Surat dari Ibu kota

1387 Words
Salju putih terus berjatuhan butir demi butir menimpa kepala Atthy, dia bersusah payah hanya untuk melangkahkan kakinya di tumpukan salju sepanjang jalan. Atthy mulai bingung ke mana dia harus melangkah? Baru tiga bulan dia di Skythia, frekuensi Atthy keluar Manor bisa di hitung jari. Karenanya, jelas Atthy tidak tahu lingkungan di luar Manor. Apa lagi, ketika Atthy keluar selalu menggunakan kereta kuda. Atthy terus berjalan tak tentu arah, karena dia tidak bisa membedakan yang mana jalan yang seharusnya di lalui. Tertutup salju tebal di atasnya, semuanya tampak nyaris sama bagi Atthy. Ketidak-tahuan membuatnya terus berjalan dan terus memasuki wilayah hutan semakin jauh kedalam. Atthy yang selama ini hidup di antara gurun pasir yang terik dan sabana luas, kini dia kesulitan menghadapi ganasnya cuaca dingin bersalju di hadapannya. Selama di dalam Manor, Atthy selalu di layani oleh pelayan dan nyaris tidak pernah jauh dari perapian. Tapi sekarang, dia tidak punya apa-apa kecuali pakaian tebal yang membungkus tubuhnya. Tapi, sayangnya hal itu tidak banyak membantu. Pakaian tebal itu tidak bisa menghalau seluruh suhu dingin yang sudah mengepung tubuh Atthy. Apa lagi saat ini Atthy sedang dalam kondisi tubuh yang tidak baik, dia jatuh terduduk di sebuah pohon besar yang tanahnya tampak sedikit lebih tinggi dari tanah di sekitarnya. Atthy yang sudah tidak lagi sanggup melangkahkan kakinya kemudian pasrah bersandar di pohon besar, dia duduk termangu memikirkan nasib yang sudah membawanya sampai ke tahap ini. Dari seorang cucu bangsawan jatuh yang miskin, menjadi seorang Duchess kaya raya dengan kekuasaan besar. Dan sekarang, justru dia malah bukan siapa pun. Tidak seorang Galina, tidak juga seorang Griffith. Suhu dingin tanpa ampun terus menerpa tubuh mungil Atthy yang semakin lemah tidak berdaya. Lambat laun, Atthy tidak lagi merasakan apa pun. Tubuhnya mulai mati rasa, rasa ngilu di tulang-tuangnya yang masih bisa di rasakannya saat berjalan tadi, kini perlahan-lahan sudah tidak lagi begitu menyiksanya karena Atthy nyaris tidak lagi bisa merasakan apa pun di tubuhnya sekarang. Atthy dengan jelas mengetahui apa yang sedang terjadi padanya. Hipotermia, dan hanya tinggal menunggu waktu sampai dia mengalami radang dingin akut. Karena hal itu, bayangan kematian sekilas terbayang di kepalanya tapi segera di gantikan dengan kenangan tentang keluarganya silih berganti dengan berbagai momentum. ***** FLASHBACK ke awal cerita dimulai ***** Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam Yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah yang sangat luas, lima belas kali lebih luas dari pusat kota Nauruan itu sendiri. Caihina sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan, wilayah terpencil di perbatasan yang memiliki belasan desa yang punya nasib kurang lebih sama. Jajaran desa-desa kecil yang sangat terpencil, tapi belasan kali lebih luas dari pusat kotanya sendiri. Wilayah yang terdiri dari beberapa desa tertinggal di wilayah yang berupa Gurun pasir dan sabana yang di lupakan oleh Bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga. Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar yang ada di wilayah Caihina, Kota Nauruan, yang butuh waktu sepuluh hari untuk bisa sampai ke pusat kota jika menggunakan kereta kuda karena sulitnya medan, tapi jika hanya berkuda bisa di tempuh dalam waktu lima hari. Angga adalah sebuah desa yang terletak di antara area gurun dan area sabana, sebuah desa di mana Atthy lahir dan di besarkan. Caihina adalah dataran kering yang sangat luas, terdapat beberapa Laguna besar yang jadi sumber air untuk kehidupan penduduknya. Di bagian utara Caihina di kelilingi perbukitan batu kapur raksasa yang di selubungi pasir yang membentuk cekungan dan membuatnya tampak seperti mangkuk raksasa. Di pusat Caihina terdapat sabana luas sejauh mata memandang. Lalu, di bagian selatan Caihina ada hutan lebat yang sangat luas berisi banyak hewan buas dan menakutkan. Hutan itu terbagi menjadi dua. Wilayah Caihina dan wilayah Nauruan yang jauh lebih sejuk meski masih jauh lebih hangat jika dibandingkan dengan Skythia. Di luar Nauruan, tidak banyak orang yang mengerti mengenai Caihina yang di anak tirikan oleh penguasanya hingga nyaris tidak pernah di sebut. Karena ketidak pedulian Count Veraga, banyak bandit perampok yang bersembunyi di perbatasan hutan. Karena medan berat dan berbahaya yang seperti itu. Makanya sangat jarang ada yang mau memasuki wilayah Caihina. Itu sebabnya perdagangan sangat sulit di lakukan di sana, membuat belasan desa di dalamnya semakin terisolir. ''Ayah!... Ayah!... Lihat!'' seru Damian, anak lelaki berusia enam tahun berlarian dari kejauhan sambil berteriak memanggil ayahnya. ''Dimi!... Hentikan teriakanmu!'' seru Atthy, si gadis remaja yang baru tiga bulan menginjak usia delapan belas tahun, anak perempuan tertua Ashton Galina. HUF HUF HUF Dimi berhenti sejenak berusaha mengatur nafasnya yang terengah-engah ketika sampai di pagar pekarangan rumahnya. ''Ada apa denganmu?... Apa yang membuatmu harus berlari sampai seperti itu?'' tanya Ash ayahnya, sambil terus memukul besi yang di panaskan di hadapannya. ''Pengantar pesan baru saja datang,'' jawab Dimi dengan mata berbinar-binar. ''Lalu?'' tanya Atthy acuh sambil menjaga nyala api membantu ayahnya. ''Dia membawa surat...'' jawab Dimi dengan ekspresi bahagia. ''Dia pengantar pesan, tentu saja dia membawa surat,'' jawab Atthy sambil meledek adiknya tapi dia tetap tidak lalai dengan apa yang sedang dikerjakannya. ''Suratnya untuk kita...'' ujar Dimi dengan wajah semringah, mengacuhkan Atthy yang meledeknya. ''Hm?!'' sahut Ash dan Atthy bersamaan dengan ekspresi heran. ''Lebih hebat lagi, ini dari Xipil, Ibu Kota Kerajaan...'' ujar Dimi membanggakannya seolah sudah mengetahui reaksi Atthy dan ayahnya akan seperti itu. Mendengar ucapan Dimi, Atthy melirik ke arah ayahnya dan Ashton hanya menanggapinya dengan mengerutkan dahi karena heran. ''Apa kau tidak salah baca Damie?'' tanya Ash masih dengan wajah herannya. Bagaimana tidak heran, sejak dia lulus dari akademi dua puluh tahun yang lalu, tidak sekali pun dia pernah menginjak Ibu Kota Kerajaan lagi. ''Tidak ayah, di surat juga tertulis jelas, ''...untuk Baron Galina'','' ujar Damian sambil menyerahkan surat pada ayahnya, memperlihatkan tulisan di muka amplop. ''Kalau begitu itu untuk kakekmu...'' jawab Ash sambil menepuk lembut kepala putra bungsunya. ''Bukan untuk ayah?!'' seru Dimi bertanya dengan wajah heran. ''Bodoh!'' seru Ash menghardik anak lelaki termudanya, ''Bangsawan bergelar ''Baron'', adalah kakekmu...'' ''Dasar kau!... Sudah sini bantu aku!'' seru Atthy sambil terkekeh melihat adiknya yang masih bingung sambil memperhatikan ayahnya. ''Tapi, tetap saja... Surat itu di tujukan untuk keluarga kita,'' ujar Dimi berkilah tak mau kalah, kemudian melakukan yang di perintahkan Atthy kakaknya. Ash mengambil surat dari Dimi kemudian masuk ke dalam rumah untuk memberikannya pada ayahnya, Rowtag Galina. Atthy kembali meneruskan pekerjaannya menempa besi, dan meminta Damian untuk menjaga nyala api. Sejak kecil, Atthy dan adik-adiknya selalu membantu Ash ayahnya yang bekerja sebagai pandai besi, dia juga sering ikut ayahnya untuk berburu di hutan bersama adik yang lima tahun lebih muda darinya, Aydan. Aydan adalah putra tertua Ashton, adik Atthy yang berusia tiga belas tahun. ''Ayah, ada surat untukmu dari Ibu kota...'' ujar Ash pada ayahnya, dia menyerahkan surat pada Rowtag, kakeknya Atthy, tepat setelah dia membersihkan diri. ''Surat?... Dari Ibu kota?... Untukku?'' tanya Rowtag bertanya dengan wajah heran dan bingung. ''Ya,'' jawab Ash santai. ''Apa kau tidak salah?'' tanya Rowtag lagi, masih dengan ekspresi heran. ''Kurasa tidak, mataku masih bisa melihatnya dengan jelas. Di situ tertulis, ''Baron Galina'','' jawab Ash dengan santai. Rowtag menerima surat itu dari Ashton kemudian membacanya, beberapa saat kemudian wajahnya berubah dari heran jadi terkejut, dan semakin terkejut. ''Ash... Surat ini bukan untukku, tapi untukmu,'' ujar Rowtag sambil mengacungkan surat yang telah di bacanya. ''Untukku?!... Tapi ayah, di situ jelas tertulis BARON...'' sahut Ash sambil menjelaskan kembali. ''Sudah lebih dari empat puluh tahun... Mungkin, mereka berpikir aku sudah mati,'' ujar Rowtag dengan nada kecewa. ''Ayah, ada apa denganmu?'' tanya Ash dengan ekspresi memelas, dia tidak tega melihat wajah keriput ayahnya semakin sedih, ''Apakah surat itu membawa kabar tidak baik?'' ''Sebaliknya, mungkin ini adalah kabar baik... Tapi jelas, surat ini untukmu, Ash... Karena Atthy adalah putrimu,'' ujar Rowtag menjelaskan, dia kembali tersenyum saat melihat kekhawatiran di wajah anak laki-laki satu-satunya yang tersisa. ''Atthy?... Apa hubungannya dengan Atthy?'' tanya Ash bingung dengan pernyataan ayahnya barusan. ''Surat ini adalah surat lamaran untuk putri sulungmu, Atthy...'' ujar Rowtag menjawab dengan wajah yang tampak senang. Terbelalak mata Ash mendengar kabar itu dari Rowtag, dia terkejut melebihi keterkejutan Rowtag tadi saat membaca suratnya. ''Ayah... Kau pasti sudah terlalu tua, matamu rabun... Berikan padaku, biar aku yang membacanya!'' seru Ash masih tidak percaya. ''Terserah... Lagi pula aku sudah bilang surat itu untukmu, bukan untukku,'' ujar Rowtag menjawab dengan alis terangkat kemudian menyerahkan surat itu pada putranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD