Proses pemakaman Yahya berlangsung dengan penuh haru biru dari seluruh penghuni pondok pesantren itu. Zulha tidak ikut mengantarkan jenazah Yahya sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya karena memang tidak diperbolehkan dalam islam. Ia harus tetap di rumah menjaga marwahnya.
Begitu pula dengan Nayla yang berulang kali pingsan sehingga tidak diperbolehkan ikut mengantar jenazah Yahya ke liang lahat. Hanya Ali dan Firman saja anggota keluarga yang mengantarkan, selebihnya adalah para pengajar dan juga para santri di pondok itu. Semua selesai tepat di jam sepuluh pagi ini dan semua rombongan sudah kembali ke pondok untuk menggelar doa bersama.
“Mi … Abi mana, Mi?” tanya Nayla setelah ia sadar dari pingsannya yang entah sudah ke berapa kali sejak subuh.
Tubuh lemahnya tidak lagi berseri dan ceria seperti biasa. Ia tampak pucat dan sembab dengan isak tangis yang sendu masih tidak bisa hilang dari dirinya. Ketika ia teringat bahwa Zulha dan kedua abangnya mengucapkan kalimat duka, Nayla kembali terisak dan tak sanggup menerima kenyataan itu.
“Abi udah dipanggil Allah duluan, Nak. Abi udah senang kembali pada Sang Penciptanya.” Zulha menjawab dengan memberikan usapan lembut pada wajah dan kepala Nayla yang masih tertutup dengan kerudung.
“Kenapa Abi pergi duluan, Mi? Semalam pasti Abi bilang sesuatu sama Ami kan? Apa Abi segitu marah dan bencinya sama Nay? Sampai Abi tega ninggalin Nay seperti ni, Mi?” tanya Nayla bertubi-tubi kepada sang ibu tercinta.
“Nggak, Sayang. Abi nggak pernah benci sama Nayla. Nay tetap anak gadis kesayangan Abi dan sampai tadi malam pun, Abi masih tidak bisa tenang karena memikirkan Nay,” bantah Zulha dan mengatakan semua yang terjadi sebelum mereka beranjak tidur dan Zulha kecolongan waktu Yahya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya itu.
“Tapi kenapa secepat ini, Mi? Kenapa?” tanya Nayla lagi dengan tangis yang kembali pecah.
“Udah lah, Nay. Sekarang kita harus ikhlas dan terima kenyataan ini meski semuanya terasa sangat sulit. Abi nggak akan suka liat kita bersedih dengan kepergiannya.”
“Ami liat tadi kan, Mi? Abi senyum karena bahagia udah nggak harus pusing ngurusin Nay yang bandel lagi, Mi!”
“Nggak gitu, Sayang. Semua itu nggak benar.”
Zulha dan Nayla tidak lagi saling berbicara. Keduanya masih larut dalam kesedihan dan suasana berkabung jelas terasa di lingkungan pondok pesantren itu. Banyak warga kampung yang juga datang untuk bertakziah dan mengucapkan bela sungkawa dan turut berduka atas kepergian Yahya.
Siang berganti malam, dan acara yasinan pun sudah dimulai oleh para pria di bagian luar dan para wanita di bagian dalam rumah. Karena rumah Yahya dan Zulha cukup besar, jadi semua itu cukup untuk menerima tamu yang datang bertakziah.
Ada beberapa ibu-ibu kampung yang datang dengan membawa nasi dan juga lauk pauk untuk keluarga yang ditinggalkan karena memang seperti itu tradisi di sana selama tiga hari berturut turut. Keluarga yang ditinggalkan tidak mungkin sempat memikirkan masakan untuk makan mereka, sehingga para warga saling bergantian mengantarkan nasi dan lauk pauk beserta sayur mayurnya. Terlihat sangat kompak dan kekeluargaan terjalin sangat kuat di sana.
Setelah yasinan itu selesa, Ali sebagai perwakilan dari keluarganya dan sebagai anak yang paling tua mulai membuka pidato singkatnya pada para tamu yang hadir di sana. Tidak sedikit, para orang tua santri dan santriwati juga turut hadir malam itu.
“Jadi, itu aja yang bisa saya sampaikan sebagai anak almarhum. Semoga Bapak dan Ibu semua berkenan memberikan maaf pada almarhum dan mendo’akan beliau dalam semua kebaikan di akhirat,” ucap Ali kepada semua yang hadir malam itu.
“Mengenai surat wasiat yang Abi tinggalkan, tolong disampaikan sekalian, Bang,” pinta Firman mengingatkan Ali akan hal itu.
“Apa nggak terlalu cepat kita mengumumkan hal itu?” tanya Ali seperti ragu karena ia yakin Nayla juga pasti mendengar semua yang sedang mereka bahas saat ini.
Sementara, sampai detik ini Nayla masih tidak tahu bahwa abi mereka meninggalkan sebuah surat yang sepertinya almarhum tulis sebelum meninggal dunia. Karena surat itu masih terletak di atas meja yang sama tempat kepala almarhum bersandar.
“Ridho … apa kamu siap mendengar isi surat itu?” tanya Ali melemparkan pertanyaan kepada pria tampan dengan wajah menyejukkan dan bernama Ridho itu.
“Insha Allah, siap, Bang!” sahutnya meski ia juga merasa heran dan kaget mendapatkan pertanyaan itu dari Ali.
“Baiklah kalau gitu. Kita akan membacakannya di sini malam ini, agar sama-sama saling bisa dimengerti dan dipahami nantinya oleh semua orang.” Ali berkata dan mengambil secarik kertas dari dalam saku baju koko berwarna putihnya itu.
Nayla yang mendengar hal itu dari dalam rumah, langsung menahan dirinya untuk tidak lagi bersandar pada dinding rumah dan ditahan oleh Zulha. Ia berusaha duduk dengan tegap sendiri dengan teanganya karena memang ia sama sekali tidak tahu kalau abinya meninggalkan surat wasiat.
“Teruntuk semua anggota keluarga Abi yang sangat Abi cintai dan sayangi. Abi merasa sepertinya waktu Abi sudah tak lama lagi. Jadi, itu sebabnya Abi menyempatkan diri dan waktu untuk mencoret kertas putih ini agar bisa kalian baca nantinya.
Untuk istriku Zulha, terima kasih sudah menemaniku selama empat puluh lima tahun dan terus berjuang bersamaku di jalan Allah tanpa pernah mengeluh. Sesungguhnya, bagiku engkau adalah bidadari surgaku dan akan aku nanti kehadiranmu di akhirat kelak untuk kembali mendampingiku.
Untuk Ali dan Firman, anak laki-laki Abi yang sangat Abi sayangi. Jadilah laki-laki yang kuat dan lindungi Ami serta adik kalian Nayla. Jaga dan hormati menantu Abi seperti Abi menjaga dan menghormati Ami kalian selama ini. Juga, didik lah anak-anak kalian dengan didikan yang slalu Abi ajarkan kepada kalian selama ini.
Terakhir, untuk Nayla anak bungsuku tersayang. Abi minta maaf jika sudah memaksamu menerima perjodohan dengan Ridho. Hanya dia pria yang bisa Abi percaya untuk menitipkan dirimu, Nak. Abi melakukan semua ini, bukan karena Abi benci padamu. Bukan karena Abi ingin melepaskan tanggung jawab dalam mendidik dan menjagamu. Namun, agar kamu lebih mengenal lagi arti dari kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang wanita.
Mungkin, saat dengan Abi dan kedua abangmu, kamu merasa lengah karena kami adalah keluarga intimu sejak kamu dilahirkan. Namun, saat nanti kamu menjadi seorang istri, kamu pasti akan mengerti dengan sendirinya semua yang Abi lakukan ini adalah untuk dirimu sendiri. Karena Abi mengkhawatirkan masa depanmu. Itu sebabnya, Abi memilih hari pernikahan kalian di malam ketiga setelah Abi pergi meninggalkan kalian semua.
Belum habis surat itu dibaca oleh Ali, ia mengambil napas panjang dan ia yakin sekarang Nayla masih terguncang dengan surat yang ia bacakan ini di dalam rumahnya sana. Namun, terdengar hanya isak tangis yang Nayla pecahkan dari dalam rumah. Tidak ada teriakan atau tidak histeris seperti yang biasa ia lakukan saat menolak sesuatu yang tidak ia sukai.
“Masih ada, Bang?” tanya Firman lagi.
“Ya. Sedikit lagi,” jawab Ali dan kembali menatap surat itu dengan fokus.
Abi titipkan Nayla pada Ridho karena Abi yakin Ridho adalah pria yang tepat untuk Nayla. Sholeh dan tampan, dari keluarga baik-baik, dan yang pasti Ridho adalah pemuda yang sabar serta gigih dalam mengerjakan tugasnya. Anggap lah, ini tugas terakhir yang Abi berikan pada Ridho.
Jagalah Nayla dan tolong jangan pernah tinggalkan dia apapun keadaannya. Abi sangat berharap Ridho bisa menyelesaikan tugas terakhir dari Abi dengan sangat baik.”
Semua yang mendengar Ali membacakan surat itu tak kuasa menahan isak dan tangisnya. Namun, mereka tentu mengerti bahwa itu adalah keinginan atau permintaan terakhir Yahya yang mana sebenarnya dia sangat ingin pergi setelah menyaksikan sendiri pernikahan Nayla dan Ridho.
Pada kenyataannya, Allah terlalu cepat memanggilnya dan malaikat datang menjemputnya di waktu subuh. Nayla dan Zulha mendengar dengan jelas isi surat yang dibacakan oleh Ali tersebut. Semua orang tahu bahwa itu tidak mungkin palsu.
“Nayla, pakailah mukenamu dan datang ke depan sini, Dek.” Ali memanggil Nayla dengan suara yang lantang.
Meski mereka berada di pondok pesantren, akan tetapi mereka sudah modern dan memperbolehkan pria bertemu dengan wanita dengan syarat tidak boleh memandang lebih dari tiga detik dan harus menundukkan pandangan pada lawan jenis yang bukan muhrim jika memang tidak diperlukan untuk saling bertemu atau bertatap.
Warga kampung sudah memahami dan mulai bisa menerima hal itu karena ajaran yang ada di sini tidak terlalu memberatkan individunya. Sesungguhnya Islam itu adalah agama yang mudah dan mempermudah. Maka sebab itu, tidak terlalu banyak larangan yang diterapkan di dalam pondok itu oleh Yahya selama ini.
Nayla meski dengan berat hati, akhirnya memakai mukenanya dan juga rok mukenanya. Sebelum itu, Zulha mengikatkan niqob berwarna hitam kepada Nayla karena takut Nayla akan menjadi pusat perhatian para lelaki di depan rumah mereka itu. Karena, tidak dipungkiri bahwa Nayla memang memiliki paras yang sangat cantik dan mempesona.
“Ngapain pakai cadar segala, Mi!” Nayla masih sempat protes sebelumnya akhirnya melangkahkan kaki ke teras depan rumah.
“Duduk lah, Dek. Dan liat lah pria di depanmu ini. Dia yang akan menjadi suamimu dan dia adalah pilihan Abi,” titah Ali kepada Nayla sejenak saat Nayla sudah berada di sisinya.
Nayla mengangkat kepalanya dan kemudian menatap intens pada wajah yang terkesan sangat lembut dan bersahaja itu. Secara kebetulan, Ridho juga sedang menatap Nayla yang kini wajahnya sudah tertutup cadar. Ridho sudah sering melihat wajah Nayla secara tidak sengaja karena selama ini memang Nayla tidak pernah menggunakan cadar saat bepergian ke mana-mana. Bahkan saat keluar dari pesantren sekali pun.
Ridho dapat melihat mata yang indah itu sembab mungkin karena terlalu banyak menangis. “Cantik,” gumam Ridho tanpa sadar dan kemudian segera mengalihkan pandangannya seketika saat ia menyadari bahwa ia bisa saja melakukan zina mata.
“Malam ketiga kepergian Abi, kalian akan menikah di sini dan tolong persiapkan diri kalian dengan baik. Ikhlaskan diri sebaik mungkin, agar semua berjalan dengan baik.” Ali berkata kepada Ridho dan Nayla.
“Tapi, Bang. Itu terlalu cepat. Abi baru aja meninggal, gimana aku bisa menikah secepat itu!” bantah Nayla dengan cepat.
“Tapi … itu adalah permintaan dari Abi sendiri,” sela Ridho dengan suaranya yang lembut dan baru kali ini Nayla mendengarnya secara jelas dan dari jarak dekat.
Seketika Nayla melirik tajam ke arah Ridho dan tentu saja Ridho sadar bahwa saat ini Nayla tengah menatapnya penuh dengan amarah yang menggebu. “Aku akan membuatmu menjadi cinta padaku setelah kita menikah nanti, Nay!” batin Ridho berkata dengan rasa sabar yang ia luaskan.