13. BICARA TENTANG JIRO

1442 Words
“Lipstikku berantakan nggak?” Abila menggeleng dengan kedua mata menyipit. “Enggak, selalu rapi dan cantik. Tapi kok tumben centil? Warna lipstiknya juga nggak kayak biasa. Baru, ya?” Pipi Denallie merona, tidak mampu menyembunyikan perasaan malunya. “Ini lipstik yang dibeli sama Jiro buat hadiah resminya kami pacaran. Dan sengaja jarang aku pakai, kecuali kalau mau ketemu Jiro,” tuturnya semringah. “Oh. Dan sekarang kamu ada janji sama dia?” “Iya, dia bilang mau ke sini,” jawab Denallie semangat. Abila mengedip ke arah Varo dan juga Sada. “Kalian berdua nggak niat kasih aku lipstik biar nggak kalah sama Dena?” “Minta sama pacar kamu, Bil. Aku sih nggak mau jadi donatur kecuali kita ada hubungan,” sahut Varo. Abila berdecis pelan. “Ya sudah, ayo pacaran biar aku bisa minta apa pun yang aku mau.” “Dih! Aku masih bisa cari cewek yang lebih normal dari kamu.” “Sialan!” sembur Abila. Terdengar dehaman keras yang bersumber dari Sada. Sejak tadi diam dengan fokus yang tertuju pada ponsel di tangan. “Sudah selesai debatnya? Waktunya kerja, jangan bercanda terus.” Tidak ada yang berani membantah jika laki-laki itu sudah bicara. Sada dengan wataknya yang keras dan tegas, sulit untuk diajak basa-basi. Bahkan sejak mereka berempat memutuskan untuk mencari penghasilan bersama, belum ada yang mampu meredam emosi Sada kecuali Denallie. Meski kadang takut, Denallie mencoba untuk mengendalikan jika memang Sada melakukan kesalahan. “Ya sudah, ayo siap-siap. Jangan telat dan buat mereka kecewa,” ujar Denallie. Seperti biasa, Purple selalu ramai akan pengunjung. Dari penglihatan Denallie, beberapa tamu yang datang masih dengan orang yang sama. Entah berapa banyak mereka memiliki uang untuk dihamburkan atau seberapa berat masalah sehingga mencari pelarian ke tempat ini. Tidak salah memang, tapi bagi Denallie, tempat terbaik untuk pulang disaat penuh beban adalah keluarga. Denallie dan diiringi teman-temannya membawakan beberapa lagu yang berbeda setiap harinya. Lebih banyak dari penyanyi luar negeri. Tujuannya agar pengunjung tidak bosan dan bisa menikmati apa yang mereka tampilkan. Melihat pengunjung menggoyangkan badan, ikut bernyanyi atau hanya menampakkan raut wajah senang, sudah cukup berarti bagi Denallie dan teman-temannya. Selama menyanyikan lagu, pandangan mata Denallie terus mencari keberadaan Jiro. Hampir 20 menit berlalu tapi tidak ada tanda-tanda akan kedatangan laki-laki itu. Denallie berusaha untuk santai dan berpikir positif, tapi suasana hatinya jadi terpengaruh sehingga beberapa kali salah nada. Alhasil ia mendapat delikan tajam dari Abila dan juga Sada. Sedangkan Varo hanya menggeleng akibat ketidakfokusan dirinya. “Kamu nggak fokus karena nyariin Jiro, iya kan?” tanya Abila. Denallie mengusap tengkuknya setelah selesai meneguk air putih. “Iya, maaf soal tadi. Janji nggak diulang lagi.” “Biasanya nggak kayak gini, kamu selalu profesional. Kangennya nggak bisa ditahan lagi?” sindir Sada. “Enggak kok, biasa aja. Tapi wajar kan kalau lama nggak ketemu terus tiba-tiba mau datang, jadi langsung happy dan excited.” “Kamu sudah dewasa, Na. Harusnya yang kayak gini nggak perlu kamu tonjolin,” ucap Sada ketus lalu pergi. Kedua mata Denallie terbelalak atas apa yang baru ia dengar. Kata-kata yang dilontarkan Sada sedikit melukai hatinya. Padahal ia tidak sering melakukan kesalahan sampai Sada tega berkata demikian. “Aku yang lagi sensitif atau Sada memang lebay?” tanya Denallie kapada Abila dan Varo. Abila menghela napas, lalu menepuk pundak Denallie. “Mungkin dia lagi pms, jadi nggak usah diambil hati. Lagian sudah biasa kalau mulutnya pedas kayak gitu.” “Mungkin dia suka sama kamu, Na. Jadi bocah itu cemburu karena Jiro mau datang ke sini.” Denallie memutar bola matanya. “Jangan mulai buat gosip baru, Ro. Tipe ceweknya Sada bukan kayak gue, jadi apa yang kamu dugar, semuanya nggak mungkin.” “Ya sudah, nggak usah ribut. Kalau sudah selesai, kita harus balik lagi,” ucap Abila. “Oh iya Na, jangan buat kesalahan lagi biar Sada nggak badmood. Oke?” “Oke, tenang saja.” Abila dan Varo pergi menyusul Sada, sedangkan Denallie masih minum air putih. Begitu selesai, ponsel yang ia simpan di atas meja tiba-tiba berdering. Denallie segera meraih benda pipih itu. Seketika terbit senyumnya yang begitu lebar karena nama Jiro muncul di layar ponsel sebagai penelepon. Tanpa menunggu lama, Denallie langsung menjawab. “Halo Jiro, kamu di mana?” Wajah Denallie yang awalnya semringah, perlahan berubah murung. Apa yang Jiro sampaikan membuat suasana hatinya menjadi buruk. Rasa senang dan bahagia karena bisa bertemu laki-laki itu lenyap seketika akibat Jiro membatalkan janjinya. Tidak ada yang bisa Denallie lakukan kecuali berpura-pura tidak marah. “Iya nggak apa-apa. Kalau memang ada urusan mendadak, aku bisa ngerti kok. Semoga cepat selesai, ya.” Begitu selesai bicara, Denallie menyimpan kembali ponselnya. Raut wajahnya muram, tidak seperti sebelumnya. Ia menarik napas panjang, lalu mengebuskan dengan kasar. Menahan diri untuk tetap tenang, demi menyelesaikan pekerjaan. “Nggak apa-apa, Na. Sudah biasa kan kalau Jiro sibuk. Ingat kata dia, semuanya demi masa depan kalian,” gumam Denallie menyemangati dirinya sendiri. Denallie kembali ke tempatnya bekerja. Ia mengatur mimik wajah dan suasana hati agar tetap baik. Tidak mau Sada marah karena tidak fokus bekerja apalagi disebebkan oleh Jiro. “Na, lihat ke arah jam 9. Calon suami kamu di sini,” bisik Abila. “Calon suami?” Denallie segera melihat ke arah yang dimaksud temannya. Jantungnya berdebar karena yang ada di pikirannya adalah Jiro. Tapi siapa sangka, yang dimaksud Abila adalah Gentala. Laki-laki itu tengah duduk sambil menikmati minuman. Bod0hnya masih mengharapkan Jiro yang jelas-jelas tidak akan datang. “Jangan bercanda kayak gini lagi, Bil. Nggak lucu tahu, nggak,” keluh Denallie. “Cie, kamu kira Jiro, ya?” Denallie menghela napas pelan. “Dia nggak jadi datang karena sibuk. Jadi nggak usah dibahas lagi ya.” “Yah, si nona manis ini jadi badmood. Yang sabar ya, kata aku sih, pilih yang pasti-pasti aja.” “Abila!” Begitu pekerjaan selesai, Denallie bersiap pulang ke kos. Malam ini ia akan diantar oleh Sada karena Varo mengantar Abila. Meski masih bersikap dingin, laki-laki itu tetap perhatian. Tidak tega melihat Denallie pulang dengan naik taksi atau ojek online. “Kalian hati-hati, ya,” ucap Abila kepada Denallie dan Sada. “Iya, kamu sama Varo juga. Kalau dia ngebut tinggal pukul kepalanya,” balas Denallie. “Sembarangan! Si butut nggak bisa ngebut. Dia pelan tapi pasti,” ujar Varo. Tiba-tiba Abila menyiku Denallie. “Eh, Na. Itu yang nyender di mobil, Gentala kan?” Denallie mengedarkan pandangan di area parkir yang tidak terlalu terang. Ia menemukan sosok Gentala yang sedang berdiri dan mengarahkan pandangan kepadanya. “Iya, memang dia.” “Kenapa dia masih di sini?” “Kamu kenal dia?” tanya Sada tiba-tiba. “Kenal. Dia anaknya Pak Petra, yang aku tolong sama Varo,” jawab Denallie. Varo kaget karena tidak diberitahu sebelumnya. “Dia anaknya Pak Petra, pengusaha yang kasih hadiah jam tangan buatku?” “Iya, dia anaknya,” gumam Denallie. Mereka berempat mendadak diam karena Gentala mendekat. Langkahnya tegap tapi terlihat santai. Aura Gentala memang mampu membuat orang yang melihat terintimidasi. Memaksa mereka untuk fokus kepadanya. “Selamat malam,” sapa Gentala. “Malam,” balas Abila dan Varo bersamaan, sedangkan Denallie dan Sada diam. Gentala tersenyum, lalu pandangan matanya tertuju kepada Denallie. “Saya ada perlu sama Denallie. Apa saya ganggu kalian?” “Ganggu! Kita mau pulang, capek habis kerja,” jawab Denallie ketus. “Saya bisa antar kamu setelah urusan selesai. Gimana?” Sada melangkah maju, mendekati Gentala. Raut wajahnya tegas dan serius. “Denallie pulang sama saya, jadi kalau memang ada urusan, sebaiknya besok saja. Nggak sopan ketemu orang jam segini, apalagi sama perempuan.” Bukannya tersinggung, Gentala justru kembali tersenyum dan bersikap tenang. “Maaf kalau saya kurang sopan. Kebetulan saya kerja dari pagi sampai malam, jadi baru bisa ke sini sekarang. Saya nunggu Denallie selesai kerja, baru saya ajak ngomong. Sebentar saja, ini cukup penting bagi dia.” “Penting? Memang ada urusan apa lagi?” tanya Denallie dengan suara ketus. “Makanya ikut saya.” Sada memegang tangan Denallie, bersiap untuk membawa pergi. “Denallie harus pulang sekarang, jadi buat janji besok saja.” Denallie diam saja ketika Sada menariknya agar menjauh dari Gentala. Meski lega karena ada alasan menghindar, tapi ia juga merasa penasaran. Gentala pasti tidak mau membuang-buang waktu untuk menunggunya sampai larut malam. Tetapi Denallie sudah terlanjur menolak, jadi gengsi kalau bicara lagi. “Ini tentang Jiro, Denallie. Saya ke sini mau kasih tahu sesuatu tentang pacar kamu.” Seketika Denallie menghentikan langkah kakinya. Tangannya yang dipegang oleh Sada, perlahan dilepaskan. Denallie memutar tubuhnya, lalu kembali melihat Gentala. Di luar dugaan, laki-laki itu tahu nama pacarnya. “Kenapa dengan Jiro? Tahu dari mana kamu soal dia?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD