Mayang berlarian setelah ia keluar dari taksi. Ia langsung mencari di mana Damar dirawat. Damar adalah saudara kembar Mayang. Sama seperti dirinya yang bekerja keras setiap hari, Damar juga. Mayang tahu, saat ini Damar bekerja di sebuah konstruksi bangunan hotel baru. Dan Damar memang lembur malam itu.
“Suster! Suster!” panggil Mayang pada perawat yang berjaga. “Kakak saya ... Damar Narendra, di mana dia?”
“Pasien yang jatuh dari gedung?” tanya si perawat.
“Ya, Sus!” Mayang mengangguk cepat. Pikiran Mayang sangat kacau karena ia dengar Damar terjatuh dari lantai 5. Ia tak bisa membayangkan seperti apa kondisi Damar saat ini.
“Pasien ada di sana dengan dokter,” kata perawat seraya menunjuk ke ujung ruangan.
Mayang menguatkan dirinya ketika ia mendekat ke brankar yang ditunjuk. Ia berjalan cepat ke sana, tetapi begitu ia melihat kondisi Damar, tubuhnya serta merta lunglai. Ia berpegang pada tepian brankar lain untuk tetap bisa berdiri.
“Dokter, kakak saya ... bagaimana kondisi ... kakak saya?” tanya Mayang terbata. Ia tak mengalihkan tatapannya dari Damar yang terbaring dengan banyak alat di tubuhnya. Ada darah di mana-mana, banyak darah!
“Saudara Damar mengalami benturan yang parah di kepala dan tulang belakangnya. Dia harus segera dioperasi, apa hanya Anda walinya?” tanya dokter itu.
Mayang mengangguk. Ia hanya memiliki Damar dan juga sebaliknya. Kedua orang tua mereka mungkin sudah lama meninggal dunia karena sejak kecil mereka tinggal di panti asuhan. Baru ketika mereka beranjak dewasa, mereka memutuskan untuk tinggal mandiri berdua saja.
“Kalau begitu Anda bisa mengurus administrasinya segera agar operasi itu bisa dilakukan,” kata dokter itu lagi.
“Ayo, saya anter ke ruang administrasi,” kata perawat.
Mayang mengusap pipinya. Ia tak memiliki uang untuk operasi ini. Ia yakin, dengan kondisi Damar sekarang, ia pasti akan butuh banyak uang.
“Suster, berapa banyak yang harus saya bayarkan untuk operasi itu?” tanya Mayang ketika ia mengisi formulir di meja administrasi.
“Pastinya itu puluhan juta, Mbak. Pasien nggak punya asuransi dan jaminan kesehatan, jadi semuanya harus dibayar mandiri,” kata sang perawat.
Mayang semakin keras menangis. Bahkan tak ada satupun orang dari pihak kontruksi yang terlihat. Sepertinya mereka lepas tangan begitu saja setelah Damar terjatuh di lokasi. Yah, Damar bukan pekerja tetap di sana. Damar mungkin tidak terdaftar secara resmi di tempatnya bekerja.
Mayang tak tahu lagi harus meminta tolong dengan siapa. Bahkan jika Damar bisa dioperasi, Damar pasti butuh banyak uang untuk biaya rehabilitasi medik agar ia bisa pulih seperti sedia kala.
Pada saat itu, Mayang tiba-tiba melihat sosok yang tak asing sedang mondar-mandir di ruang UGD. Pria itu, Ivan! Pria gila yang baru saja menawarkan uang 2 miliar padanya. Seketika, pemikiran yang lebih gila daripada Ivan pun muncul di benak Mayang.
“Gue butuh uang demi kesembuhan kak Damar. Kak Damar udah bekerja keras demi sekolah dan kuliah gue. Gue nggak bisa kehilangan kakak gue,” batin Mayang. Ia meremas pulpen yang tengah ia pegang itu.
Selama ini, Damar sudah bekerja siang dan malam. Semuanya demi mencukupi kebutuhan hidup mereka yang semakin tinggi di ibukota. Ditambah, Mayang juga harus membayar biaya kuliah.
Dengan penuh tekad, Mayang akhirnya meninggalkan meja administrasi. Ia berjalan cepat mendekati Ivan lalu menarik lengan pria itu.
“Misi, Om. Saya mau ngomong sesuatu,” ujar Mayang.
Ivan tentu terlonjak dengan kehadiran Mayang. Beberapa menit lalu di mobilnya, ia melihat Mayang yang arogan menolaknya. Dan kini di depannya, Mayang berdiri, menangis dan begitu rapuh.
“Apa maksud kamu?” tanya Ivan.
“Saya mau bahas masalah yang tadi,” kata Mayang cepat. “Ayo bicara bentar, Om. Plis.”
Ivan menoleh pada putrinya yang terbaring di atas tempat tidur. Kondisi Reva sudah stabil menurut dokter, tetapi anak 6 tahun itu harus dirawat malam ini.
“Oke.” Ivan pun menggiring Mayang keluar dari ruang UGD. Sepanjang perjalanan, ia mendengar Mayang terisak-isak hingga ia penasaran apa yang terjadi.
“Apa penawaran Om masih berlaku?” tanya Mayang ketika mereka sudah ada di koridor dekat lobi.
“Apa?” Ivan tercengang. “Kamu udah nolak tadi dan sekarang kamu ... mau?”
Mayang mengangguk cepat. “Ya. Saya butuh uang malam ini juga.”
Kedua alis Ivan langsung mengerut. Bagaimana bisa gadis ini berubah pikiran dalam waktu beberapa menit. “Kenapa? Kenapa tiba-tiba?”
Mayang memalingkan wajahnya dari Ivan. Ia lalu menunjuk ke arah brankar Damar yang ada di dalam ruangan lalu ia berkata, “Kakak saya kecelakaan dan butuh dioperasi segera. Saya ... saya nggak punya uang. Tolong, selamatkan kakak saya.”
Ivan berjalan mendekat ke arah dinding kaca pemisah antara koridor dengan ruang UGD. “Apa yang terjadi dengan kakak kamu?”
“Dia jatuh. Dia jatuh dari kontruksi hotel tempatnya bekerja,” jawab Mayang sambil menangis. “Saya akan ngelakuin apapun asalkan kakak saya bisa dioperasi dan selamat! Pernikahan kontrak itu, saya akan lakukan!”
Ivan tersenyum miring. Ini adalah kesempatan yang bagus. Ketika ia menginginkan Mayang, gadis itu justru menolaknya. Namun, takdir justru membuat Mayang sendiri yang sudah mengemis padanya.
“Kamu bisa bicara dengan asisten saya kalau begitu. Saya butuh mengecek beberapa hal tentang kamu sebelum kita sepakat,” ujar Ivan.
Mayang mengangguk. Ia akan melakukan apapun demi Damar. Ia tak bisa kehilangan Damar. Hanya setahun, tak ada banyak hal yang berubah dalam setahun. Ia meyakinkan dirinya. Pernikahan ini hanya pura-pura dan ia hanya perlu bersandiwara. Ia akan kembali pada Bayu, pacarnya, setelah pernikahan itu usai. Bayu akan mengerti karena ia melakukan itu demi kesembuhan Damar.
***
Mayang mengulurkan KTPnya pada Toni, pria pemaksa yang kini ia ketahui sebagai asisten pribadi Ivan. Ia sudah menjawab berbagai pertanyaan dari Toni seputar dirinya. Ia menceritakan semua hal tentang masa lalu serta kehidupannya, dan kini mereka sedang menunggu hasil tes laboratoriumnya.
“Kenapa kita harus ngelakuin ini?” tanya Mayang. “Aku udah sepakat, Om. Aku bisa nikah kapan aja sama om Ivan, yang penting kakak aku bisa segera dioperasi!”
“Tenang, Nona. Anda nggak perlu marah-marah,” kata Toni. Ia pun dibuat terkejut dengan takdir yang mempertemukan tuannya dengan Mayang di rumah sakit ini. Sungguh suatu keberuntungan. “Anda bekerja di tempat kotor sebagai wanita malam dan tuan Ivan ingin Anda bersih. Beliau tidak akan mau menyentuh wanita yang tidak sehat.”
“Apa?” Mayang membelalak. “Kayaknya Om udah salah paham. Aku ... aku buk—“
“Saya ambil hasil tesnya dulu,” kata Toni memotong ucapan Mayang.
Mayang menyugar rambutnya. Ia mengumpat dalam hati. Hanya karena ia bekerja di kelab malam dan dilelang di sana, ia sudah dianggap sebagai w************n. Oh, sialan! Mayang mengepalkan tangannya, ia akan menerima penghinaan ini untuk saat ini karena ia memang butuh bantuan dari Ivan.
“Hasilnya bagus. Anda bersih.” Ivan mendekati Mayang lalu membuka tasnya. “Sekarang, mengenai surat kontrak. Anda bisa membaca ini lebih dulu dan jika Anda tidak sepakat atau hendak menambah poin di sana, silakan.”
Mayang menerima beberapa lembar kertas yang diulurkan oleh Toni. Entah apa yang ditulis oleh Ivan, ia tak peduli. Lagipula ini hanya pernikahan pura-pura. “Gimana aku tanda tangan?”
“Tulis nama Anda di sini, di sini dan di sini.” Ivan menunjuk ke beberapa bagian kertas. “Lalu terakhir, Anda bisa menandatanganinya. Tuan Ivan sudah tanda tangan.”
“Oke.” Mayang segera menulis.
“Saya sarankan, Anda lebih baik membacanya dulu, Nona.” Ivan mengingatkan, tetapi itu sia-sia karena Mayang langsung mendatangi surat tersebut.
“Apa bedanya? Aku tetap harus ngelakuin itu demi kak Damar.” Mayang memberikan kembali berkas kontraknya pada Ivan. “Sekarang, bisakah kakak aku dibawa ke ruang operasi?”
“Ya! Tentu saja. Malam ini juga kakak Anda akan dioperasi.”
***
Ivan menoleh pada Toni yang baru saja masuk ke kamar Reva. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh kecil putrinya lalu ia pun duduk di sofa sementara Toni berdiri.
“Gimana cewek tadi?” tanya Ivan.
“Nona Mayang sudah tanda tangan. Pemeriksaannya berjalan dengan baik,” jawab Toni.
“Dia benar-benar tanda tangan?” tanya Ivan. Ia memberi berkas surat kontrak dan memeriksanya.
“Ya, nona Mayang langsung tanda tangan tanpa membaca ini,” jelas Toni.
Ivan tertawa kecil. “Kayaknya dia benar-benar butuh uang dariku.”
“Ehm, nona Mayang sangat mencemaskan kakaknya, Tuan. Kondisinya sangat parah dan meskipun dioperasi, saya yakin dia tidak akan bisa pulih seperti sebelumnya. Dia jatuh dari lantai 5.”
Ivan membuang napas panjang. “Bagaimana dengan keluarga mereka?”
“Mereka tidak punya siapa-siapa lagi. Mereka saudara kembar. Sejak bayi, mereka tinggal di panti asuhan dan tidak pernah diadopsi. Jadi, setelah dewasa mereka tinggal berdua saja,” jelas Toni.
“Jadi, Mayang nggak punya orang tua?” tanya Ivan.
Toni mengangguk. “Ya. Nona Mayang hanya memiliki kakaknya. Jadi, nona Mayang bersedia menjadi istri kontrak Anda demi kesembuhan kakaknya.”
“Bagus deh. Jadi, aku nggak perlu ngerasa bersalah sama orang tua Mayang. Aku juga nggak perlu berurusan sama mertua,” ujar Ivan dengan nada lega. “Bagaimana kehidupan Mayang selama ini?”
“Nona Mayang bekerja sambilan setiap hari setelah kuliah. Senin dan Selasa menjadi tutor anak SD. Rabu hingga Jum’at, nona Mayang bekerja di sebuah restoran cepat saji dan malam Minggu, di kelab tadi.”
Ivan mengangguk. Itu pasti adalah kehidupan berat bagi gadis semuda Mayang. “Apa dia mengajukan syarat lain?”
“Tidak, Tuan. Tapi sepertinya beliau ingin bicara dengan Anda sendiri mengenai hal itu.”
“Oke. Kamu bisa keluar. Urus pernikahan aku dalam 3 hari ke depan dan pastikan Mayang nggak kabur!” perintah Ivan.
“Baik, Tuan.”
Ivan kembali melihat surat kontrak itu. Ia tersenyum puas karena akhirnya ia bisa mendapatkan seorang gadis muda untuk ia jadikan istri sementara. Ia akan membuat cemburu Reni, mantan istrinya, jika ia bisa menikah dengan wanita yang lebih muda darinya. Mungkin juga, ia bisa membuat Reni kembali padanya. Itulah tujuan Ivan menikah kontrak.
“Kamu bodoh sekali, Mayang. Kamu nggak baca ini lebih dulu? Jangan sampai kamu protes nantinya.” Ivan tertawa puas sebelum akhirnya ia menyimpan surat kontraknya.