“What?”
Abila tidak bisa menutupi reaksi terkejutnya setelah mendengarkan cerita dari Denallie. Pertemuan malam itu dan pembahasan yang menyebabkan gelauannya sampai hari ini. Denallie ingin menyimpannya sendiri tanpa mau berceria dengan orang lain selain Felicia, tapi kenyataannya ia butuh Abila sebagai teman cerita. Dan reaksi temannya itu sesuai dengan dugaannya.
“Ya ampun, jadi dunia ini sempit benar-benar terjadi di kamu. Sekian banyak cowok di dunia ini, anaknya Pak Petra adalah Gentala?”
Denallie menghela napas pelan, diiringi anggukan lemah. Dua hari ini ia benar-benar tidak b*******h, bahkan nafsu makannya menghilang serta sulit tidur. Bekerja dengan perasaan gundah yang berusaha disembunyikan. Namun, pada akhirnya ia menyerah.
“Bil, aku harus gimana? Posisiku bener-bener sulit padahal aku sudah kasih jawaban ke Pak Petra. Tapi justru makin buat aku nggak tenang.”
“Aku ngerti banget posisi kamu, Na. Tapi sabar ya, biar aku cerna dulu. Kalau ditanya pendapat, aku nggak mau gegabah jawabnya,” balas Abila.
Minuman bersoda dalam kemasan kaleng pemberian Abila diteguk oleh Denallie. Rasanya dingin dan segar. Sedikit membantu meredakan pikirannya yang kacau.
Sementara itu, Abila nampak berpikir keras. Dua alisnya tertaut dengan tatapan menerawang. Suasana di kamar kos Denallie mendadak hening dan hanya terdengar suara kipas angin yang berputar lambat.
“Kamu sudah yakin sama Jiro? Maksudku, kamu mempertahankan dia, apa dia juga mempejuangkan kamu?”
“Hah? Apa sih Bil, kok aku nggak ngerti sama pertanyaan kamu?” tanya Denallie bingung.
“Jadi gini,” Abila mengambil posisi kaki bersila di lantai. Raut wajahnya semakin serius dan matanya fokus melihat temannya yang duduk di hadapannya. “Kamu ngaku sudah punya pacar dan itu artinya kamu yakin sama Jiro. Apa yang buat kamu seyakin itu? Apa Jiro melakukan hal yang luar biasa selama kalian pacaran?”
“Hal luar biasa?” Denallie ikut berpikir, mengingat kebaikan apa yang laki-laki lakukan. “Yang dia lakuin, layaknya seorang pacar. Ngajak ketemu, makan, terus cerita tentang keseharian kami. Itu sudah cukup normal, kan?”
“Kamu puas sama semua itu?” tanya Abila. “Aku nanya begini karena aku tahu kalau selama ini dia cukup sedikit punya waktu buat kamu. Kalian sama-sama di Jakarta, tapi justru jarang ketemu. Dan satu lagi, sampai sekarang kamu nggak pernah cerita kalau dia sudah kenalin kamu ke keluarganya.”
Apa yang Abila katakan, sama seperti yang Lulu khawatirkan. Denallie kembali meneguk minumannya dengan cepat hingga tersedak. Abila segera mengambilkan tisu di atas meja dan memberikan kepada Denallie. Punggungnya ditepuk pelan oleh temannya demi membuatnya berhenti batuk.
“Ya ampun, kamu kayak anak kecil aja. Minum sampai tersedak begini, pelan-pelan, dong,” sindirnya namun khawatir.
Denallie mengusap sisa minuman yang membasahi bajunya. Kedua matanya sampai berkaca-kaca saking parahnya tersedak.
“Aku ini masih manusia biasa, Bil, jadi wajar terdesak pas lagi minum,” sahut Denallie.
“Oke, lupakan soal tersedak atau sejenisnya. Sekarang gimana menurut kamu soal pertanyaanku?”
“Yang kamu sebutin semua, menurutku nggak ada masalah. Selama aku dan Jiro saling menyayangi dan menjaga hati selama berjauhan, ya nggak apa-apa. Aku cukup senang dengan hubungan kami yang sekarang. Kalau kamu mau bandingin Jiro sama cowok m***m itu, jelas Jiro pilihanku,” jelas Denallie tegas.
Abila menghela napas pelan, lalu menepuk pundak Denallie. “Ya sudah, kalau kamu sudah sampai sama keputusan akhir, jangan galau lagi. Kalau Pak Petra masih berusaha buat menggoyahkan hati kamu, jawab aja nggak bisa. Beres, kan?”
“Tapi Bil …”
“Tapi apa?”
“Aku masih beban karena ngerasa harus balas budi sama keluarga Daneswara. Kalau aku nolak Gentala, jadi merasa nggak tahu diri.”
“Terus kamu maunya apa?”
“Aku mau Gentala juga nolak. Jadi Pak Petra nggak bisa nyudutin aku karena anaknya juga nggak mau.”
Abila menghela napas, heran dengan Denallie. “Ya sudah, tinggal ngomong sama Gentala buat bantu. Memangnya susah?”
“Masalahnya ngomong sama dia bikin capek hati dan pikiran. Dia itu terlalu menyebalkan buat diajak diskusi,” keluh Denallie.
“Ayolah, masa sama Gentala kamu kalah. Kalau niat, pasti bisa kok,” ujarnya. “Kecuali kamu masih ada perasaan berat buat nolak perjodohan ini,” sindir Abila.
Denallie memutar bola matanya karena kesal. “Nikah sama cowok speak devil begitu, ogah! Yang ada hidupku nggak bahagia.”
***
“Kamu lagi nggak enak badan ya? Aku perhatiin, makannya Cuma diicip-icip aja.”
Denallie menggeleng, dibarengi senyuman tipis. “Enggak kok, aku makan banyak, loh.”
“Bosan diajak makan di sini?”
“Sama sekali enggak. Aku nggak pernah bosan asal sama kamu,” jawabnya.
Tangan Jiro terulur ke depan, lalu mengisap lembut pipi Denallie. “Syukurlah. Aku jadi semangat buat ajak kamu makan.”
Malam ini, Denallie diajak pergi oleh Jiro setelah sekian lama tidak bertemu. Tentu saja wanitu itu antusias karena bisa melepas rindu. Kebetulan juga tidak ada jadwal nyanyi, sehingga momen ini dimanfaatkan dengan baik, setidaknya untuk mengalihkan pikirannya atas apa yang terjadi.
“Gimana kondisi Ibu kamu, aku lupa tanya soal kesehatannya.”
“Sudah membaik. Bisa dibilang nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Denallie.
Jiro meletakkan daging yang baru selesai dipanggang ke atas piring milik Denallie. Perhatian yang sulit wanita itu tolak. Hal ini membuatnya ingat dengan pertanyaan Abila dan Lulu mengenai keseriusan laki-laki di hadapannya. Jelas ini sudah cukup jadi bukti kalau Jiro laki-laki baik dan bertanggung jawab.
“Makasih,” ucap Denallie.
“Makan ya,” ujarnya. “Aku ikut senang kalau keadaan panti baik-baik saja. Apalagi dompet kamu juga sudah ketemu. Jadi nggak ada yang perlu kamu khawatirkan.”
Denallie mengangguk pelan. “Iya, kamu benar.”
“Dan maaf ya, Sayang. Aku terlalu sibuk dan jarang ada waktu buat kamu. Kerjaanku lagi padat, sampai-sampai aku juga kurang istirahat.”
“Enggak apa-apa, kita saling ngerti aja. Tapi kadang aku pingin ke apartemen kamu, setidaknya bawa makanan atau maska buat kamu. Kata kamu nggak usah, jadi aku nggak bisa meringankan beban kamu.”
Jira menyentuh punggung tangan Denallie, mengusap lembut dan menggenggamnya. “Aku nggak mau ngerepotin kamu, Dena. Cukup mengerti keadaanku, itu sudah lebih dari cukup.”
“Aku pasti ngerti, Jiro. Kamu pekerja keras dan semuanya untuk masa depan kita nanti. Iya kan?”
“Tentu. Untuk kebaikan kita bersama,” balas Jiro.
Hati Denallie benar-benar hangat mendengar kalimat sederhana namun bermaksa luar biasa. Malam ini ia bahagia sekali karena Jiro membuat hatinya menjadi tenang. Niatnya untuk menceritakan tentang keluarga Daneswara pun ia urungkan karena tidak mau merusak suasana. Denallie yakin, bisa menyelesaikan semuanya tanpa melibatkan Jiro. Ia sudah terbiasa menghadapi masalah dan menyelesaikannya sendiri. Jadi Jiro tidak perlu tahu tentang Gentala.
Selesai makan malam, Jiro mengantar Denallie pulang ke kos. Niatnya ingin pergi ke karaoke, tapi ternyata laki-laki itu harus menyelesaikan urusan di tempatnya bekerja dan tidak bisa ditunda. Denallie sedikit kecewa tapi ia juga mengerti kesibukan Jiro yang memang tidak bisa ditunda. Daripada kehilangan pekerjaan, lebih baik ia mengalah.
“Sayang, sekali lagi aku minta maaf, ya. Harusnya kita masih bisa pergi tapi kerjaan mendadak ini nggak bisa aku hindari.”
Denallie mengangguk, memegang datangan Jiro yang sedang membelai pipinya lembut. “Nggak apa-apa. Masih ada hari lain jadi kamu bisa kerja dengan tenang.”
“Padahal aku nggak mau lembur, tapi tetap aja diganggu.”
“Ya sudah, aku turun, ya. Makasih untuk waktu dan makan malamnya. Kamu hati-hati di jalan dan jangan lupa kabari aku kalau sudah sampai.”
Jiro mengangguk. “Iya, tenang saja.”
Denallie terdiam sejenak karena tangan Jiro masih memegang wajahnya. Saat perlahan laki-laki itu menggerakkan tangan ke leher lalu menarik kepalanya, Denallie hanya diam. Tidak menunggu lama, ciuman lembut Jiro berikan kepada Denallie. Lumatan kecil menimbulkan suara yang khas. Memberi sensasi berdebar yang sulit ditolak oleh wanita itu. Ciuman itu tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba terdengar suara telepon dari saku kemaja Jiro.
Jiro segera merogoh kantong kemeja untuk mengambil ponselnya. Setelah itu, dilihatnya layar benda pipih yang masih menyala dan bersuara.
“Siapa?”
“Enggak kok, ini teman aku yang ikut lembur,” jawabnya lalu memasukkan kembali ponsel ke saku kemeja. “Aku pergi sekarang ya, dia sendirian di kantor.”
Denallie mengangguk lalu membuka pintu mobil milik Jiro. “Hati-hati di jalan, ya.”
Mobil Jiro berlalu dari gang yang jalannya menuju kos Denallie. Ia berjalan pelan menuju tempat tinggalnya tanpa diantar oleh laki-laki itu. Padahal jalannya sepi dan sedikit gelap. Tetapi Denallie berusaha tidak mempermasalahkan hal ini meski sejak awal laki-laki itu memang tidak pernah mampir ke kosnya.
Pertanyaan tentang keseriusan Jiro kembali muncul. Denallie berusaha menepis dan tidak menghubungkannya dengan sikap pacarnya saat ini. Sikap Jiro selama ini sudah lebih dari cukup, membuktikan hubungan mereka memang serius.
“Bukan nggak perhatian, tapi gangnya memang sempit dan mobil nggak bisa masuk. Apalagi Jiro buru-buru, jadi nggak usah lebay, Na,” gumam Denallie kepada dirinya sendiri.