2. MENOLAK BANTUAN

1566 Words
Aroma sedap mi goreng menguar memenuhi ruangan, memancing perut agar bersuara. Irisan cabai dan cantiknya telur mata sapi, menarik siapa pun yang melihat untuk mencicipi. Tetapi tidak berlaku bagi Denallie – si pemilik kamar kos. Ketika keadaan mengharuskannya berhemat, baik mi goreng atau mi rebus, sudah jadi makanan sehari-hari. Melihat Abila begitu semangat untuk menikmati makanan tersebut, ditanggapi biasa saja oleh Denallie. “Kamu nggak mau, Na?” tanya Abila. “Enggak. Aku tahu kamu pasti mau habisin mi itu sendirian.” “Bener, sih,” sahut Abila sambil tersenyum santai. Abila duduk di lantai, sedangkan Denallie berbaring di atas kasur. Kamar kos Dena cukup sempit, sehingga tidak ada kursi. Kasurnya di bawah tanpa dipan. Terdapat lemari kayu, itu pun hasil warisan penghuni kos lama. Untungnya ada dapur kecil, sehingga masih ada tempat untuk masak demi bisa berhemat. Minusnya, kamar mandinya di luar dan harus berbagi dengan penghuni kos lainnya. “Bil, memangnya nggak bosan makan mi terus setiap datang ke sini?” tanya Denallie heran. “Terus tujuan bawa sushi atau makanan enak yang lain ke sini, buat apa?” “Buat kamu, perbaikan gizi.” Andai Abila tidak sedang makan, sudah pasti Denallie melayangkan bantal ke teman baiknya itu. “Ya bagus, sih. Aku jadi bisa makan enak tanpa keluar duit.” Abila nampak lahap menyantap mi goreng dengan porsi jumbo. “Kamu tahu sendiri kalau mamiku suka marah kalau tahu anaknya makan mi. Nanti sakitlah, batuklah, usus buntulah. Pusing kalau dengar mami ngomel. Dikira aku anak kecil.” “Tapi tujuannya baik, Bil. Makan mi tiap hari nggak bagus buat kesehatan.” “Tapi kamu sendiri juga sering makan mi, Na. Stoknya selalu ada, nggak pernah kosong. Dan suara kamu tetap bagus dan tubuh kamu sehat. Jadi harusnya aku baik-baik aja.” Begitu menyelesaikan kalimatnya, wajah Abila menegang. Matanya menatap Denallie dengan tatapan bersalah. Ia benar-benar lupa menjaga perasaan temannya. “Na, jangan tersinggung, ya. Nggak ada maksud buat merendahkan kamu.” Denallie tersenyum geli. Lantas beranjak dari posisi berbaring. “Apaan, sih. Lebay banget.” Abila berdecak. “Bukan lebay, tapi aku takut nyakitin hati kamu.” “Santai saja. Kesabaranku untuk kamu, nggak akan setipis tisu dibagi dua,” sahutnya santai. Suasana kembali hening. Abila masih sibuk dengan mi gorengnya, sedangkan Denallie melamun dengan tatapan menerawang. Pandangannya tertuju pada gorden yang bergerak halus karena embusan angin. Kamarnya menjadi sejuk, meski tanpa ac. “Bil, bisa bantu aku nggak?” “Bantu apa?” tanya Abila dengan mulut penuh. “Cariin job tambahan. Aku lagi butuh uang yang banyak.” “Job tambahan? Uang yang banyak?” Abila nampak heran sekaligus berpikir. Sebagai gitaris sekaligus manajer band, tentu ia tahu semua jadwal pekerjaan mereka. Meski hanya manggung di kafe dan bar, tapi sangat mereka syukuri. Apalagi sudah ada tempat yang tetap menggunakan jasa mereka setiap minggunya. “Lah, liburnya Cuma sehari. Kamu mau ambil job apa lagi?” “Apa aja boleh, Bil. Job siang juga nggak apa-apa. Sendirian juga aku nggak masalah.” Kening Abila mengkerut, menatap temannya dengan curiga. “Kamu kelilit pinj0l? Atau jud0l?” “Ngawur!” Denallie menggeleng tegas. “Kamu tahu sendiri aku nggak pernah berani berutang. Bukan itu alasannya.” “Lalu?” Teringat kembali masalah yang menimpa keluarganya, raut wajah Denallie mendadak murung. “Aku harus cari uang yang banyak biar bisa bantu keuangan panti. Kami lagi ada masalah.” Mendengar apa yang Denallie katakan, Abila langsung meletakkan piring yang masih berisi mi goreng. Ia meneguk air putih, lalu mendekati temannya. “Ada apa dengan panti?” Denallie menceritakan apa yang tengah menimpa keluarganya. Bukan untuk meminta belas kasihan, tapi hanya ingin memberikan alasan kuat agar Abila bisa membantunya mencari pekerjaan tambahan. “Aku dan Feli sudah coba kirim proposal ke beberapa mantan donatur. Tapi mereka belum bisa bantu.” “Ya ampun, kenapa kalian harus mengalami hal ini?” gumam Abila sedih. “Bagaimana kalau aku minta bantuan papaku?” “Papa kamu?” Abila mengangguk. “Kita kasih tahu salah satu mahasiswanya mengenai keadaan panti. Siapa tahu hati mereka tergerak untuk mencarikan sumbangan. Atau minta tolong sama papaku saja.” Denallie menggeleng keras karena tidak setuju dengan saran Abila. Cara itu tidak ingin ia lakukan. Karena ia masih punya dua kaki dan dua tangan yang sehat untuk mencari pekerjaan. Merepotkan orang lain dengan mencari sumbangan, sungguh ia tidak tega. “Jangan, Bil. Aku kurang setuju dengan ide kamu,” ujarnya. “Untuk saat ini, kamu bantu aku cari job tambahan. Sambil aku dan Feli cari donatur yang sekiranya bisa membantu meski tidak banyak. Setidaknya untuk makan, adik-adikku cukup.” “Tapi sama saja kan, Na? Cari donatur untuk memberikan bantuan, atau minta sumbangan dari orang-orang.” Denallie menghela napas pelan. “Aku malu, Bil.” “Malu cari sumbangan?” “Bukan. Aku malu pada mereka yang jauh lebih membutuhkan bantuan,” jawabnya. “Kemarin, mendiang Pak Jimmy memang sangat kaya, makanya uangnya yang berlebih, diberikan ke panti secara rutin. Tapi mungkin prinsip anak serta cucunya sudah berbeda, hingga memutus bantuan ke panti.” Abila menghela napas, lalu mengangguk paham. Apa yang Denallie pikirkan, sudah pasti sesuai dengan posisinya saat ini. Ia tidak akan menghakimi atau memaksa. “Baiklah, aku coba cari job tambahan. Tapi maaf Na, aku dan yang lain nggak bisa ikut. Kamu tahu sendiri kami ada pekerjaan utama.” Denallie mengangguk dengan wajah mengandung senyum. “Enggak apa-apa. Bantuan kamu sudah sangat berarti buatku.” *** Saat ini, Denallie tengah berdiri di area parkir sebuah kafe yang sudah tutup. Selesai bekerja, ketiga temannya sudah pulang lebih dulu. Sedangkan ia masih menunggu Jiro yang akan menjemputnya. Pacarnya berjanji akan mengajaknya makan di restoran yang biasanya buka sampai tengah malam. Tentu saja Denallie tidak menolak. Meski tinggal di kota yang sama, tetapi ia dan Jiro sangat sulit bisa bertemu karena kesibukan masing-masing. Tidak lama setelah teman-temannya pergi, mobil yang dikendarai oleh Jiro sudah terlihat. Wajah Denallie langsung berseri-seri karena sudah tidak sabar bertemu laki-laki yang baru beberapa bulan menjadi pacarnya. “Selamat malam cantik,” sapa Jiro begitu keluar mobil. “Malam,” balas Denallie senang. Jiro langsung mengecup bibir Denallie tanpa peduli ada yang melihat. “Sudah nunggu lama?” Denallie menggigit bibirnya setelah diperlakukan manis oleh Jiro. Lantas ia menggeleng pelan sambil menahan rasa gugup. “Enggak kok, baru saja.” “Kita pergi sekarang?” “Boleh.” Jiro membukakan pintu untuk Denallie, memperlakukan pacarnya dengan sangat baik. “Silakan masuk tuan putri.” Jiro mengajak Denallie ke restoran all you can eat, yang menjadi tempat makan kesukaannya. Dena sendiri cukup jarang ke tempat seperti ini. Aelain harganya yang lumayan, porsi makannya juga tidak terlalu banyak. Jadi lebih memilih makan di tempat lain, yang harganya lebih terjangkau dan cukup untuk perutnya. “Makan yang banyak, ya. Kamu bilang, akhir-akhir ini nggak pingin makan karena masalah di panti.” Denallie mengangguk sambil mengunyak daging yang baru saja dipanggang. “Makasih sudah ajak aku ke sini.” “Dengan senang hati,” sahut Jiro. “Kamu nggak capek?” “Capek karena apa?” “Capek setelah kerja, pergi jemput terus ngajak aku makan.” Jiro menggeleng santai. “Enggak. Lagi pula, kita jarang bisa ketemu. Jadi saat luang, kita harus melepas rindu.” Laki-laki itu selalu berhasil membuat Denallie tersepu malu. Jiro yang selalu manis dan baik, menerima keadaannya dengan tangan terbuka. Tidak pernah minder atau mengeluh. “Honey, masalah panti, biar aku bantu, ya. Aku kirim beberapa uang untuk meringankan beban kamu.” Denallie menggeleng cepat. “Enggak usah. Masih ada jalan lain. Aku nggak bisa terima bantuan kamu.” “Kenapa?” tanya Jiro heran. “Dari dulu, aku punya prinsip untuk nggak terima barang mewah atau uang dari pasanganku kecuali kalau sudah nikah. Jadi prinsipku itu masih berlaku sampai sekarang.” Laki-laki menghela napas pelan. Tidak heran dengan jawaban Dena karena sejak awal pacaran, paling sulit membuat wanita itu menerima pemberiannya. “Oke, baiklah. Tapi kalau misal nanti kamu butuh sesuatu, kasih tahu aku. Mana mungkin aku biarin kamu dalam kesulitan seperti ini. Aku juga peduli sama anak-anak panti, meski belum pernah bertemu mereka.” Denallie menyentuh tangan Jiro ditambah dengan tatapan haru. Merasa beruntung bisa bertemu dengan laki-laki sebaik pacarnya ini. “Terima kasih sudah menawarkan diri untuk membantuku.” Jiro mengangguk pelan. “Aku ke toilet dulu, ya.” “Oke.” Baru saja Jiro meninggalkan meja, tiba-tiba ponsel milik laki-laki itu bergetar. Ponsel di atas meja terus menyala karena ada panggilan telepon. Denallie mendongak dan melihat siapa yang menghubungi pacarnya selarut ini. Bisa saja ia jawab langsung. Tetapi ia punya etika, tidak mau menjawab telepon orang lain, termasuk pacarnya, jika memang tidak diminta langsung. “Tukang laundry?” Denallie mengguman heran. “Kenapa tukang laundry telpon jam segini?” Panggilan teleponnya berakhir begitu saja. Tidak lama, Jiro pun kembali dari toilet. “Jiro, barusan ada telpon.” “Telpon?” Denallie mengangguk. “Dari tukang laundry. Kok aneh, jam segini telpon kamu?” “Oh, aku lupa. Sudah beberapa hari aku belum ambil pakaian, mungkin dia telpon untuk mengingatkan.” “Tapi kenapa harus jam segini? Rasanya nggak sopan. Atau jangan-jangan …,” Jaro mengibaskan tangannya. “Sudah, jangan dipikirkan. Dia cowok, jadi sudah jelas bukan untuk menggodaku.” Jawaban pacarnya membuat Denallie tersenyum lega. Awalnya merasa aneh dan curiga, kini ia percaya kalau Jiro tidak mungkin melakukan hal aneh di belakangnya. “Oh, syukurlah kalau begitu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD