“Kalau Ridho sudah kami tanyakan dan katanya dia setuju aja soal itu,” ucap Rendra lagi membalas ucapan Firman tadi.
“Kalau begitu, kami akan tanyakan juga kepada Nayla untuk kepastian jawabannya,” kata Firman pula dengan masih bersikap sopan.
“Baik. Kami berharap Nayla akan setuju dan bisa melakukan resepsi pernikahan di kediaman kami nantinya. Kami akan membawa Nayla tentunya ke kota setelah pernikahan di sini selesai dan kalau bisa memang selesai empat puluh hari mendiang abi Yahya aja biar lebih afdhal.” Leni berkata pula menambahkan jawaban dari pihak keluarganya.
Meski pun dia duduk di meja yang berbeda dengan kaum lelaki, akan tetap dari tadi sudah bisa didengar Leni selalu menyela ucapan dari para lelaki yang sedang berunding. Sebenarnya, itu adalah hal yang paling tidak disukai oleh abi Yahya terhadap adab seorang wanita dalam perkumpulan yang ada pria di dalamnya.
Kecuali, memang sudah diizinkan untuk wanita membuka suara atau mengemungkakan pendapat dan sarannya. Itu baru lah dibenarkan dan tidak seperti yang sejak tadi dilakukan oleh Leni sejak tadi.
“Terima kasih karena Ibuk sudah mau menunggu dan soal ini tentu kami juga harus berunding dulu. mengingat sekarang saya dan Firman adalah wali untuk Nayla setelah kepergian abi.” Ali berkata dengan mengulas senyum kepada Rendra.
“Iya. Saya bisa mengerti dan memahami soal itu, Nak Firman. Kami juga akan selalu menghargai hal ini karena memang almarhum sendiri yang sudah sepakat tentang pernikahan Nayla bersama Ridho sejak awal. Kami bahkan belum sempat merundingkan segala macamnya, tapi abi sudah lebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.”
“Ajal nggak ada yang bisa tau kapan datang dan bagaimana caranya, Pak. Jadi, hendak lah kita sebagai umat nabi selalu bersiap akan datangnya kematian itu dan memperisakan juga bekal untuk akhirat nanti.”
“Benar yang Nak Firman katakan. Kalau begitu, sekarang kami pamit pulang ke kota dulu. Kami akan datang lagi lusa dengan membawa Ridho tentunya. Untuk sekarang, tentu Ridho akan kami mintakan izin agar diperkenankan pulang bersama kami,” pinta Rendra dengan segala kerendahan hatinya pada Firman dan Ali.
“Tapi, Pa … kalau bisa, Ridho masih tetap ingin di sini. Ridho ada tugas dan kewajiban yang tetap harus dijalani di sini,” tolak Ridho dengan sopan kepada Rendra.
“Jangan gitu, Nak. Kamu kan harus siap-siap juga untuk pernikahan kamu besok. Mana bisa kamu sendirian di sini bersiap. Mama dan Papa juga nggak bisa tinggal karena banyak hal yang juga harus kami urus di kota,” sambar Leni lagi yang bahkan sudah berdiri dari duduknya.
Syifa dan Marwah juga reflek berdiri demi menghargai tamunya yang sudah terlebih dahulu berdiri. Mereka sejak tadi hanya berdiam diri karena tidak ingin membuat suami mereka marah atau malu jika salah berbicara atau bersikap.
“Besok hanya akan ada ijab qabul yang dihadiri seluruh penghuni pondok pesantren ini dan keluarga inti kita. Apa yang harus dipersiapkan sampai Ridho harus ikut pulang?” tanya Ridho yang tidak bisa menahan penolakannya kepada permintaan Leni itu.
“Duh, Nak! Namanya aja nikah, ya pasti banyak persiapan. Meski pun ini masih hanya ijab qabul nya aja.” Leni berkata dengan ketus dan membuat Ridho merasa malu atas sikap ibunya itu.
Ridho tampak menunduk malu karena ucapan dan sikap yang tidak bersahabat dari ibunya itu. Firman dan Ali menyadari sikap Ridho yang merasa sungkan kepada mereka atas perilaku yang baru saja ditunjukkan oleh ibunya itu. Tentu saja Firman dan Ali tidak ingin membuat Ridho semakin merasa canggung dan tidak enak hati.
“Kalau begitu, silakan rundingkan dulu aja, Dho. Biar kami keluar dulu dan menunggu di halaman depan. Sambil memantau santri dan santriwati yang sedang mengerjakan piket di halaman,” pamit Firman dengan sopan dan berdiri dari duduknya, diikuti oleh Ali dan kemudian diiringi oleh istri mereka masing-masing.
Tentu saja Syifa dan Marwah sudah mengatakan pamit juga kepada Leni yang masih berdiri di depan mereka dengan tatapan sedikit jengkel kepada anaknya – Ridho yang menolak pulang ke kota bersama mereka.
“Maaf, Bang. Saya akan menyelesaikan semuanya dengan cepat,” kata Ridho dengan segan pada Firman dan Ali.
“Baiklah kalau gitu!” balas Firman dan Ali bersamaan lalu menggandeng istri mereka masing-masing keluar dari aula pertemuan dan membiarkan Ridho untuk menyelesaikan dulu masalah keluarganya dengan orang tuanya.
Sepeninggal mereka berempat, Ridho langsung memandang dengan tatapan memohon kepada ibunya yang masih tampak kesal dan sinis. Ia tahu, watak ibunya itu sangat keras dan sangat susah diajak berkompromi.
Sebenarnya, pernikahan ini pun sempat tidak direstui oleh Leni karena tidak pernah menginginkan memiliki menantu yang berasal dari pondok pesantren seperti Nayla. Apalagi Nayla adalah putri pemimpin dan pemilik pondok pesantren ini.
Sudah bisa dipastikan oleh Leni jika Nayla tidak akan bisa menjadi temannya ke mana-mana nantinya. Padahal, dia sudah berkhayal akan mendapatkan menantu yang modern dan modis. Bisa sejiwa dan sepemikiran dengannya yang hobby belanja serta melakukan perawatan.
“Ma … Pa … jangan paksa Ridho untuk pulang ke rumah. Ridho nggak mau meninggalkan pekerjaan Ridho di sini,” ucap Ridho kepada kedua orang tuanya dengan nada merendah.
“Papa setuju aja sama keputusan kamu, Dho. Mama juga seharusnya setuju aja karena memang besok nggak ada yang perlu terlalu diurus untuk keperluan menikah di sini,” jawab Rendra dengan berbesar hati kepada putranya itu.
“Nggak bisa gitu, dong Pa! Mama udah bilang sama keluarga kita kalau Ridho akan pulang mondok dan juga akan nikah sama pemilik pondok. Mereka mau ketemu Ridho, seperti ibarat katanya pesta lajang gitu lah malam ini.” Leni jelas membantah tanggapan dari Rendra itu mentah-mentah.
“Nggak ada istilah pesta lajang begituan, Ma. Ridho nggak mau ikut-ikutan trend luar yang seperti itu,” bantah Ridho pula tak mau kalah.
“Lagian Papa sih! Dari awal Mama udah bilang nggak usah terima perjodohan itu. Soalnya Ridho juga udah mau Mama jodohin sama anaknya temen Mama yang pemilik butik terkenal itu. Papa ngeyel banget sih soalnya!” gerutu Leni yang baru menampakkan sifat aslinya saat tidak ada orang lain di sana kecuali hanya mereka bertiga.
“Ma!” tegur Rendra langsung dengan rahang mengeras karena takut jika ucapan Leni itu terdengar oleh orang lain yang akan bisa menimbulkan masalah nantinya di kemudian hari bagi Ridho.
“Apa? Memang iya kan yang Mama bilang itu? Papa sama anak nggak ada bedanya sih! Sama-sama pemikirannya kolot banget. Sebel banget Mama jadinya kalau gini!” omel Leni masih tanpa henti.
“Kolot gimana maksud Mama? Mama nggak liat banyak perubahan dalam kehidupan Ridho setelah dia akhirnya masuk dan belajar di sini? Itu adalah bekal utama kita sebagai manusia agar bisa menjadi lebih baik lagi. Mama nggak boleh terlalu membanggakan dunia dan melupakan akhirat seperti ini. Apalagi, kita udah tua!” ungkap Rendra yang sebenarnya juga sudah mulai jenuh dengan sikap istrinya itu.
Leni memang tidak setuju pada awalnya saat Rendra menyarankan Ridho yang berandalan masuk ke pondok pesantren untuk menimba ilmu agama lebih baik dan banyak lagi. Siapa sangka gayung itu bersambut dan Ridho mau dengan suka rela tanpa paksaan dan juga tanpa sogokan ini itu. Dalam waktu singkat, Ridho menunjukkan bahwa dirinya bisa berubah dan akhirnya menjadi murid kesayangan abi Yahya.
Leni masih merasa kesal dan terpaksa menerima keputusan suaminya yang sudah setuju dengan perjodohan antara Nayla dan Ridho itu. Padahal, mereka saja sebagai orang tua Ridho juga sama sekali belum pernah bertemu dan berbicara langsung dengan Nayla.
“Kamu bilang, calon istri kamu itu nggak pakai cadar kan, Dho?” tanya Leni sedikit menyelidik pada Ridho.
“Iya, Ma. Sekarang belum dan setelah menikah aku akan suruh pakai niqab supaya pandangan orang lain juga terbatas kepadanya!” jawab Ridho dengan tegas dan membuat Leni kembali merasa kesal serta jengkel.
“Kenapa? Kok malah disuruh pakai cadar sih? Biar aja nggak pakai cadar. Kalau cantik kan Mama jadi pede ke mana aja sama dia!” seru Leni dengan bangganya.
“Dan setelah menikah nanti, Ridho dan Nayla akan tetap tinggal di sini. Mama nggak boleh egois dengan langsung berharap kalau Ridho akan kembali dan membawa Nayla hidup di rumah dan kota yang asing baginya secara mendadak seperti itu,” ungkap Ridho.
“Kenapa nggak? Dia sebagai menantu dan istri kamu, tentunya harus nurut aja apa kata suami! Nggak boleh membantah!”
“Tapi … nggak ada anjuran dan kewajiban untuk Nayla nantinya menuruti semua perkataan Mama lho!”
Mendengar ucapan Ridho itu, terus terang saja Leni langsung merasa kesal kepada putranya itu. Ia tidak mengira kalau sekarang Ridho akan setegas itu dan tidak ada toleransi sama sekali kepada dirinya. Padahal, dulu Ridho sangat manja padanya dan akan menuruti semua yang Leni ucapkan.
“Mama akan minta langsung sama istri kamu itu setelah kalian resmi bercerai. Kalau perlu, Mama yang akan minta sama keluarganya kalau kamu nggak tega minta sendiri hal itu!” tegas Leni kepada Ridho dengan seringai tajam.
Di balik dinding aula yang pintunya masih terbuka lebar, sepasang teling sudah mencuri dengar percakapan mereka itu sejak tadi. Dan senyuman licik mulai tersimpul di kedua sudut bibir yang tipis dan tampak merah ranum.
“Oke. Aku akan terima perjodohan ini dan buat hidup mereka berubah total. Berani mereka mengambil kehidupanku yang sekarang, maka mereka harus menerima konsekuensinya!” gumam seorang wanita yang senyumnya tersembunyi di balik sehelai cadar berwarna merah maroon itu.