Di pagi buta di hari minggu, sebuah derap langkah cepat terdengar, memenuhi jalanan sebuah kompleks perumahan mewah di salah satu daerah elit ibukota. Lee Jun Min baru saja selesai dengan olahraga rutinnya, lelaki itu memakai set training putih, lengkap dengan sweater tudung berwarna senada. Di kedua telinganya terpasang earphone yang memutar musik penuh energik yang diputar dengan volume tinggi hingga bisa didengar oleh siapa pun jika saja ia tak sendiri di jalanan sepi itu. Perlahan, ritme laju langkah kakinya memelan, dan ia pun berhenti di depan sebuah gerbang hitam minimalis yang menjulang tinggi, sangat tertutup tanpa ada celah untuk mengintip. Jun Min membuka tudung sweaternya, gerakannya nyaris bersamaan menarik lepas earphone dari kedua telinganya menggunakan tangan satunya.