Mantan Sekretaris Aku

1053 Words
“Oke! Kalau begitu jangan halangi gue untuk menjaga kehamilan. Tunggu sampai satu tahun, sampai usia gue genap dua puluh enam tahun.” Indi menyunggingkan senyum menyeringai kemudian menjentikan jarinya tepat di depan wajah Damian. Sementara Damian menghela napas kasar seraya geleng-geleng kepala melihat raut wajah Indi yang begitu bahagia karena sudah diberikan izin untuk menjaga kehamilannya sampai satu tahun ke depan. “Tapi, elo nggak boleh kasih tahu ini ke bokap kita. Bilang aja kalau belum dikasih. Mereka tuh cowok, nggak terlalu berisik masalah cucu. Nggak kayak cewek.” Indi kembali berucap sembari menyantap nasi dan sosis yang masih tersisa itu. “Nyokap elo ke mana?” tanya Indi kemudian. Setelah tiga hari menikah, ia baru menanyakan keberadaan mama Damian. Pria itu menghela napas pelan. “Eeeumm … entah. Aku nggak tahu dia ada di mana sekarang. Selama sepuluh tahun terakhir ini aku nggak pernah ketemu sama Mama lagi. Mungkin sudah bahagia dengan keluarga barunya. Aku dengar, suaminya punya anak, perempuan. Seumuran kamu, dan hanya itu yang aku tahu.” Damian bercerita sembari menatap ke arah pantai kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Aku pikir, dia nggak akan ganti nomor. Ternyata dugaanku salah. Dia ingin keluar dan mengasingkan diri dari aku dan Papa. Bahkan Kak Fero juga udah nggak peduli dia ada di mana.” “Kak Fero?” Indi bertanya-tanya. “Kakakku. Sampai sekarang dia masih tinggal di London.” “Saat pernikahan kita?” “Dia benci pernikahan. Tidak akan pernah mau hadir di pernikahan siapa pun. Saat pernikahan pertamaku juga dia nggak pernah muncul. Hanya memberi ucapan selamat.” “Sebab?” tanya Indi lagi. “Ditinggal menikah?” Damian tersenyum tipis. “Ya. Melihat dekorasi pernikahan akan membuatnya muak dan marah. Entah sampai kapan akan seperti itu. Mungkin kalau nanti dia menikah, tidak akan ada yang namanya resepsi.” Damian menjelaskan tentang kakaknya yang memiliki rasa tidak suka pada pernikahan. Indi menghela napas kasar. “Pantas, bokap elo jodoh-jodohin elo terus. Rupanya takut macam anak pertamanya. Udah berapa tahun, usianya?” tanyanya ingin tahu. “Baru tiga puluh. Targetnya menikah di usia tiga puluh lima tahun ke atas. Entah benar atau tidak, atau hanya ingin menenangkan pikiran Papa aja, aku nggak tahu. Hanya bisa menunggu dan melihatnya.” Damian pun tidak berharap banyak kepada kakaknya itu. Bisa saja feeling-nya benar, bila Fero hanya ingin menenangkan pikiran Pradipta saja. Indi kemudian menyimpan piring di sampingnya dan meneguk segelas air mineral yang sudah disediakan Damian untuknya. “Yang penting kakak elo nggak menyimpang, udah paling aman dari apa pun. Siapa tahu kakak elo hamilin anak orang, bisa jadi alasan supaya dia mau nikah.” Damian menyunggingkan senyum. “Kehidupan di London tidak seperti di Indonesia, Indi. Kalau hamil yaa hamil aja. Nggak perlu ada yang namanya pernikahan setelah menghamili pacarnya,” ucapnya menjelaskan. Indi menghela napas kasar. “Ya. Sangat berbeda dengan di Indonesia. Bahkan bisa mencintai dua orang sekaligus dalam satu hatinya. Sana-sini dia tidurin,” ucapnya dengan pelan. Kembali teringat pengkhiatan yang dilakukan oleh Rangga kepadanya. Damian melirik Indi yang tengah bersedih sebab teringat orang yang sudah melukai hatinya itu. “Indi. Kamu masih ingin mengejar cita-citamu jadi desainer terkenal, kan?” tanya Damian mencairkan suasana. Indi menoleh dengan pelan ke arah suaminya itu. “Terus?” tanyanya kemudian. Damian menerbitkan senyumnya dengan lebar. “Aku akan mendukung kamu untuk menjadi desainer terkenal. Nanti, aku kasih biaya untuk bisa ikut ajang fashion show. Rancang aja busananya sebanyak dan sebaik mungkin. Nanti, kalau sudah ada, aku akan mencari relasi yang bisa masukin kamu ke sana.” Indi menatap dengan Damian dengan tatapan lekatnya kemudian tersenyum miring. “Maksud elo, elo mau nyogok penyelenggara fashion show agar menampilkan rancangan busana yang gue buat? Iyaa? Sorry to say, Damian! Makasih!” Indi menyunggingkan bibirnya setelah menyimpulkan bahwa Damian akan membayar berapa pun panitia penyelenggara agar mau memasukkan rancangan busana milik Indi. “Itu namanya curang, Damian. Mana mau gue ambil cara instan. Bukannya dikenal sebagai perancang hebat dengan seleksi yang ketat, malah disebut perancang terkenal karena sogokan. Ogah gue, Damian!” ucap Indi kembali. Damian menganga mendengarnya. “Ta—tapi, bukan itu maksudnya, Indi. Aku hanya ingin membantu kamu mengejar cita-cita kamu.” “Tapi, bukan begitu caranya, Damian. Harus melalui seleksi dulu, dites kelayakan dari segi bahan, rancangan, desain dan semuanya. Elo mana tahu begituan. Ukur pedang pusaka baru paham!” sengalnya kemudian. Sedikit kesal kepada suaminya itu sebab sembarangan berucap dan memberi dukungan dengan cara yang salah. Damian lantas menggaruk belakang kepalanya kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Sorry, Indi. Aku hanya ingin membantuku. Kalau memang aturannya seperti itu ya udah, mau gimana lagi. Aku hanya bisa support kamu dengan ekonomi. Kalau kurang apa pun, jangan sungkan. Bilang aja.” Indi memutar bola matanya. “Mana ada, gue sungkan sama elo. Jelas akan minta lah!” sengalnya kemudian. Damian terkekeh mendengarnya. “Oke, Sayang. Aku akan memberikan apa pun dan berapa pun yang kamu perlukan. Jangan khawatir.” “Nggak khawatir karena emang elo orang kaya, banyak duit. Harusnya gue bangga, punya laki kaya raya kayak elo. Tapi, karena elo adalah musuh gue dari dulu sampai kita lulus, yang ada gedek terus kalau lihat elo. Untung aja sekarang udah sedikit berubah. Nggak terlalu menjijikan.” Damian menghela napas kasar. “Dari semua perempuan yang aku kenal, hanya kamu yang selalu mengataiku. Apa yang kamu tidak suka dariku sampai membenciku melebihi benci pada musuh?” tanyanya ingin tahu. “Playboy, sok ganteng, tukang goda cewek, murahan dan masih banyak lagi. Puas?!” Indi menatap Damian kemudian memutar bola mata dengan pelan. Damian manggut-manggut dengan pelan seraya menatap Indi. Baru tahu alasan mengapa Indi begitu membencinya saat kuliah dua tahun yang lalu. “Berapa banyak, pria yang sudah jadi pacar kamu?” tanya Damian kepada istrinya. Ia selalu penasaran kepada istrinya. Indi mengendikan bahunya. “Nggak ada yang bisa gue anggap pacar. Semuanya hanya angin lalu karena mereka selalu datang dan pergi sesuka hati. Harusnya gue bersyukur karena punya suami yang mungkin udah tobat dari playboy-nya.” Damian tersenyum tipis. “Sudah nggak gitu lagi, Indi. Sudah tobat sejak mencintai kamu.” Indi tersenyum miring. “Sekarang jawab pertanyaan gue. Cindy itu siapa? Elo belum jawab pertanyaan gue yang itu. Jawab yang jujur!” Damian menelan saliva dengan pelan seraya menatap Indi dengan tatapan lekatnya. “Mantan sekretaris aku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD