri papanya. Ayu dan Danial duduk di deretan kursi tunggu. Mereka terdiam beberapa saat, namun kemudian salah satunya memulai percakapan.
"Kau boleh marah padaku tapi setidaknya jangan mengabaikan panggilan teleponku. Aku tahu aku sangat tidak berharga dan tidak pantas berada di samping papamu." Ucapan Ayu menembus relung hati Danial.
Danial berdecak. Peringatan melintas sekilas di benaknya agar dia bisa menahan diri. "Ayu—"
"Aku bukan orang yang tidak tahu diri, Dan. Aku hanya mau kau sedikit peduli pada pria yang berada di dalam sana. Peduli pada papamu," sela Ayu tak membiarkan Danial menyelesaikan kalimatnya. Matanya menggelap dan berkilat sedih.
Denyut sakit di kepala Danial mulai terasa. Ayu salah menilai persepsi Danial kali ini, di saat Danial ingin menyesali semuanya. Saat ini mungkin saat yang salah jika Danial harus mengungkapkan perasaan yang menyesakkan dadanya, pikirnya. Danial memilih untuk bungkam sementara waktu.
Beberapa puluh menit kemudian dr. Arsyad keluar dari ruang perawatan Anthony. Wajah berseri dokter itu memperlihatkan kabar baik yang dibawanya.
Ayu bergegas melangkah menuju dr. Arsyad yang menantinya di depan pintu.
"Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" Ayu terlihat sangat cemas.
Hati Danial mencelus mendengar kecemasan Ayu pada sang Papa. Ayu sungguh-sungguh mengkhawatirkan keadaan pria tua itu. Mungkinkah Ayu sudah menambatkan hati untuk papanya atau Ayu hanya sedang berakting? Danial segera menghempas jauh-jauh semua pikiran buruknya. Jika pun Ayu benar-benar tulus mencintai ayahnya, Danial memang pantas menerima kekecewaan.
"Pak Anthony sudah melewati masa krisisnya, Bu Ayu. Tapi, belum bisa dijenguk. Sebaiknya Bu Ayu dan Mas Danial beristirahat di rumah saja. Pak Anthony aman di sini. Ada kami, tim dokter dan perawat, yang akan menjaganya," saran dr. Arsyad.
"Baik, Dok. Saya akan membawa Ayu, mmm... Mbak Ayu pulang," ucap Danial gugup.
Ayu melihat kegugupan di raut wajah Danial. Sikap pria itu berbeda dengan malam kemarin saat dia mencoba melecehkan Ayu.
○○○
"Dan, kita mau ke mana?" Ayu menyisir pandangan dari dalam mobil Danial. Ia melihat pemandangan berbeda dengan jalan yang biasa ia lewati menuju rumah keluarga Anthony.
"Aku ingin bicara denganmu. Kita tidak bisa bicara di rumah maupun rumah sakit. Aku tidak bisa menunda lebih lama lagi." Danial melajukan pelan mobilnya memasuki area parkir sebuah hotel berbintang.
Raut wajah Ayu berubah tegang. Malam kemarin Danial mencoba melecehkannya. Apa yang akan dilakukan pria itu sekarang? Ayu mulai merasa cemas. Ia semakin merasa was-was tapi ia hanya bisa menurut pada Danial. Rasa penasarannya jauh lebih besar daripada rasa khawatir yang menghimpit.
Setelah melakukan check in, Danial dan Ayu masuk ke kamar yang Danial pesan sebelumnya. Danial dan Ayu bertempur dalam keheningan untuk beberapa saat. Mereka mencari sisi kenyamanan masing-masing sebelum mengeluarkan suara. Danial dan Ayu duduk di sofa panjang yang terdapat di depan tempat tidur. Jarak mereka tidak terlalu jauh, hanya sekitar lima puluh senti meter.
Ayu menyilangkan tangannya di atas lututnya. Jemarinya memilin kain ujung roknya. Seluruh sarafnya siaga. Jelas, Ayu terlihat sangat kaku. Gestur defensif Ayu memicu Danial untuk menjauh darinya. Danial pindah duduk ke tepi tempat tidur.
"Aku hanya ingin bicara. Aku janji tidak akan menyentuhmu lagi," ucap Danial memecah keheningan di antara mereka.
Ayu tidak bicara sepatah kata pun. Hanya melempar tatapan yang lebih tenang pada Danial.
"Aku bertemu Indah dan Rusli tadi siang," lanjut Danial.
Ayu terperangah. Mata seindah almond-nya membelalak. "Kau pergi ke desa?"
Danial mengangguk. "Aku ke sana bersama Iwan dan kebetulan bertemu dengan Indah dan suaminya, Rusli."
"Indah sama Kang Rusli menikah?" Mata Ayu berbinar. Terlihat kilat bahagia dalam tatapan Ayu setelah mendengar berita tadi.
"Iya. Mereka sudah punya anak. " Danial membasahi bibir tipisnya dengan ludah. Pria itu tampak gugup. "Mereka menceritakan semua tentangmu. Termasuk, saat si Hendra itu berniat menjualmu ke tempat prostitusi."
Mata Ayu berkaca-kaca. Sekilas kenangan sedih dan lara berkelebat di pikirannya.
"Kang Rusli dan Indah, mereka orang baik," ucap Ayu dengan suara bergetar. Ayu menahan napasnya di tenggorokan agar tidak menangis.
Danial meremas jemarinya sendiri. Tatapannya terkunci pada mata Ayu yang mulai basah.
"Ayu, selama ini, selama tujuh tahun ini, aku sudah salah menilaimu. Aku pikir kau sudah mengkhianatiku dengan si Hendra itu. Ternyata aku salah. Aku bodoh. Sangat bodoh langsung menuduhmu seperti itu. Aku terlalu putus asa mengetahui kau sudah menikah dengan Hendra saat aku dan Iwan mencarimu ke desa dan berniat melamarmu. Aku telah dibutakan oleh kebohongan anak buah Hendra. Aku tahu penyesalan tidak akan berarti apa-apa sekarang. Aku sudah sangat menyakitimu sampai aku ingin mengutuk diriku sendiri karena terlampau tidak berperasaan. Aku tidak berharap kau mau memaafkan aku. Aku hanya ingin kau tahu jika aku menyesal dengan semua yang sudah aku lakukan padamu. Aku yang membuat hidupmu menderita. Maafkan aku." Ucapan Danial terhenti. Masih banyak yang ingin dia katakan pada Ayu, namun amunisi yang menguatkan hatinya sudah habis.
Ayu terdiam. Wanita itu tidak melihat kebohongan dalam diri Danial. Semua ucapan Danial mengalir dari hatinya. Air bening berjatuhan bagai tetesan hujan dari ujung mata Ayu. Bahagia, memang dirasakan Ayu—pada akhirnya Danial mengetahui semua kebenarannya. Tapi, di sudut tersembunyi, jauh dari kebahagiaan yang dia rasakan, hatinya menjerit. Kenapa Ayu harus menunggu sampai tujuh tahun untuk mengetahui bahwa Danial memang pernah mencarinya dan mengetahui jika pria itu tidak pernah mengingkari janjinya?
Ayu menjadi sangat emosional. Ayu tersedu-sedu. Dari tepi tempat tidur Danial melihat kepedihan yang saat ini menyelubungi Ayu, menyelubungi mereka berdua. Getaran itu masih ada dan masih dia rasakan. Ingin sekali Danial merengkuh Ayu, membawanya ke dalam dekapannya.
Danial mengangkat tubuhnya. Menarik napas dalam sebanyak dua kali. Dia mengumpulkan lagi kekuatannya untuk mengakhiri dialog ini.
"Kondisi Papa sudah mulai membaik. Aku bukannya tidak peduli pada Papa, tapi selama aku berada dekat dengannya, dengan kalian, kalian tidak akan pernah tenang. Terutama kau, Ayu. Aku sudah menjadi pria terberengsek dan terbajingan yang sudah menyakitimu sampai sedemikian rupa. Besok aku akan kembali ke San Francisco. Aku mungkin tidak akan kembali. Sampaikan maafku pada Papa karena tidak bisa menemaninya saat dia butuh aku. Pun, pada Rachel. Sampaikan padanya jika aku sangat menyayanginya."
Danial mengalihkan pandangannya ke dinding kamar. Menahan diri untuk tidak terlalu emosional. Danial merogoh saku celananya mengambil kunci mobil yang dia pakai lalu meletakannya di atas tempat tidur. "Kau bisa membawa mobilnya pulang. Aku akan pergi dari sini dengan taksi."
Danial melangkah meninggalkan Ayu.
"Hanya seperti ini saja, Dan?" Suara Ayu terdengar sedikit kencang dan bergetar.
Danial menghentikan langkahnya sebelum mencapai pintu lalu memutar tubuhnya. Dia memandang Ayu yang masih duduk dengan posisi yang sama saat mereka tiba di kamar itu.
"Setelah kau puas menyakitiku, meminta maaf, dan sekarang kau akan pergi begitu saja? Kau egois, Dan. Apa kau tahu apa yang aku rasakan selama ini? Kau sama sekali tidak peduli dengan itu. Hatiku sakit, Dan! Sakit!!!" ungkap Ayu meledak-ledak hampir berteriak.
Napas Ayu terengah-engah. Dadanya naik turun dengan cepat. Butiran air matanya semakin banyak membasahi wajahnya.
Danial mendekat. Pria ini terus siaga untuk menjaga jarak dengan Ayu. Danial tidak boleh lagi menyentuh istri papanya. Namun, kerapuhan Ayu yang tidak sengaja diperlihatkan membuat keterampilan motoriknya otomatis meraih tubuh Ayu dan membawa wanita itu ke dalam pelukannya. Ayu menangis seperti bayi dalam pelukannya. Sepertinya, wanita itu ingin melepas beban yang dipikulnya selama bertahun-tahun.