Bimbang

2503 Words
Lakka: Bimbang Pikiran gue lagi ke mana-mana. Sebentar gue memikirkan Chua yang bakal gue tinggal di Bandung, tapi menit berikutnya gue sibuk memikirkan bagaimana reaksi keluarga gue nantinya kalau tahu di sini gue punya pacar, padahal gue udah dijodohin sama salah satu anak temannya. Sebelum ketemu Chua, gue udah menolak untuk dijodohin. Mau cewek itu cantik kek, masih muda kek, nyatanya gue emang nggak tertarik dan nggak akan pernah. Sebagai anak tertua di keluarga, Papa sama Mama seolah mengandalkan gue dalam semua hal. Mulai dari pendidikan, karier, dan segala t***k bengeknya. Dari dulu gue anak yang penurut. Kalau Papa bilang A, gue juga bakal A. Kalau Papa nyuruh gue ambil jalan B, gue pun mengiakan tanpa membantah. Gue menuruti semua kemauan Papa. Waktu gue masih SMA, gue pengin jadi diri gue sendiri. Maunya nggak diatur-atur lagi, gue berharap bisa mengambil jurusan yang gue mau saat kuliah nanti. Tapi, nggak tahunya Papa minta gue ambil jurusan bisnis. Dan mau nggak mau gue mengiakan. Gue sampe dipindahin kuliah ke Bandung supaya Papa sama Mama bisa ngawasin gue. Takut gue cuma main-main. Selesai mengambil jurusan yang mereka mau, gue pun lulus dengan hasil cukup memuaskan. Gue emang bukan tipe orang yang pinter banget, apa lagi sampe bisa disebut jenius. Nggak. Gue biasa-biasa aja, cuma, apa aja yang gue kerjakan, gue selalu berusaha semaksimal mungkin supaya nggak mengecewakan. Lulus kuliah gue langsung kerja di perusahaan keluarga. Papa kelihatan cukup puas sama hasil pekerjaan gue di kantor. Sampai akhirnya, di tahun ketiga gue kerja sebagai orang kantoran, gue merasa jenuh dan bosen. Yang dilakukan setiap harinya selalu gitu mulu, gitu lagi. Bangun pagi, pergi mandi, sarapan, berangkat kerja, seharian berkutat dengan layar komputer, map dan kawan-kawannya. Bosen, kan? Iya, maka dari itu gue memutuskan untuk berhenti. Gue nggak mau didikte lagi. Gue capek. Reaksi Papa waktu gue bilang mau berhenti, jelas Papa marah, hampir memukul gue karena kelihatan kesal banget. Gue yang dia andelin agar bisa menggantikannya kelak malah memutuskan untuk jadi orang yang lebih bebas melakukan apa pun yang gue mau. Mama berusaha membujuk gue berulangkali, dan gue tetap pada pendirian awal. Gue mau jadi diri gue sendiri. Untuk jadi diri sendiri, memilih jalan hidup sendiri, bukan berarti jadi anak durhaka, kan? Gue bisa membahagiakan orangtua gue dengan cara lain. Nggak harus menuruti mereka—yang justru bikin gue merasa tertekan. Di masa-masa tersulit gue mengambil keputusan itu, ada Oma sama Lucky yang mendampingi gue, selalu memberi suport dan kata-kata yang bisa jadi obat manjur di kala gue merasa sendiri. Akhirnya, Papa membiarkan gue memilih jalan hidup yang gue mau, dengan catatan, gue nggak boleh kembali ke rumah sebelum gue sukses. Gue iyain. Gue percaya kalau suatu hari nanti bisa bikin bangga walaupun nggak sejalan sama kayak yang Papa mau. Dan, mengenai perjodohan itu... bahkan masalah itu udah dibahas dari masa kuliah, cuma gue nggak mau ambil pusing. Lagi pula si cewek yang mau dijodohin sama gue sibuk mengejar pendidikannya kok. Sekali doang gue ketemu, itu pun cuma sebentar karena cewek itu buru-buru pergi, padahal gue baru lihat sekilas doang. "Muka lo kenapa sedih gitu, sih?" Chua mencolek lengan gue, kemudian mengambil duduk di kursi samping. Chua jauh lebih baik. Cewek gue ini emang tahan banting kayaknya. Sakitnya nggak bisa lama-lama. "Mau sarapan sekarang?" tanya gue sambil menepuk puncak kepalanya. Dia memandangi gue heran. Mungkin gue terlalu soft di mata dia sekarang. "Kka, kok lo serem sih." gue cuma tersenyum kecil dan meninggalkan Chua ke dapur. "Udah mendingan lo, Kak?" gue mendengar Lucky bergabung di meja makan. Dia keluar kamar pasti cuma mau cari makanan doang. "Iya." Chua mengangguk, menggigit tempe goreng di tangannya. Gue keluar dapur membawa piring, sendok, dan gelas ke meja makan. Lucky duduk di kursi depan. "Kaki lo, Ky," peringat gue ke Lucky. Cowok itu menaikkan kedua kakinya. "Ini bukan lagi di warung." "Sori, Bang," Lucky menanggapinya cengengesan. Pagi ini gue mengambil alih tugas dapur. Chua masih nggak enak badan, nggak tega kalau membiarkan cewek itu memasak padahal badannya masih lemes. "Gue ambilin aja," lagi-lagi gue bersikap lembut sama Chua, tanpa sadar. Kayak gerak sendiri gitu. "Lo mau pake apa?" tanya gue, tapi dia nggak segera menjawab. Lucky cekikikan. Gue menoleh ke Chua yang kelihatan bengong. "Lagi baik-baikkin lo, Kak," dagu Lucky naik-turun menunjuk gue. "Dia mau ke Bandung soalnya," Sontak Chua menatap gue dengan mata yang melebar. "Bandung? Pulang kampung?" gue mengiakan, jari-jari gue refleks mengusap ujung mata Chua. "Iya." jawab gue pendek. "Nggak apa-apa, kan?" Chua belum memberi respons. Sebenarnya gue takut kalau seandainya Chua bakal ngambek, atau marah karena harus gue tinggal ke Bandung. Dan, lagi-lagi gue dibuat terkejut sama cewek gue ini. "Apa sih, Kka!" cewek itu menyenggol lengan gue sambil tertawa. "Ya kalau lo mau pulang kampung, ya udah. Nggak usah pasang muka sedih gitu, ah. Seakan-akan lo nggak bakal balik lagi." Keinginan gue untuk punya pacar super santai dan jauh dari tipe pencemburu, pengin gue musnahin aja sekarang. Punya pacar kelewat santai macem Chua bikin gue kecewa. Nggak bisa gitu dia ngelarang gue bentaran aja, atau paling nggak, dia minta gue buat tinggal lebih lama lagi di samping dia. Gimana kalau seandainya gue nggak boleh balik lagi ke Jakarta? Gimana kalau seandainya kita nggak bisa ketemu lagi dalam waktu lama, atau paling parahnya ini pertemuan terakhir kita? "Serem lo, Bang!" seru Lucky berusaha mencairkan suasana dengan suara kekehannya. "Berangkat aja sih, ada gue yang siap jagain Kak Chua selama lo nggak ada." "Nggak usah dijagain juga nggak apa-apa," sahut Chua, cewek itu menyendokkan nasi ke dalam mulutnya. Gue tahu Lucky sekarang sedang memperhatikan gue sama Chua. Gue tahu dia kayak ikut kepikiran walaupun sejak tadi dia cengengesan. Mungkin, kalau orang luar yang nggak terlalu mengenal gue sama Lucky, bakal mikir kalau kita berdua tuh nggak akur. Lucky punya tingkah nyebelin, doyan ngelawak, cengengesan, sedangkan gue orangnya nggak banyak ngomong dan suka sebel setiap kali Lucky ngelawak sama candaan garingnya. Tapi, di balik itu, gue sama Lucky jelas saling menyayangi, merawat, dan memperhatikan satu sama lain dengan cara kita masing-masing. "Bukan cuma gue aja yang bersedia jagain pacar lo," Lucky bergumam menatap gue sejenak, "Ada Aree, tuh." setelahnya, Lucky ketawa cekikikan. Aree... ah, temennya Lucky yang pernah ngajakin Chua kenalan itu? "Ya nggak apa-apa, malah lebih bagus kalau banyak yang jagain dia." kata gue menoyor kepala Chua. "Asal jangan dikerdusin aja." Chua mendelik, Lucky nggak ada capeknya ketawa, heran. Punya adek kok ya receh banget. *** Mungkin ini terdengar berlebihan. Tapi gue memang sedang merasakannya. Jauh-jauhan sama pacar ternyata nggak enak. Gue biasa bareng-bareng Chua, apa-apa selalu diperhatiin, dimasakkin apa pun yang pengin gue makan, diajak bercanda biarpun kadang cuma gue lihatin doang. Tiga jam yang lalu gue baru nyampek Bandung. Badan pegel-pegel rasanya. Penginnya nyampek sini langsung ketemu sama Papa dan Mama gue untuk menjelaskan foto yang dikirim Lucky ke dalam grup keluarga supaya masalahnya cepat selesai dan gue bisa balik ke Jakarta sesegera mungkin. "Kka..." Gue mengubah posisi tiduran jadi duduk bersandar ke kepala ranjang. Oma ada di ambang pintu sedang menyapa gue sama senyuman hangatnya. Oma memang yang terbaik. Baru nyampek, perasaan lagi ruwet, lihat Oma senyum, capek gue langsung hilang. "Kangen banget sama cucu Oma ini," Oma menghampiri dan memeluk gue dengan sayang. "Aduh, lama nggak ketemu kamu tambah cakep. Gemukan lagi," kata Oma menangkup pipi gue gemas. "Di sana gimana, Kka? Baik-baik aja, kan? Lucky juga, anak itu nggak ngerepotin kamu kan, Kka?" Seperti biasa Oma selalu cerewet, nanyanya suka barengan sampe bikin gue bingung mau jawab yang mana duluan. "Aku sama Lucky baik-baik aja, Oma..." Oma masih menangkup pipi gue, menggerakkannya ke kanan lalu ke kiri. "Ada yang beda," gumam Oma. "Kamu lebih kelihatan seger sekarang," goda Oma mengerlingkan sebelah matanya genit. "Karena cewek itu ya..." tunjuk Oma ke hidung gue sembari terkekeh. Gue mengangguk-angguk, mengiakan kata-kata Oma. Wanita tua itu tampak terkekeh kemudian memeluk gue penuh kehangatan. "Aduh..." keluhnya, "Oma jadi penasaran sama ceweknya kayak gimana sampe bikin kamu nyengir selebar cengiran Lucky," kata Oma meledek gue. Oma melepaskan pelukannya. Nggak henti-hentinya Oma menggoda gue dan menanyakan soal pacar gue di Jakarta. Oma cerita kalau Mama sama Papa gue mendadak heboh pagi-pagi karena kiriman foto di grup keluarga. Gue mendengarkan Oma mengenai reaksi kedua orangtua gue kayaknya marah, malahan Oma bilang, Papa berniat mempercepat perjodohan gue. "Oma..." gue tahu, untuk merengek di usia setua gue emang udah nggak cocok. Tapi ini udah hal lumrah buat gue sama Oma. "Aku ke sini bukan buat mempercepat perjodohannya." gue menghela napas panjang, pandangan gue turun memandangi gaun biru Oma yang menjuntai hingga ke pergelangan kakinya. "Aku mau bilang kalau aku nggak mau menuruti mereka lagi. Aku udah dewasa, Oma, aku bisa menentukan siapa pilihan aku di masa depan." Oma mengajak gue duduk di tepi ranjang. "Kayaknya, kamu sayang banget sama pacar, ya," kata Oma diselingi kekehan ringan. Sayang? Ayolah, buat sayang sama cewek kayak Chua nggak bakalan susah. Asal lo benee-bener mau mengenali Chua lebih dalam, lebih dekat lagi supaya lo tahu sebaik apa Chua. Walaupun kesan pertama gue nggak terlalu baik, nyatanya untuk menyayangi Chua nggak butuh waktu yang lama. Yang gue rasain sekarang bukan cuma sayang, tapi membutuhkan. Seolah gue bergantung sama cewek itu. "Lebih dari sayang kayaknya," kekeh Oma mengelus rambut gue dengan sayang. "Kapan-kapan kenalin ke Oma, ya." kata Oma kelihatan antusias, gue mengangguk. *** "Halo, Ky," "Kenapa, Bang? Kak Chua, ya? Kak Chua—" "Nggak." gue menarik napas panjang. Di seberang sana Lucky melakukan hal yang sama kayak yang gue lakuin. Lucky pasti tahu kenapa reaksi gue kayak gini. "Gimana, Bang?" tanya Lucky, suaranya agak bisik-bisik. "Bentar, Bang, bentar," terdengar suara grasak-grusuk di sana, nggak lama gue mendengar Lucky berteriak kepada seseorang. "Jagain cewek Abang gue yang bener! Berani ngerdusin Kak Chua, gue kempesin ban motor lo besok!" Kayaknya bukan cuma Lucky doang yang ada di apartemen gue, deh. Karena setelah adek gue berteriak dengan nada mengancam, ada suara deep yang menyahut. Gue tahu, itu pasti Aree. "Jadi, gimana, Bang?" Hening. Gue sama sekali belum bersuara kecuali menghela napas panjang beberapa kali. Nggak ada suara cekikikan, ledekkan, apa lagi candaan garing Lucky yang biasa gue dengar. Untuk sekarang, gue merasa punya satu pemikiran sama Lucky. Ini pertama kalinya. "Mama sama Papa nyuruh lo putus, ya?" tanyanya, terdengar ragu-ragu. Gue mengusap wajah gue kasar, kemudian berjalan menuju ke balkon. "Nggak," jawab gue, lesu. "SERIUSAN, BANG?" Sontak gue menjauhkan ponsel dari telinga, suara Lucky nyaring, sumpah. "TERUS MASALAHNYA APA, BANG? KAN NGGAK DISURUH PUTUS!" lagi-lagi Lucky berteriak nyaring. Setelah makan malam tadi, Mama sama Papa, juga Oma mengajak gue mengobrol di ruang keluarga. Iya, mereka membahas soal foto kiriman Lucky yang menurut mereka nggak pantas. Oke, gue akuin memang iya. Foto itu kelihatan... intim, eh? Waktu Mama menyodorkan ponselnya untuk memperlihatkan foto yang berhasil membuat heboh satu rumah—gue mendelik, tapi nggak lama memasang wajah sedatar mungkin. Dalam hati gue memaki Lucky yang berani-beraninya mengirim foto gue sama Chua dalam posisi yang bisa bikin orang salahpaham kalau lihat. Gue ingat, semalam gue sama Chua tidur di bawah beralaskan kasur lantai tipis. Kita ngobrol sebelum tidur, Chua sesekali mengoceh random. Nggak lama, gue nyuruh dia tidur, kemudian menarik Chua ke dalam pelukan gue. Tolong dicatat. Cuma—pelukan! Walaupun gue sama Chua tinggal satu atap, kadang berbagi kamar, gue sama Chua nggak pernah ngapa-ngapain selain pelukkan. Gue juga nggak pernah ada niat aneh-aneh sama Chua. Karena, mana mungkin gue merusak cewek yang gue sayang, sih? Bikin dia lecet dikit aja gue nggak berani. Mama dan Papa nggak berhenti memborbardir gue dengan pertanyaan yang itu-itu aja. "Cewek itu siapa? Pacar kamu? Kalian tinggal bareng?" Demi kebaikkan gue sama Chua, gue lebih memilih mencari aman untuk bilang gue sama Chua nggak mungkin tinggal bareng. Selain demi keberlangsungan hubungan gue sama Chua, ini juga demi Chua. Gue nggak mau kalau Mama sama Papa gue jadi mikir aneh-aneh tentang Chua cuma karena kita tinggal satu atap. Oma memandangi gue, sesekali mengangguk seolah memberi syarat agar gue nggak terlalu tersulut sama emosi. Karena jelas, ini bakal dijadiin alasan gue sama Chua putus. Kalau gue memberontak dengan cara kasar, Mama sama Papa otomatis akan mengira ini pengaruh buruk dari Chua. Nggak, gue nggak mau kayak gitu. Mereka harus mengenali Chua lebih dulu sebelum berkomentar. "Kamu tahu, kamu sudah Papa jodohkan." kata Papa menatap gue tajam. "Mama nggak mau kamu salah pilih perempuan, Kka..." tambah Mama dengan tatapan sendu. Gue berusaha diam saat itu, menuruti segala isyarat yang Oma beri ke gue lewat tatapan matanya. Gue harus lebih bersabar lagi, ya, gue harus. "Papa udah turuti kemauan kamu untuk memilih jalan kamu sendiri," gumam Papa dengan suara yang mulai melunak. "Sekarang, Papa minta kamu menuruti kemauan Papa. Apa itu susah, Kka? Kamu ini anak tertua di keluarga ini, kamu harapan Pa—" "Papa," sela gue dengan suara setenang mungkin. "Jangan ngomong seolah-olah cuma aku anak Papa sama Mama. Gimana sama Lucky?" Nggak. Gue menatap kesal kedua orangtua gue murni untuk membela Lucky. Mereka selalu aja bilang kayak gitu berulang-ulang, seolah cuma gue anak mereka. Kalau dulu Lucky cuma diam lalu pergi ke kamarnya, sekarang nggak lagi. Lucky bukan anak kecil yang bakal mengangguk setiap kali Papa dan Mama menjunjung gue tinggi, memuji gue di depan keluarga, padahal masih ada Lucky—yang mungkin aja merasa nggak dianggap. Apa kurangnya Lucky? Bahkan adek gue itu mau-maunya menuruti kemauan Papa. Lucky anak yang penurut. "Kka, Papa sedang membahas kamu." "Iya, aku tahu, Pa..." gumam gue, setengah menunduk. "Kamu udah kenal lama sama pacar kamu?" tanya Papa. "Aku sama dia baru dua bulan pacaran." jawab gue. Papa menghela napas sejenak, gue menunggu apa yang akan keluar dari mulut Papa gue. "Oke, Papa akan kasih kamu kelonggaran." Gue, Mama sama Oma kompak memandangi Papa bingung. Mama kelihatan mau protes, Oma memasang telinga lebar-lebar seakan tidak ingin ketinggalan satu kata pun yang akan keluar dari Papa. "Dua tahun." Papa menghela napas, "Papa kasih kamu waktu dua tahun dari sekarang. Tapi, setelah itu... kamu harus putus sama pacar kamu dan kembali ke Bandung untuk menikah dengan pilihan Papa." Sebentar, gue mau menghirup udara sebanyak-banyaknya lebih dulu. Mendadak aja d**a gue sesak sekaligus lega secara bersamaan. Gue lega karena Papa mengizinkan gue tetap mempertahankan Chua—tapi, cuma dua tahun. Iya, hal yang bikin gue sesak napas adalah waktu yang ditentukan Papa. Gila aja. Gue baru dua bulan pacaran sama Chua aja bisa sesayang ini. Gimana gue menghabiskan waktu selama itu bareng Chua? Membayangkan gue sama Chua putus, rasanya d**a gue sesak. Jantung gue udah ambyaaar. "Kamu setuju, Kka?" Papa mencondongkan tubuhnya, mata tuanya menatap gue penuh harap. "Kamu bisa menikmati masa-masa indah sama pacarmu, tapi ingat, cuma dua tahun." Gue memandang Oma nelangsa yang duduk di sofa single di ujung sana. Rasanya gue pengin marah, memberontak, tapi gue nggak bisa. Karena nggak bakal menyelesaikan juga, yang ada malah bikin tambah pusing. "Dan, satu lagi," Papa mengangkat satu jarinya. "Kamu nggak Papa perbolehkan kembali ke Jakarta sebelum menyelesaikan tugas dari Papa," Ini apa lagi, ya ampun! "Papa kasih waktu kamu menyelesaikan masalah di kantor, setelah semua clear, kamu boleh kembali ke Jakarta. Papa nggak akan usik kamu sampai dua tahun ke depan. Gimana?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD