Denallie tengah menatap benda yang selama beberapa hari ini membuatnya putus asa. Dompet kesayangan yang ia dapatkan sebagai hadiah ulang tahun dari Felicia. Berwarna hitam, sesuai dengan seleranya. Saat tahu hilang entah di mana, sontak membuat Denallie merasakan sedih yang berlipat-lipat.
“Dompet kamu ketinggalan di mobil saya dan yang nemuin putra saya. Jujur, saya lega karena jadi tahu siapa yang nolong saya malam itu,” ujar Petra.
“Pak, makasih banyak ya. Jujur, saya sudah pusing cari dompet ini di mana. Urusan uangnya sih saya sudah ikhlas, Cuma surat-surat di dompet yang paling penting buat saya. Bahkan hari ini saya baru dari kantor polisi buat ngurus surat kehilangan,” jelas Denallie.
Petra tersenyum dengan raut wajah sedih. “Saya minta maaf karena telat balikin dompetnya, padahal anak saya sudah mau bawa ke sini. Tapi Saya pingin sekali ketemu kamu dan bilang terima kasih secara langsung.
“Jangan minta maaf, sama sekali nggak masalah kok, Pak. Saya senang sekali, dompet saya nggak jadi hilang. Dan saya juga lega karena Pak Petra sudah sehat.”
“Kenapa kamu nggak bilang kalau dompet kamu hilang, Dena?” tanya Lulu yang sejak tadi menjadi pendengar. Wanita itu bicara dengan wajah yang masih sangat pucat dan lemah. “Ibu sampai kaget waktu dikasih tahu sam Pak Petra,” sambungnya.
“Dena nggak mau buat Ibu cemas.”
“Tapi syukurlah kalau sudah ketemu, Na.”
Petra menyesap teh yang disajikan di atas meja kaca. Setelah itu, pandangan matanya kembali tertuju kepada Denallie yang ada di depannya, dipisahkan oleh meja. Laki-laki dengan rambutnya yang sudah nampak memutih itu, tersenyum dengan pembawaan tenang. Layaknya dari keluarga terpandang, yang mencoba menjaga gerakan tubuhnya.
“Jadi malam itu kamu nggak sendirian? Siapa nama teman kamu?” tanya Petra.
“Namanya Varo, Pak. Dia teman kerja saya dan kebetulan dia yang nganter saya pulang ke kos.”
“Oh begitu. Kalian kerja sampai malam?”
Denallie mengangguk. “Iya Pak. Saya kerja sebagai penyanyi kafe dan Varo sebagai pengiring.”
“Dena ini sudah keluar dari panti setelah lulus SMP, Pak Petra. Dia nggak mau kuliah dan milih kerja. Saya nggak bisa melarang karena saya selaku pengelola panti, hanya bisa bantu biaya sekolah sampai lulus SMA. Jadi waktu dia mutusin buat kerja sebagai penyanyi di kafe atau sebuah event, saya hanya bisa mendukung dan mendoakan,” tutur Lulu.
“Kapan-kapan saya harus dengar suara kamu saat nyanyi, pasti sangat bagus,” puji Petra. “Dan saya salut sama kamu, Dena. Kerja keras demi tidak membebani Ibu kamu.”
“Mungkin kehadiran saya di dunia ini sebagai beban bagi orang tua saya, Pak, makanya saya dibawa ke panti. Jadi karena itu saya nggak mau bebani Ibu dengan memaksa keadaan tetap kuliah padahal biayanya masih belum ada. Cukup sekali jadi beban, selanjutnya saya harus bisa membalas kebaikan Ibu.”
“Sekarang kamu masih pingin kuliah?”
Denallie menggeleng tanpa ragu. “Saya sudah nyaman dengan pekerjaan saya, Pak. Untuk sekarang, niat saya kuliah belum ada lagi. Tapi nanti, saya nggak tahu.”
“Jadi begitu,” gumam Petra.
“Dena tahu pendidikan penting, Pak Petra. Tapi dia lebih milih uangnya untuk adik-adiknya sekolah. Dan …”
Tiba-tiba Lulu terbatuk cukup keras hingga menyebabkan Denallie menjadi panik. Wanita itu bergegas mendekati ibu angkatnya, memastikan agar kondisinya tidak parah.
“Ibu, minum dulu,” ucap Denallie panik. Ia membantu ibunya minum air putih. “Ambil napas pelan-pelan biar lebih tenang.”
Belum sempat air diteguk, tiba-tiba Lulu pingsan. Wajah Denallie semakin takut dan juga khawatir.
“Ibu kamu pingsan, Nak. Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit,” ucap Petra tidak kalah panik.
“I – iya Pak.”
***
Saat ini Denallie benar-benar sulit memahami situasi yang ada. Baru saja ia mendapatkan kabar baik karena dompet miliknya sudah ditemukan, tetapi juga harus ditemani dengan berita buruk. Lulu harus menerima perawatan akibat kondisi kesehatannya yang ternyata belum membaik. Tekanan darah tinggi, ditambah maag yang semakin parah. Maka dengan hati sedih, ia harus menerima anjuran dokter demi membuat ibunya kembali sehat.
Denallie menyeka air matanya sebelum akhirnya menutup pintu kamar yang ditempati Lulu selama di rumah sakit. Kamar VIP yang dipilih oleh Petra sebagai bentuk ucapan terima kasih karena Denallie sudah menyelamatkan nyawanya pada malam itu. Denallie sempat menolak, tapi Petra mengurus semuanya sampai ia tidak bisa melakukan apa-apa.
“Jadi Ibu kamu memang punya penyakit darah tinggi dan maag?” tanya Petra saat Denallie keluar dari kamar perawatan Lulu.
“Iya Pak. Tapi beberapa tahun terakhir sudah jarang sekali kambuh.”
“Setahu saya, penyakit maag bisa kambuh bukan Cuma karena telat makan, tapi stres juga bisa jadi pemicunya. Apa Ibu kamu lagi ada masalah?”
Denallie yang awalnya menundukkan wajah, perlahan menatap Petra. Terdengar helaan napas panjang, lalu diringi anggukan pelan. Ada keraguan untuk bercerita kepada laki-laki di hadapannya.
“Kondisi panti lagi buruk, Pak. Kami kehilangan donatur yang selama ini jadi penyumbang dana cukup besar. Tapi beliau meninggal dan semua donasi dihentikan sama pihak keluarganya. Jadi kami bingung gimana caranya bertahan.”
“Jadi itu masalahnya,” gumam Petra. Lalu, tangan pria itu terangkat, menepuk pelan pundak Denallie sembari menyunggingkan senyum yang menenangkan. “Jangan khawatir, Dena. Saya akan bantu panti dengan senang hati. Tolong sampaikan kepada Ibu kamu, semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dipikirkan, selain merawat anak-anak dengan baik.”
“Tapi Pak …”
Saking terkejut dan tidak percaya, Denallie sampai tidak bisa berkata-kata. Seperti hujan di kala panas terik, ucapan Petra membawa kesejukan baginya.
“Anggap saja ini bentuk balas budi saya kepada kamu, Nak. Tolong jangan sungkan atau bahkan menolak karena nanti saya jadi sedih.”
“Saya nggak tahu harus ngomong apa lagi, Pak,” gumam Denallie dengan mata berkaca-kaca.
***
“Minum dulu, Sayang. Biar otak jadi rileks dan semangat lagi.”
Denallie kembali sadar dari lamunannya setelah Abila membawakan minuman untuknya. Mereka sedang rehat sebelum nanti lanjut membawakan beberapa lagu hingga selesai. Suasana hati Denallie sedang bercampur aduk setelah apa yang terjadi tadi siang. Kebahagiaan yang selalu beriringan dengan kesedihan.
Abila memilih duduk di sebelah Denallie. Badannya bergerak, mengikuti alunan musik yang sedang dimainkan. Tidak ada yang tidak senang jika mendapatkan hiburan seperti ini. Berbeda dengan Denallie, yang lebih banyak diam ketika selesai bernyanyi.
“Na, harusnya kamu seneng dong karena dompet kamu sudah balik dan urusan panti sudah ada yang bantu. Tapi kenapa muka kamu ditekuk begitu?”
Denallie meneguk minuman yang memiliki kadar alkohol namun cukup ringan. “Kamu bener, Bil. Tapi nggak tahu kenapa perasaanku justru nggak tenang.”
“Karena?”
“Entahlah. Satu sisi aku bahagia karena Pak Petra seperti malaikat yang datang di waktu yang tepat. Tapi di sisi lain, ada perasaan nggak tenang yang nggak tahu asalnya dari mana.”
“Sudahlah, nggak usah mikir terlalu jauh. Yang penting masalah selesai, kamu bisa kerja dengan tenang.” Abila mengangkat gelas miliknya. “Ayo kita rayakan, Na. Dompet ketemu, donatur juga datang tanpa dicari. Cheers!
“Cheers!”
Abila menyikut tangan Denallie dengan pandangan mata tertuju ke salah satu meja bar. “Kamu lihat, dia datang lagi, Na. Nggak usah diragukan lagi, dia memang nyari kamu ke sini.”
“Jangan mulai deh, Bil. Dia ke sini buat cari hiburan, bukan buat nyari cewek!”
“Namanya Gentala, pekerjaan sebagai dokter. Anak dari pengusaha kaya, jadi otomatis dia juga orang berduit. Yakin kamu nggak mau kenalan?”
Denallie turun dari kursi panjang yang diduduki. “Aku ke toilet dulu, ya.”
“Eh, aku belum selesai ngomong!”
“Bodo! Kamu kayak sales nawarin produk dan aku nggak tertarik!”
Abila berdecak sebal. “Barang langka, Na!”
Sambil bersungut-sungut, Denallie pergi ke toilet. Selesai buang air kecil, Denallie langsung menghubungi Felicia dan bertanya mengenai kondisi Lulu. Mengingat tidak bisa menjaga di rumah sakit, jadi lewat Felicia mencari kabar.
“Kok nggak diangkat, sih?” gerutu Denallie.
Tidak mungkin berlama-lama, Denallie memutuskan mengirim pesan sambil berjalan keluar dari toilet. Karena fokus pada ponsel miliknya, ia tidak melihat jika ada yang sedang berjalan di lorong antara toilet laki-laki dan perempuan. Tanpa bisa dihindari, tubuh mungilnya menabrak seorang laki-laki hingga nyaris jatuh. Untung saja laki-laki itu bisa menahan tubuhnya sehingga Denallie tidak sampai jatuh.
Wajah Denallie dalam posisi menengadah sehingga bisa melihat dengan jelas siapa sosok laki-laki yang sedang memegangi badannya. Matanya membola dengan ekspresi kaget. Tidak menyangka akan bertemu dengan orang yang selama ini Abila anggap menyukainya. Dan Denallie masih ingat kalau nama laki-laki itu adalah Gentala.
“Gentala?” batinnya.
Salah satu sudut bibir Gentala itu terangkat, menunjukkan seringai yang menggetarkan hati. Bukan karena terpada, tapi justru membuat nyali menjadi ciut.
“Sudah puas lihat wajah saya?”
Denallie terperanjat lalu segera melepaskan diri dari laki-laki itu. “Jangan geer!”
“Terus, kenapa bengong sampai lupa minta maaf?”
“Minta maaf? Buat apa?” tanya Denallie ketus.
“Karena kamu jalannya nggak lihat ke depan tapi fokus sama hape dan itu merugikan saya,” jawabnya.
“Kalau kamu jalannya juga pakai mata, ya nggak mungkin nabrak saya. Harusnya kamu bisa mengindar,” ucapnya tidak mau kalah.
Kedua mata Gentala menyipit, masih dengan senyumnya yang manis tapi membuat siapa saja merasa terintimidasi. Tangan laki-laki itu terulur, lalu mengapit dagu Denallie dengan kasar. “Jangan galak-galak, takutnya nanti kamu menyesal.”
“Menyesal?” Denallie semakin tidak suka dengan interaksi ini. Ia menyingkirkan tangan Gentala dari wajahnya. “Sorry, aku nggak mau buang-buang waktu meladeni cowok kayak kamu!”
Baru saja Denallie melangkahkan kaki dan bersiap pergi, tangannya ditahan dengan cukup kasar. Wanita itu sampai meringis, memasang raut wajah tidak suka. Ia berusaha memberontak tapi susah.
“Mau apa lagi? Kalau macam-macam, aku bisa teriak sekarang juga!”
Bukannya takut, Gentala justru mendekati Denallie. Laki-laki itu lalu berbisik tepat di depan telinga gadis itu. “Mungkin nanti kita bisa bersenang-senang?”
Denallie menghentakkan tangannya, lalu menginjak kaki laki-laki itu dengan keras. “Jangan kurang ajar. Kamu pikir aku ini cewek murahaan! Aku punya pacar jadi kalau kamu macam-macam, aku bisa minta pacarku buat kasih pelajaran ke kamu!”
Tanpa mendengar bagaimana tanggapan Gentala, Denallie langsung pergi. Sedangkan laki-laki itu tersenyum meski kakinya terasa sakit akibat tenaga Denallie yang kuat.
“Sepertinya kamu bangga sekali dengan pacar kamu itu. Tapi sayang, kamu terlalu polos, Denallie Anasera.”
Sementara itu, Denallie kembali bergabung dengan teman-temannya. Ia terlambat tapi tidak peduli akan hal itu. Laki-laki asing itu berhasil membuatnya kesal dan emosi. Merasa dilecehkan atas apa yang dikatakan.
“Kok lama banget?” tanya Sada.
“Sakit perut!” jawabnya ketus.
“Diare?” sambar Varo.
“Enggak!”
“Terus?”
Denallie melolot hingga menciutkan nyali Varo. “Bisa diem, nggak?”
“Ampun deh, Na,” ujar Varo sambil mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
Sorot mata Denallie menangkap sosok Gentala yang sudah berhasil memancing rasa kesal dan merusak suasana hatinya. Ingin sekali memberikan pelajar lebih karena tidak puas jika hanya menginjak kakinya. Denallie benar-benar menyesali pertemuannya dengan Gentala.
“Cowok b******k! Dia pikir aku cewek apaan sampai berani ngomong kayak gitu! Harusnya aku patahkan kaki sama tangannya biar nggak bisa ke sini lagi, apalagi nyentuh aku,” gerutunya sebal.