#2 Janji Bertemu Ghulam

1047 Words
Pagi-pagi buta aku mendapat telepon dari Ala. Kulihat sekilas jendela kaca kamarku yang tertutup tirai warna cream, belum ada cahaya apapun dari luar, masih gelap. Aku baru saja bangun, masih berselimut di atas kasur dan belum cuci muka. "Ghulam bersedia menemuimu pagi ini." Sorak Ala begitu mendengar suaraku. Suaranya terdengar lantang dan ceria. Baru kali ini aku menemukan klien yang akrab sekali cara bicaranya padaku. Padahal kami baru berkenalan kemarin. "Ohya? Jadi kita bertemu dimana dan kapan?" Jawabku santai. Aku bingung, apakah seajaib itu jika suaminya mau bertemu denganku. "Orange caffe ya, pukul 10.00." Ala menyebutkan nafa kopishop tidak jauh dari kantorku. Aku mengiyakan, lalu dia menutup panggilannya. Aku bergumam heran, nadanya yang ceria seolah tidak mencerminkan seseorang yang hendak bercerai dengan suaminya. *** Aku sudah di caffe orange pukul 09.45, seperempat jam sebelum waktu yang dijanjikan. Ala dan Ghulam belum di sana, hanya ada 2 pasang orang di caffe besar itu sepagi ini. Aku memesan cappucino hangat dan donat gula, aku belum sarapan. Dan segera habis beberapa menit setalah mendarat di mejaku. Pukul 10.15, Ala dan Ghulam tak ada tanda-tanda muncul. Apa maksud mereka? Mereka yang membuat janji dan mengingkarinya sendiri. Caffe semakin rame, hampir semua meja sudah terisi, sisa beberapa yang belum. Pukul 10.30 Aku sudah bosan duduk. Akhirnya kuputuskan berjalan-jalan mengelilingi bangunan caffe, benar-benar penyia-nyiaan waktu, gerutuku. Baru saja aku berdiri, seorang perempuan dari arah pintu masuk melambai tangan ke arahku. Itu Ala, dia mengenakan kemeja pengan panjang warna mustard dan dipadukan rok plisket kekinian. "Maafkan aku, Biv! Ternyata sekolah Kavya pulang lebih siang karena ada materi tambahan. Dan aku harus memulangkannya juga karena tidak mungkin kita akan bicara dengan serius dan tenang kalau dia ikut." Ala menjelaskan panjang lebar, wajahnya memelas memohob pengertian. Aku mengangguk dan menyuruhnya duduk. "Jadi, Ghulam belum juga kesini?" Ala mendengus kesal. "Dia kan tidak ada pekerjaan lain, kenapa dia harus terlambat?" Ala mengomel sambil membolak balik buku menu. Jelas, dia tidak konsen dengan menu-menu itu. "Aku benar-benar minta maaf, Biv. Aku tahu kau banyak pekerjaan dan kau menyempatkan bertemu kami." Sebenarnya aku sudah jengah sekali, pasangan ini sepertinta mempermainkanku. "Aku akan menelpon Ghulam, sebentar ya." Kupikir Ala akan menyingkir setelah memibta izin menelfon suaminya, ternyata tidak. Dan berkali-kali ditelpon, sepertinya tidak ada respon dari sana. Hufftt Ala memandangku lagi, aku seperti bisa menebak, jika dia ingin meminta maaf kesekian kali. Aku mengangguk, kepalang basah aku di sini. Mengosongkan jadwal dan membatalkan janji dengan klien lain. Tapi ya apa boleh buat. Akan percuma jika aku marah. Aku diam saja tidak mengajak Ala bicara, karena sebenarnya aku jengkel dalam siatuasi ini. Aku akhirnya memutuskan untuk memesan smoothies strawberry, kiwi dan mentimun untuk mendinginkan kepalaku. Pukul 11.40, aku sudah kehilangan kesabaran. Aku berdiri dari tempat duduk. "Kau hendak ke toilet?" Tanya Ala hati-hati. "Tidak, aku akan kembali ke kantor sekarang." Jawabku tegas. Penantian yang menggantung ini tidak bisa didiamkan, batinku. "Kumohon, Biv. Tunggulah sebentar lagi. Tunggulah sampai pukul 12.00. Jika sampai pukul 12.00 Ghulam belum juga datang, kamu boleh pergi." Wajah Ala memelas, tangannya meraih jariku memohon. Kucek sekali lagi jam tanganku. Baiklah. Kuteruskan menyeruput smoothiesku. Tidak banyak yang bisa kulakukan karena aku tak membawa buku, berkas yang harus kukoreksi atau pekerjaanku yang lain. Aku hanya bisa mengecek HPku berkali-kali. Sedang Ala, dia sibuk menelpon banyak orang, mencatat sesuatu di bukunya, menelpon lagi, mengetik lama di handphone-nya. Ya, dia sedang berjibaku dengan pekerjaan. Dan aku? Sial..ini namanya mengerjaiku, kenapa aku patuh sekali padanya? "Kau ingin memesan makan siang?" Tanya Ala mengambil kembali buku menu yang sedari tergeletak di sudut meja. Aku menggeleng. "Atau minum?" Tambahnya. "Perutku sudah penuh dengan air." Jawabku.  "Kupesankan kentang goreng? Atau Roti canai? Atau sambosa?" Ala belum menyerah. Lagi-lagi aku hanya bisa menggeleng. Ala mengembalikan buku menu itu. Tepat pukul 12.00 adzan dzuhur terdengar berkumandang. Aku dan Ala saling tatap. "Maafkan aku Ala, ini sudah batas waktu yang kita tentukan. Semoga kita bisa bertemu suamimu di waktu yang lebih baik." Ala hanya mengangguk, tidak banyak yang bisa dia lakukan. Begitu kami berdiri. "Maafkan, aku terlambat!" Seorang laki-laki menghampiri meja kami. Nafasnya terengah-engah seperti baru saja lari jarak jauh. Ia memakai kaos polo, celana jeans dan sepatu kets putih. Dari tampangnya sebenarnya cukup tampan, tapi kurang terawat. Jambangnya sudah cukup panjang panjang dan sedikit brewok yang kurang rapi, rambutnya berantakan dan wajahnya berminyak. Apakah dia Ghulam? Aku langsung menoleh Ala, dia menatap laki-laki itu tajam. Wajahnya merah padam. "Untuk apa datang?" Tanya Ala ketus. Ya, sepertinya dia Ghulam, tanpa kutanya, gelegat Ala menunjukkan bahwa yang dihadapan kami adalah suaminya. "Kau yang menyuruhku datang." Ghulam tidak kalah ketus. "Kau yang berjanji untuk datang pukul 10.00, kemana saja?" Nada suara mulai serak, ia menahan tangis. "Aku tadi ada rapat dadakan…." Jawab Ghulam menjelaskan dan belum selesai bicara, Ala memotongnya, "Rapatmu selalu lebih penting dari pada apapun!" "Kau berlebihan, kita bisa membicarakannya sekaranf!" "Tidak, ini sudah terlambat" Semakin lama, mereka kehilangan kendali dan saling berteriak, beberapa pengunjung caffe memperhatikan kami. "Cukup!" Kataku pada mereka. "Jangan mempermalukan diri dengan bertengkar di depan umum." Kataku pelan dan tajam, kupastikan mereka mendengar dan paham tekanan nada suaraku. Mereka berdua lalu diam sejenak mengatur nafas yang saling memburu. "Dia selalu begitu!" Kata Ghulam begitu dia tenang, Ala membalasnya dengan tatapan tajam. "Maaf, aku tidak akan bicara dengan kalian sekarang karena kondisi kalian yang dikuasai emosi. Jadi, jika kalian masih berniat memintaku untuk mendampingi kalian menghadapi masalah rumah tangga kalian. Tolong besok Bapak Ghulam datang ke kantor saya pukul 09.00." Ala dan Ghulam saling pandang, mereka masib mengatur nafas. Ghulam akhirnya mengangguk. "Bapak Ghulam saja. Ala tidak usah. Pukul 09.00 ya. Tet!" Kutekankan kata "TET" agar Ghulam tidak molor, pekerjaanku bisa berantakan jika harus mengikuti ritme kerjanya. Ghulam mengangguk lagi. "Baiklah, saya pamit undur diri." Kataku kemudiian berjalan meninggalkan mereka. Begitu keluar caffe, hawa panas segela menyergapku. Ya Tuhan..hawa ini tidak lebih panas dari pertengkaran dua orang suami istri di hadapanku tadi. Aku belum menikah, tapi jalan hidupku dihadapkan masalah-masalah lika-liku hidup berumah tangga. Beberapa langkah menuju mobil, tiba-tiba "BRAKKK…!" Awww tubuhku terpental dan jatuh menghantam ke paving. "Oh maaf...aku tidak melihatmu tadi, kau tiba-tiba di depan!" Aku masih mengadung memegangi p****t yang baru saja terpental ke langai. Di hadapanku, seorang laki-laki bertubuh jangkung berambut cepak, dengan kemeja lengan panjang dan dilipat sesiku dan  kacamata persegi panjang. Dia mengulurkan tangannya membantuku bendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD