"MINGGIR DARI JALANKU!" teriak seorang perempuan yang mengendarai motor scoopy orange dan memakai helm putih. Dia memberikan usaha terbaiknya untuk melewati kemacetan luar biasa di jam pulang kantor itu dengan tekad yang kuat.
"Hei! Kembali! Kamu bukan satu-satunya yang sedang terburu-buru!" teriak seorang pengendara truk di belakangnya.
Lia menyeringai lebar.
'PERSETAN! Aku nggak butuh peringatanmu! Bosku bakal memecatku kalau telat!'
Dengan berpikir demikian, perempuan itu masih mendorong scoopy-nya melalui celah sempit di antara banyak mobil.
Sekarang, para pengemudi lain mulai berteriak ke arahnya juga. Beberapa dari mereka bahkan menyumpahinya dengan kata-kata tidak layak dan pantas. Lia melirik sebuah kesempatan untuk kabur dari neraka itu melalui sudut matanya.
"Kalian tak bisa menjatuhkanku dengan menyumpahiku! Aku tidak mudah untuk dihancurkan!"
Dengan cepat, dia membelokkan scoopy-nya ke kiri menuju sebuah gang, dan nyaris ditabrak oleh sebuah mobil dari arah berlawanan. Jantungnya membeku!
"KAMU INGIN MATI, ANAK MUDA?" teriak sang pengemudi dengan marah.
Amalia Rasyid mengerjapkan mata, tenggorokannya sulit menelan. "Ma-MAAFKAN SAYAAA!!!"
Setelah berteriak meminta maaf, scoopy-nya berlari dengan begitu cepat seperti sedang dikejar oleh anjing gila.
"INI TIDAK AKAN TERJADI JIKA SI PRIA BOTAK GENDUT ITU TIDAK MELUPAKAN DOKUMEN SIALAN PENTINGNYA! AKU BENCI DIA SELAMANYA!" teriaknya pada udara kosong dan mengendarai scoopy-nya dengan penuh kemarahan. Kedua sisi ujung baju sifon merahnya berkibar-kibar keras oleh terpaan angin.
***
"Hmmm... permisi. Saya dari PT. Angin Sejati Pembangunan. Bos saya, Pak Heriawan telah meminta saya membawakan dokumennya yang ketinggalan. Di mana rapatnya diadakan? Saya tak bisa menyerahkannya kepada orang asing."
"... dan nama Anda, nona?"
"Lia. Amalia Rasyid."
Wanita itu menaruh helmnya ke lantai, menggunakan dokumen penting di tangan sebagai kipas instan secara tidak sadar. Salah satu resepsionis perempuan memicingkan mata padanya, tapi segera mengabaikannya. Perempuan bernama Amalia Rasyid itu sedang terpesona dengan lobi hotel tersebut. Begitu luas dan rapi. Perabotannya tampak mahal, elegan, dan sangat modern. Coklat, putih, dan emas mendominasi ruangan. Tidak hanya itu, sepasang sofa merah menghiasi pemandangan. Ada patung tembus pandang futuristik dengan desain kompleks di dekat tangga. Dia bisa menghabiskan waktunya hanya untuk menikmati interior mewah ini tanpa ragu.
"Nona Lia? Nona Lia?!"
Lia menoleh dan tersenyum. "Jadi?"
"Anda bisa naik ke lantai tiga. Ruang A-5 di sisi kiri ketika Anda melangkah keluar dari lift. Pak Heriawan telah menunggu Anda di sana dengan tidak sabar. Suaranya terdengar panik."
"Oh! Terima kasih!" Lia tersenyum lebar dan berlari-lari kecil menuju lift.
***
Ketika telunjuk Lia hendak menekan tombol lift, sekumpulan besar orang memasuki lift dengan tergesa-gesa, itu membuatnya terdesak ke belakang dan tak sempat memencet tombol lift.
"Pe-permisi! Tolong lantai ketiga! Ada yang bisa pencet tombolnya?"
Lia berteriak meminta tolong, tapi tak satu pun dari mereka yang menanggapinya.
Semua sibuk berbisik satu sama lain dalam suara yang tegas dan cepat.
Dia hanya bisa menghela napas dan menunggu sampai pintu lift terbuka. Kerumunan di dalam lift sungguh padat hingga mendesak Lia maju ke depan, ke tengah, lalu ke depan lagi. Orang-orang itu berbicara dalam bahasa yang belum pernah didengarnya sebelumnya.
Setelah cukup lama menunggu, lift akhirnya terbuka. Sekali lagi, dia terdesak oleh kerumunan hingga ikut arus keluar lift. Tubuh Lia berputar-putar ketika mereka bergegas keluar dari lift hingga membuatnya jatuh terjerembab ke lantai.
"Ya, Tuhan! Orang-orang itu kenapa, sih?" omelnya, tapi tak satu pun dari mereka menggubrisnya.
Lia berdiri, menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor dan kusut. Kerumunan tadi seperti Flamingo yang tengah berdansa.
'Sungguh menyebalkan!'pekiknya dalam hati.
Suara lift tiba akhirnya terdengar.
"Oh! Liftnya!" Lia bergegas menghampiri lift. Sayangnya, pintunya lebih dahulu tertutup. "Tidak! Tidak! Ayo terbukalah!" ujarnya meradang, berusaha membuka pintu lift dengan kedua tangan dan menyerah pada detik berikutnya.
Matanya melirik ke lift satu-satunya yang sedang nganggur, tertulis dengan sangat jelas dan tegas "SEDANG DIPERBAIKI".
"Ada apa, sih, hari ini? Kenapa aku sial sekali?" keluh Lia berkacak pinggang, kedua bahunya lemas.
Dokumen penting yang dibawanya kini agak kusut gara-gara kerumunan Flamingo instant tadi. Dia menjilat bibir, lalu menghela napas berat.
Amalia Rasyid memutar otak. Dia harus bisa secepatnya membawa dokumen itu ke lantai tiga bagaimanapun caranya. Menunggu lift selanjutnya akan memakan waktu lama. Hotel mewah itu memiliki 25 lantai dan lampu lift masih saja terus naik sampai lantai 7. Dua lift di belakangnya juga masih sibuk naik ke lantai 9.
"Benar juga! Tangga darurat! Aku, kan, di lantai 5, pastinya tidak akan makan waktu lama!" serunya kepada diri sendiri, bangga dengan ide cermerlangnya.
Berbekal ide sederhana, dia segera melangkahkan kaki menjauhi lift. Dia melihat lorong di lantai 5 cukup membingungkan. Semuanya nyaris terlihat sama.
Setelah berputar-putar cukup lama, dia
memutuskan untuk kembali saja ke lift tadi. Sungguh keputusan bodoh berputar-putar tanpa tahu denah ruangan itu.
Lia berbelok ke kanan, dan tulisan "EMERGENCY EXIT" terpampang di depan matanya.
"Yang benar saja! Lia! Kamu ini bego atau apa, sih?" makinya kepada diri sendiri sambil menempelkan telapak tangannya pada tulisan itu. Dia berdecak kesal, berkata lagi, "Harusnya dari tadi aku memperhatikan tulisan seperti ini. Mana ini di dekat lift lagi!"
Matanya melirik ke lorong. Di belokan kanannya adalah awal dia tiba keluar dari lift.
"Sebentar lagi. Sabar, ya, sayang!"
Sebelah kening Lia terangkat, senyum geli terpasang di wajahnya. Ada pasangan yang baru saja keluar dari lift sambil bermesraan.
Sang perempuan memakai gaun merah seksi dengan belahan paha yang cukup tinggi, dan sang pria memakai tuxedo hitam.
Biasanya, di film-film, dia melihat adegan seperti itu. Adegan di mana sang lelaki dan perempuan tanpa kenal satu sama lain akan tidur bersama setelah berpesta.
Pikiran joroknya kini berputar-putar di otaknya.
"Aku sudah tidak tahan. Di mana kamarmu?"
tanya lelaki itu.
Lia mengernyitkan kening.
Meskipun dari jauh, dia merasa familiar dengan suara sang pria. Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Dia memutuskan mengendap-endap mengikuti pasangan tersebut.
"Kamu tidak tahan lagi, ya? Sebentar lagi kita akan sampai."
Setelah didengar baik-baik oleh Lia, suara perempuan itu juga familiar di telinganya, tapi siapa?
Lia berjalan pelan agar suara langkahnya tidak terdengar, walaupun lantai di lorong sebenarnya sudah tertutupi karpet. Lelaki di sana tampak berkata sesuatu, tapi Lia kesulitan mendengarnya ketika berbelok ke kiri. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, kedua tangannya dingin dan gemetar tanpa alasan.
"Kenapa aku malah seperti orang yang membuntuti pasangannya yang sedang berselingkuh? Pfft!" Lia berdiri tegak dan tertawa geli.
"Ah! Dokumennya!"
Dia memukulkan tepi dokumen ke jidatnya sendiri, merasa sangat bodoh.
"Tsk! Kenapa aku sampai harus repot-repot begini? Bos botak itu pasti marah-marah sekarang."
Ketika dia hendak memutar langkah membelakangi pasangan tadi, hal tak terduga terjadi.
"Jena! Aku sudah tak tahan! Di mana kamarmu!" teriak lelaki itu. Kali ini dengan jelas, tegas, keras, dan disertai erangan seperti orang setengah sadar.
Lia tertegun.
Sekujur tubuhnya seolah-olah disiram oleh air dingin. Hatinya mencelos. Tenggorokannya seperti tersumpal sesuatu. Kepala berbalik pelan. Dalam hati, Lia berdoa agar apa yang diduganya saat ini adalah salah, sangat salah.