Ayo, Pacaran!

2551 Words
 Lakka: Ayo, Pacaran! Pertemuan nggak sengaja antara gue sama Lomi—serta Endra—suami Lomi sukses bikin suasana hati gue memburuk. Gue nggak suka sama tatapan Endra—seolah gue adalah peran antagonis di kehidupan mereka. Ya sih, gue sama Lomi dulunya pernah pacaran. Tapi bukan berarti gue sama Lomi masih ada perasaan, kan?  Memangnya kalau udah jadi mantan, nggak boleh temenan ya? Lomi anaknya baik, lucu, setengah judes. Dan yang gue suka dari Lomi, tuh, dia nggak pernah berusaha jadi orang lain buat menarik perhatian lawan jenisnya. Bukannya sombong, di sekolah dulu, gue salah satu murid populer. Banyak cewek-cewek yang ngantre pengin kenalan—tapi nggak ada satu cewek pun yang menarik perhatian gue—sampe akhirnya gue lihat Lomi lagi di kantin sama temen-temennya. Lomi ya Lomi. Mau ada cowok ganteng, mau itu Kakak kelas atau adek kelas ganteng, Lomi nggak pernah berusaha mengecilkan suaranya, atau mendadak jadi sok kalem. Lomi masih asyik ketawa lebar sambil menggebrak-gebrak meja—salah satu yang dia lakukan kalau sedang tertawa. Teman Lomi sempat mengingatkan untuk bicara lebih kalem, minimal ditutupin bibirnya kalau lagi ketawa. Bukannya mengiakan, Lomi malah nampol bahu temannya dan terus tertawa dengan gayanya sendiri tanpa mau repot-repot sama komentar orang. Dari situ gue mulai tertarik. Gue sering pura-pura lewat di depan dia. Ceritanya mau tebar pesona. Yang teriak bukan Lomi, malah teman-temannya. Tahu nggak, gimana reaksi Lomi pas temannya pada histeris setelah lihat gue jalan depan meja mereka? "Masih napak kakinya." katanya ikut memandang gue, tapi nggak lama dan sibuk sama minumannya. "Dia manusia, hei! Lebar amat tuh mulut." Lomi nggak merespons apa-apa selain dua kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Ini anak beneran nggak terkesima kayak teman-temannya gitu? Oke. Sejak itu, Lomi jadi idaman gue. Dan buat dapetin dia tuh gampang-gampang susah. Anaknya susah digombalin. Entah gue yang kurang jago, atau mungkin si Lomi udah biasa digombalin cowok-cowok ganteng. Harus gue akuin, Lomi cantik banget. Bahkan lagi hamil besar pun nggak mengurangi kecantikannya sama sekali. "Lo mau makan malam pake apaan?" Bayang-bayang di masa SMA harus buyar karena kemunculan Chua di belakang gue. Cewek itu sudah mengganti pakaiannya dengan celana pendek sama kaus oblong. Gue mengalihkan perhatian gue ke Chua yang sekarang sedang menuangkan air ke dalam gelas. "Apa aja." jawab gue lesu lalu menarik kursi makan. "Ya udah." Chua jalan ke dapur sembari mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Sepeninggal Chua, gue duduk di kursi makan sambil melamun. Nggak tahu apa yang lagi gue pikirin sebenernya. Kalau dibilang mikirin Lomi, nggak juga. Toh gue sama dia memang udah nggak ada perasaan apa-apa. Cuma, gue merasa terganggu aja sama tatapan Endra. Jelas banget gitu kalau Endra sinis. Cara ngomongnya juga ogah-ogahan—padahal gue juga nggak minta buat disapa, apa lagi diajak ngobrol. "Udang asam manis, mau?" Chua keluar lagi menawari makanan yang akan dimasaknya. "Gue yang pengin, sih." cewek itu nyengir sampe matanya menyipit. "Terserah." kata gue, kemudian beranjak dari kursi makan lalu ke sofa buat rebahan. "Bangunin gue kalau udah kelar masaknya." "Iya." jawab Chua, lantas kembali ke dapur. *** Gue merasakan bahu gue ditepuk beberapa kali lalu disusul sama suara cempreng Chua. Beberapa kali dia memanggil gue, tangannya yang gue rasain ada di bahu gue jadi lebih kencang menepuknya. Bahkan buka cuma bahu gue yang ditepuk, tapi juga pipi gue. Plak. Buru-buru gue bangun. Antara kaget, sama sakit. Gue baru tahu kalau Chua punya tenaga yang cukup besar buat ukuran cewek. Badannya lebih kecil, lebih pendek, kalau orang cuma lihat Chua dari luarnya aja, gue yakin orang-orang itu bakalan mikir kalau Chua adalah cewek lemah yang harus dilindungi. Padahal mah... dih. Gue aja ngeri kalau punya cewek kayak Chua. "Susah amat lo dibangunin." keluh Chua duduk di pinggiran sofa. Gue bangun dan duduk sembari mengusap mata gue pelan. Chua yang tahu apa yang gue cari sekarang, buru-buru menyodorkan kacamata yang tadi gue letakin di atas meja sebelum akhirnya gue ketiduran beneran. "Bangun. Cuci muka! Gue udah selesai masak." Chua beranjak dari sofa. Tapi gue masih duduk dan memasang kacamata. "Buruan bangun!" dia berkacak pingang, raut wajahnya kelihatan galak. "Kalau makanan lo dingin gara-gara lo kelamaan bengong, gue ogah buat manasin lagi, ya." ocehnya nggak pake titik dan koma. Chua nggak berhenti mengomel, cewek itu kelihatan gemas karena gue yang malas-malasan, padahal gue sendiri mengingatkan untuk menyiapkan makanan gue selalu dalam keadaan hangat. Tapi gue malah mau rebahan lagi. "Mau gue gendong, lo?" ancamnya, bikin gue mengernyit. "Minggir!" akhirnya gue bangun. Sebelum gue sama dia pergi belanja, lampu di ruang tamu ternyata mati, terus galon air pun belum gue angkat ke dispenser. Chua nanya, kenapa galon airnya masih ada di lantai? Gue jawab aja, gue lagi males buat ngapa-ngapain, terus gue tinggal aja pergi ke kamar buat siap-siap pergi belanja bulanan. Nggak lama gue tinggal, lima belas menit kemudian gue keluar kamar buat manggil Chua. Tapi, begitu gue keluar, gue lihat Chua mengangkat galon air—yang isinya masih penuh ke dispenser sendirian. Woah! Rasanya gue pengin teriak atas kekaguman gue sama Chua. Tapi gue tahan. Ntar Chua besar kepala lagi. "Eh, lo mau ke mana? Nggak makan?" tanya gue yang baru saja duduk di kursi makan. Chua menggeleng, cewek itu lagi-lagi nyengir. "Gue kenyang," katanya cengengesan. "Sori... gue makan duluan tadi. Abis menggoda banget. Kalau nggak inget lo, udah gue abisin." "Makan aja lagi." kata gue tanpa melihat ke Chua. "Gue nggak bakal bisa ngabisin. Lagian, gue juga nggak bisa makan makanan sisa kemaren." Chua melebarkan matanya. Cewek itu menarik kursi di depan gue. "Kan nggak basi, Kka," gumam Chua heran. "Kenapa emangnya kalau makanan sisa kemaren?" Gue melirik Chua beberapa detik. "Nggak biasa." jawab gue. "Kadang suka mules." "Manja amat perut lo, heran." Selain suaranya cempreng, kekuatannya mengalahkan cowok, Chua juga ceplas-ceplos banget orangnya. Dia bicara apa pun yang ada di kepalanya. Baru sehari dia tinggal sama gue, dia berani mencibir gue—padahal di sini—dia menyebut dirinya sebagai pembokat gue, tapi dia berani ngata-ngatain gue. "Jangan buang-buang makanan lo. Inget, di sini ada gue yang menampung apa pun makanannya." Ganti gue yang mencibir. "Itu perut atau tempat sampah? Heran." "Mulut lo anjir." Chua melempar gumpalan tissue ke gue. "Pokoknya jangan buang-buang makanan. Nggak baik, Kka," "Iya. Baiknya dibuang ke lo, ya?" kata gue, sinis. "Nah, itu lo tahu." Chua menjentikkan jarinya, kemudian melakukan wink—bikin gue pengin muntah. *** Kita barusan selesai makan. Chua nggak bohong kalau dia bakal menghabiskan makanan di meja. Katanya mubazir. Tapi kalau kata gue, Chua emang doyan. Chua nggak kayak cewek-cewek kebanyakan. Biasanya, cewek suka ngeluh sama porsi makanan mereka, atau sok-sokan nolak makan malam dengan alasan nggak pengin gendut. Sedangkan Chua, cewek itu asyik aja sama makanannya. Nggak peduli udah berapa banyak nasi yang dia habiskan. Kalau diperhatikan lagi, bikin Chua seseneng ini nggak perlu kasih dia barang-barang mewah. Cukup kasih makan sampe dia bener-bener kenyang. Selesai makan, Chua menumpuk piring, gelas dan wadah buat dicuci. Selagi Chua sedang cuci piring, gue bantu membersihkan meja makan. Gue menoleh ke belakang, Chua lagi asyik menggosok penggorengan sesekali bersenandung kecil. "Wa, abis cuci piring, bikinin gue teh ya." kata gue dari pintu dapur. Chua masih nyanyi dan memunggungi gue. Gue lihat Chua mengangkat sebelah tangannya, lalu menunjukkan satu ibu jarinya sebagai tanda, "Oke." Gue jalan ke balkon lalu mendorong pintunya. Begitu pintunya terbuka, angin langsung menyapa. Gue bersandar, memandangi gedung-gedung tinggi dari tempat gue berdiri. Sekitar sepuluh menit gue berdiri di balkon, gue denger dari belakang suara langkah kaki seseorang. Gue menoleh sebentar, di belakang gue udah ada Chua lagi pegang cangkir. "Nih," katanya, lalu menyodorkan cangkirnya ke gue. Gue menerimanya. "Makasih." Dia mengangguk, siap-siap pergi tidur kayaknya. "Wa..." panggil gue pelan. Chua membalikkan badan dan menatap gue dengan kerutan di dahi. "Apaan?" tanyanya. "Lo udah mau tidur?" tanya gue. Chua menggeleng. "Nggak sih." jawabnya, terus jalan mendekat. "Kenapa?" dia berdiri di samping gue sekarang. "Temenin gue ngobrol." Chua nggak membantah atau pun protes waktu gue minta ditemenin ngobrol. Kita berdiri hadap-hadapan. Dia bersandar ke pintu kanan, sedangkan gue di kiri. Gue melirik Chua sebentar, dia barusan nguap cukup lebar.  "Katanya nggak ngantuk," gue menatap Chua datar. Niatnya pengin jahilin, tapi gue nggak jago ngajak orang bercanda. "Kena anginnya, mendadak gue jadi pengin tidur." Gue mengangguk, nggak memperpanjang niatan gue buat ngajak Chua bercanda. Gimana ya, bagi gue, dia itu orang asing. Tapi cewek ini, biarpun cuma kenal sama gue dari pertemuan-pertemuan nggak sengaja kita—sampe akhirnya dia tinggal bareng sama gue, Chua nggak pernah kelihatan canggung atau pun kagok. Malah gue yang kayaknya suka canggung sendiri. Chua emang beda dari yang lain. "Ngapain lo berdiri di sini? Cari angin apa gimana?" Chua menarik punggungnya dan menatap gue beberapa detik. "Cari angin." "Hawa-hawanya lagi galau lo." cerocos Chua. Gue senyum kecut. Mau bilang sok tahu, tapi emang iya. Chua bener. "Mikirin Lomi-Lomi tadi, ya?" Chua menarik dirinya dari sandaran pintu lalu berdiri di samping gue. "Nggak tahu." jawab gue, males. "Lomi cantik, ya," gumam Chua meletakkan tangannya di atas pagar balkon. "Lo berharap gue puji lo lebih cantik dari Lomi?" gue melotot, Chua mendengus. "Gue sadar diri kali!" katanya, lalu menyenggol pinggang gue. "Kayaknya, Lomi satu-satunya cewek cantik yang pernah gue temuin." Chua mulai cengengesan. Gue mendadak diam. "Lo nggak penasaran sama Lomi?" gue menoleh ke samping, menatap Chua. "Buat apaan?" dia sempat noleh ke gue, tapi nggak lama balik menatap jalanan di bawah. "Biasanya orang-orang suka penasaran sama cerita orang lain." gumam gue melirik Chua. Chua menarik tangannya dari pagar balkon lalu menyilangkannya di depan d**a. "Gue bukan salah satu orang dari yang lo maksud." dia mendengus, kemudian meletakkan tangannya di atas pagar lagi. Gue jadi memandangi Chua. Jujur aja sih, waktu kemaren-kemaren gue sempet nggak suka sama Chua—dan berharap kita nggak ketemu lagi. Tapi, setelah gue mengenali Chua cuma dalam sehari, gue baru tahu kalau Chua tuh anaknya lebih dari cuek. Dia nggak nanya-nanya yang bagi gue sangat privasi. Tiap gue suruh, Chua nggak pernah protes atau pun membantah. Malah gue bingung kenapa Chua nggak nanya alasan gue mengakui dia sebagai calon di depan Lomi. Bayangan gue, Chua tuh pasti riweuh. Bakal maksa-maksa minta penjelasan kenapa dengan seenaknya gue bilang kalau dia calon gue di depan Lomi sama Endra. Kalau itu cewek lain, cuma ada dua pilihan: pertama, geer. Kedua, bakalan marah atau bakal berakhir gue ditampar. Tapi ternyata nggak. Chua santai banget. Nggak nanya apa pun. Waktu kita sampai, dia cuma nanya mau makan malam pake apaan. Pas udah gue jawab, dia cuma bilang, "Ya udah." bener-bener nggak ada percakapan lain lagi. Membahas ke sana aja nggak. "Lo anaknya emang gini ya, Wa?" Chua menegakkan badan. "Gini, gimana?" kepala cewek itu menunduk memandangi penampilannya sendiri. "Cuek, maksud gue," gue mendengus, kemudian jalan ke ambang pintu. "Masuk aja, Wa. Lama-lama dingin ternyata." "Oh." Lihat, kan? Reaksi dia cuma 'oh' doang. Chua menyusul gue masuk ke dalam, tapi kita masih berdiri di dekat pintu balkon yang udah gue tutup. Dia menyandarkan kepalanya ke pintu, memandangi gue dengan mata hitamnya. "Lo tadi bilang apaan, Kka?" tanya Chua masih menyandarkan kepalanya. "Lo, anaknya cuek gini emang?" ulang gue. Kedua tangan gue lipat di depan d**a menunggu jawaban Chua. Cewek itu diam selama beberapa detik, ekspresinya kelihatan biasa-biasa aja. "Iya." jawab Chua pendek. Gue mengangguk kecil, lantas mendorong kacamata gue yang agak turun. "Kenapa sih? Kok lo jadi nanya-nanya gue mulu?" dari nada bicaranya mirip kayak orang protes. Mungkin dia juga bingung kali ya. Kita berakhir diam. Gue sibuk sama banyak hal di kepala, sedangkan Chua kayak lagi menunggu jawaban gue. Gimana ya, kadang gue suka heran sama diri sendiri. Gue cakep, tapi kenapa cuma sekali doang pacaran? Iya. Lomi pacar pertama sekaligus terakhir. Nggak tahu kenapa gue nggak pernah tertarik lagi sama cewek selain Lomi. Apa gue salah satu orang yang masuk dalam istilah 'susah move on'? Jawabannya, nggak. Mau ditanyain berkali-kali pun, jawabannya masih sama. Gue nggak ada perasaan apa-apa lagi ke Lomi. Cuma, kadang gue suka kangen sama momen-momen dulu—tapi bukan berarti gue masih berharap sama dia. Gila aja. Masa gue berharap sama istri orang yang sebentar lagi lahiran. Nggak ya. Gue orangnya nggak banyak ngomong. Kalau nggak penting-penting banget, atau orang lain yang ngajak ngobrol duluan, gue milih diam. Gue tipe orang yang mudah canggung. Mau memulai obrolan, tapi gue bingung, takut salah ngomong ntar. "Wa..." gue panggil Chua pelan. "Hm," Chua menyahut, tapi fokus sama kuku-kuku tangannya. "Ayo, pacaran!" Mata Chua mengerjap. Bisa gue lihat dari tempat gue berdiri, bulu matanya naik-turun. Cewek itu menegakkan badan. Kepalanya sedikit terangkat menatap gue tanpa ekspresi. "Mabok angin lo?" Chua berdecak, "Gue kerokin aja, Kka. Mau nggak?" Gue hampir aja nyengir gara-gara jawaban dia. Harusnya dia seneng dong, exited gitu diajak pacaran sama cowok cakep kayak gue. Ini malah ngira gue masuk angin. "Lo butuh objek buat bikin novel, kan?" Chua mengangguk. Sumpah, ekspresinya kayak orang bodoh. "Ya udah, ayo." "Ke mana? Kan udah malam, Kka," "Ayo, pacaran sama gue." kata gue, mulai gemas sendiri. "Pacaran pura-pura?" dia menaikan sebelah alisnya. "Nggak." jawab gue, tegas. "Gue nggak suka pura-pura." Lagi-lagi Chua diam dan memandangi gue dengan ekspresi bingung. "Lo mendadak suka sama gue apa gimana?" "Nggak." jawab gue lagi. "Lo, lo juga nggak suka sama gue, kan?" "Iya." Chua mengangguk cepat. Sialan! Dia menjawab seyakin itu. Nggak pake mikir lama-lama pas dia bilang iya. "Karena lo nggak suka sama gue, gue pun iya. Makanya gue ngajak lo pacaran." gue bilang begini santai banget kayaknya. Chua menggaruk kepalanya. Kelihatan dia masih bingung. "Lah, gimana sih? Di mana-mana tuh orang pacaran karena saling sayang, suka satu sama lain. Nah, lo ngajak gue pacaran karena kita sama-sama nggak suka." "Karena gue yakin lo nggak bakalan bikin gue ribet nantinya." Cewek kayak Chua jarang gue temuin. Gue yakin kalau kita pacaran, Chua nggak bakalan jadi pacar super nyebelin. Posesif, suka ngatur. Kelihatan dari dia ngomong, bersikap, Chua kelewatan cuek. "Kita bisa saling bantu," gumam gue. "Gimana? Lo mau, nggak?" "Oke." Chua menjentikkan jarinya. Dia bilang oke sesantai itu. Gayanya itu, lho, sengak banget. Normalnya, orang-orang yang barusan jadian bakalan pelukan, pegangan tangan, atau nggak, saling senyum malu-malu. Kita mah beda. Chua juga kayaknya nggak sesemangat pas dia godain gue waktu pertama kali kita ketemu. "Kka..." Chua memanggil gue. Gue mendongak, "Apa?" Chua memiringkan kepalanya, cewek itu bergumam. "Biasanya, orang kalau abis jadian... ngapain?" Pertanyaan dia bikin gue pengin nyengir. Antara polos sama b**o kadang beda tipis emang. "Sini..." gue memberi isyarat agar dia mendekat, "Sinian...," Dia beneran menuruti apa yang gue bilang. Chua menarik dirinya dari pintu, terus jalan mendekat ke gue. "Majuan," kata gue. Chua maju tanpa nanya atau pun curiga sama gue. Dia nggak takut gue apa-apain. Gue sama Chua berdiri berhadapan. Chua sedikit mendongak, kelihatan banget lagi menunggu apa yang bakal gue lakuin ke dia. Cup. Mata Chua membeliak, tapi nggak mengeluarkan suara apa pun. Gue cuma cium Chua di kening. Seriusan. Asli, gue canggung banget sekarang. Melihat Chua yang cuma kedap-kedip kayak orang syok, gue membalikkan badan lalu berjalan meninggalkan Chua sendiri. Gue yakin sebentar lagi dia bakalan maki-maki gue. Lihat aja. Nggak ada tanda-tanda kehidupan sampai gue berdiri di depan kamar. "LAKKAAAA, CIUM LAGI DONG!" Anjir! Gue sampe kesandung keset gara-gara teriakan Chua. Bukan karena suara Chua yang cempreng. Tapi, kalimatnya. "OH, GINI RASANYA DICIUM COWOK, YA? KKA, TANGGUNG JAWAB SINI. GUE KETAGIHAN!" Seketika gue menyesal ngajak Chua pacaran. Seriusan. Reaksinya nggak sama kayak ada di bayangan gue.  Chua... cewek ini, astaga!  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD