Ivan mundur dua langkah untuk melihat Reva. Ia mengernyit ketika sadar Mayang baru saja berbohong. Ia langsung menoleh pada Mayang yang sedang merosot dari atas meja lalu berlari menjauh darinya.
"May! Mayang!" Ivan memanggil sia-sia. Ia juga tak ingin membangunkan Reva yang masih tidur nyenyak itu. Jadi, ia pun membuang napas panjang ketika Mayang sudah keluar dari kamar. "Ternyata susah juga mendapatkan tubuh Mayang. Padahal ... aku udah lama nggak ngelakuin itu. Sial. Aku kira dia bakal ngerti setelah baca surat kontrak ini."
Ivan meremas tepian surat kontrak dengan geram. "Mayang punya pacar? Bukannya dia wanita malam. Apa Mayang dan pacarnya udah tidur bareng? Kenapa sok suci banget jadi cewek? Sial!"
Sementara itu, Mayang berlari menuruni anak tangga dengan perasaan tak keruan. Tadi, ia sangat tegang di depan Ivan dan kini, ia cukup lega bisa kabur dari pria m***m itu. Setidaknya ia sudah selamat dua kali.
Mayang memelankan langkahnya karena ia sadar Ivan tak mengikutinya. Ia juga bisa bernapas lebih lega. Jadi, kedua matanya pun mengedar untuk melihat situasi rumah. Mayang menelan keras ketika ia melihat foto besar Ivan bersama Reva dan seorang wanita cantik. Itu adalah potret foto keluarga yang sangat manis, pikir Mayang. Entah apa yang membuat istri Ivan memutuskan bercerai. Ia tak ingin peduli.
"Duh, kayaknya gue laper nih. Semalam gue nggak doyan makan di hotel," kata Mayang dalam hati. Ia benar-benar kena mental tadi malam hingga ia tak bisa menyantap sajian hotel yang enak dan mahal. "Dapurnya di mana nih?"
"Selamat pagi, Nyonya Mayang!"
Mayang terlonjak seketika karena sapaan manis dari dua orang wanita berseragam hitam dan putih lengkap dengan celemek di tubuh mereka. Mayang meraba d**a saking kagetnya ia.
"Maaf, Nyonya. Kami nggak bermaksud ngagetin," ujar salah satu dari mereka seraya membungkuk.
"Ehm, nggak kok. Santai aja," ujar Mayang yang kini lebih kaget karena ia dipanggil nyonya di rumah ini. Yah, ia telah menikah dengan pemilik rumah, wajar saja ia dipanggil nyonya.
"Nama saya Devi dan ini Intan. Kami kepala dan wakil pelayan di rumah ini. Nyonya 'kan baru datang ke sini, jadi sebaiknya kita berkenalan," ujar Devi.
"Salam kenal, Nyonya. Nyonya mau sarapan apa nih? Kami baru mau masak," kata Intan.
Mayang meringis saja. "Ehm, yang berat-berat dong. Aku laper banget nih. Apa ada nasi uduk?"
Mayang berharap setengah mati. Ia membayangkan nasi uduk lengkap dengan sambal dan kerupuk, itu sudah nikmat sekali.
"Tuan Ivan dan nona Reva nggak pernah makan nasi di pagi hari. Kami akan siapkan waffle saja untuk sarapan," kata Intan.
Mayang kembali meringis. "Jadi, ngapain lo tanya ke gue tadi kalau menunya sesuai kesukaan om Ivan!" Mayang menggerutu dalam hati.
Namun, Mayang tak protes. Apapun itu asalkan enak dan mengenyangkan ia akan tetap makan. Mayang lalu menoleh ke arah anak tangga ketika ia mendengar suara langkah. Ia langsung panik karena itu Ivan.
"Bi, aku bantuin masak ya!" Mayang berlari kecil mengikuti langkah Devi dan Intan. Lebih baik ia berkutat dengan sarapan dibandingkan harus berdua dengan Ivan.
"Nggak usah, Nyonya. Nanti Tuan marah kalau Nyonya ke dapur," kata Devi tak enak.
"Nggak! Nggak kok." Mayang bersikeras meskipun ia belum pernah membuat waffle. Makan saja ia belum pernah. Kedua mata Mayang melirik Ivan yang juga tengah menatapnya.
"Selamat pagi, Tuan," sapa Devi dan Intan.
"Ya, pagi." Ivan mendekati mesin pembuat kopi lalu meletakkan cangkir kecil di sana. "Kamu ngapain di sini, May?"
"Cuma ... cuma mau liat mereka masak." Mayang menghindari tatapan Ivan dengan berpura-pura menyimak apa yang dilakukan oleh kedua asisten rumah tangga Ivan.
"Kalau kamu di sini, kamu juga harus pakai baju pelayan kayak mereka," kata Ivan dengan nada meledek.
Mayang mendengkus karena ia ingat ia bersedia menjadi b***k Ivan selama setahun. "Om bikin kopi apa?" Mayang memutuskan untuk mengalihkan obrolan. Ia mendekati Ivan yang sedang menunggu kopinya jadi.
"Kamu mau?" tanya Ivan. Pria itu mengangkat cangkir kopinya di udara. Aroma segar yang tak biasa langsung menguar di penciuman Mayang. Melihat Mayang menelan saliva cukup membuat Ivan merasa senang. Tampaknya Mayang sangat ingin mencicipi kopi buatannya.
"Boleh, Om?" tanya Mayang. Ia sangat suka dengan kopi. Segala macam kopi. Karena kopi adalah senjatanya untuk tetap membuka mata di saat ia sudah sangat mengantuk, tetapi pekerjaan dan tugas kuliahnya menumpuk.
Ivan menyodorkan cangkirnya ke bibir Mayang, tetapi ketika Mayang hampir mendekati bibir cangkir, dengan sengaja Ivan menariknya. "Bikin aja sendiri. Emangnya aku pembantu kamu!"
Mayang mendesis kesal. Ia mengepalkan tangannya seketika. Ia tak tahu bagaimana cara menggunakan mesin kopi itu dan ia bertambah kesal seketika.
"Kamu jangan ngelunjak di sini meskipun semua orang memanggil kamu nyonya. Kamu hanya mainan aku, jadi jangan sok berkuasa di sini," kata Ivan dengan senyuman miring.
Mayang menatap Ivan yang kini berpindah ke meja makan. Ia benar-benar dibuat jengkel dengan pria itu, padahal tadi malam sudah mengira Ivan adalah seorang ayah yang baik. Barangkali, Ivan punya dua kepribadian, pikir Mayang dalam hati.
Mayang kini melirik kulkas. Ia segera membukanya dan bersyukur bisa menemukan apel merah besar di sana. Ia mengambil satu, juga s**u cokelat karton besar. Ah, senangnya, pikir Mayang lagi.
Mayang menggigit apel sembari mengambil gelas tinggi lalu menuangkan s**u itu di sana. Mayang kembali menggigit apel dengan suara keras, ia bahkan duduk di atas konter tanpa peduli Ivan sedang menonton semua aksinya.
"Astaga, aku nggak percaya bisa nikah sama cewek kayak gitu," batin Ivan. Ia tak mengalihkan tatapannya dari Mayang yang begitu seksi menggenggam apel lalu menggigit daging buahnya dengan rakus. Ivan tersenyum tipis. "Seenggaknya dia cantik. Jadi, dia pantes dipamerin ke orang lain. Biar aja kelakuannya nggak jelas. Dia pasti bisa berubah."
Sembari menikmati buah apel dan susunya, Mayang pun bisa menghirup aroma nikmat waffle yang dibuat di dapur itu. Seketika, ia mengulum bibir. Ia belum cukup kenyang dan mulai membayangkan bagaimana makanan itu masuk ke mulutnya. Namun, apakah ia juga diperkenankan makan bersama Ivan?
Mayang mendengkus hingga ia merasakan tatapan Ivan tertuju padanya. "Dasar om-om m***m!" batin Mayang. Ia melotot, tetapi Ivan hanya melambaikan tangannya dengan lembut.
"Ada apa, Om?" tanya Mayang hati-hati.
Ivan mengulurkan cangkir kosongnya pada Mayang. "Bawa ini ke dapur. Abis itu, kamu naik lagi ke kamar. Ambilkan tas kerja aku lalu panggil Reva dan ajak dia sarapan."
"Sial!" batin Mayang. "Oke. Apa aku juga boleh sarapan di sini?"
"Tentu aja. Kita makan bertiga mulai hari ini," kata Ivan. Ia mengibaskan tangannya agar Mayang lekas berlalu.
Mayang pun membuang napas panjang lalu melakukan apa yang diinginkan oleh Ivan. Pertama, ia meletakkan cangkir Ivan di wastafel, tetapi kemudian ia memutuskan untuk mencucinya sekalian. Lalu ia berlari naik ke kamar untuk mengambil tas kerja Ivan. Ia juga sekalian mengambil tasnya. Ia ada kuliah pagi dan tak ingin ketinggalan.
Kemudian, Mayang mencari kamar Reva. Untung saja, itu tak sulit karena ada nama besar di daun pintunya. "Beruntung banget bocah itu tinggal di rumah kayak gini. Kamarnya aja besar banget." Mayang terkesima ketika membuka kamar Reva.
"Nona, ayo ganti baju!" Meri terlihat frustrasi karena Reva tengah melompat-lompat di atas ranjang hanya dengan celana dan kaos dalam. Sementara ia sudah merentangkan baju kecil berwarna biru yang Mayang tebak adalah seragam sekolah. "Ayo, Nona! Keburu siang."
Mayang berdehem hingga Meri menoleh. Bahkan, Reva pun menghentikan aksinya lalu duduk manis. "Hei, Reva. Papa ... papa kamu mau kamu turun sekarang. Kita harus sarapan bareng."
"Aku nggak mau makan sama Tante!" Reva mencebik dengan tatapan sengit ke arah Mayang.
"Astaga, bocah ini pasti ngira gue mau nyuri bapaknya. Sial. Ambil aja, ambil! Gue nggak doyan sama bapak lo!" umpat Mayang dalam hati.
"Buruan ganti baju. Nanti kita turun bareng. Bi Devi bikin waffle enak banget," kata Mayang dengan nada dibuat-buat. Ia bahkan menjulurkan lidahnya untuk membasahi bibir dengan ekspresi kelaparan.
Berhasil! Reva langsung mendekati Meri lalu mengulurkan kakinya untuk memakai celana panjang dan baju seragamnya. Meri pun melempar senyum pada Mayang. Beruntung, Mayang bisa membujuk Reva.
"Rambutnya dikuncir dulu," kata Meri seraya mengangkat kotak ikat rambut mini dan juga sisir.
"Nggak mau!" protes Reva.
"Ayo dong, Nona Reva Cantik. Kalau nggak dikuncir, nanti rambut kamu berantakan," kata Meri lagi.
"Nggak! Nggak mau!" Reva hampir melompat turun ranjang tetapi Mayang lebih dulu menghadangnya. "Aku nggak mau dikuncir."
"Nggak kok. Tapi ... Tante bisa bikin kepang yang cantik di rambut kamu. Nanti bisa kayak princess!" Mayang melipat kedua tangannya di depan bocah tengil itu.
"Princess?" Kedua mata Reva membelalak.
Mayang mengangguk mantap. Ia sudah sering mendandani anak kecil. Jadi tak akan sulit membuat Reva terkesan. "Duduk manis di depan kaca, Tante bikin kamu makin cantik."
Entah bagaimana, Reva pun menurut. Mayang pun mulai beraksi dengan keahliannya. Dalam beberapa menit, rambut panjang Reva sudah berubah dengan kepang kecil di sisi kanan dan kiri lalu kepang itu menyatu ke belakang menjadi kepang yang lebih besar. Mayang juga menambahkan dua pita besar di ujung kepangannya.
"Gimana? Cantik, 'kan?" tanya Mayang.
Reva mengangguk senang lalu melompat turun dari atas kursinya. "Makasih, Tante!"
"Sama-sama, Cantik!" Mayang tersenyum lebar. Ia lalu mengambil tas Reva yang ada di atas ranjang. Mayang pun mengulurkan tangannya agar Reva mau memakai tasnya sendiri dan itu berhasil. "Ayo kita turun, Va."
Begitu turun ke lantai satu, Ivan pun melihat Reva sudah didandani cantik bahkan memakai tas sendiri.
"Papa! Tante udah bikin aku cantik," kata Reva pada Ivan.
Ivan melihat ekspresi pongah dari Mayang, istri kontraknya. Padahal, Ivan tadi hendak mengerjai Mayang karena yakin Mayang tak akan mudah membujuk Reva turun. Sayangnya, ia justru merasa terkesan dengan cara Mayang memperlakukan putrinya.