Dengan perasaan seolah tersambar petir, perasaan dingin pun menyerbu jantungnya, perih menusuk dan membuat tenggorokannya tercekat.
Kedua kakinya tiba-tiba menolak untuk bergerak, seolah ada suara yang menahannya dari dalam sudut kepalanya yang terdalam. Meneriakinya untuk tidak bertindak lebih jauh.
Semua keadaan ini seolah mimpi yang tidak nyata baginya. Air mata kembali terlihat di wajahnya, menetes pelan hingga ke dagunya. Bagaimana ia bisa sampai di titik ini dalam hidupnya? Apakah ia begitu susahnya untuk bahagia?
"Nona?" tanya sang manajer dengan kepala mendongak mengintip dari balik sela-sela jari-jarinya, Lia berdiri di depannya dengan kepala tertunduk, kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya.
"Apa aku sudah boleh membuka mata?" bellboy yang berdiri paling belakang, tanpa sengaja menyandung gaun di lantai, alhasil ia pun terjatuh dengan bunyi gedebuk hebat di lorong pintu masuk.
Suara benda jatuh itu membuat sosok lain di ruangan kaget.
"SIAPA DI SANA?" teriak suara seorang pria dengan suara menggelegar hebat.
Sang wanita tertegun diam.
Wanita ini membuka mata segera dengan bola mata bergetar syok, air dingin seolah menerpa tubuhnya tanpa peringatan.
Perempuan itu dan sang manajer membeku di tempat. Sementara bellboy yang tersandung itu kini jatuh tertelungkup untuk kedua kalinya di hari yang sama, dan kali ini di hadapannya dihiasi dengan sebuah pemandangan bra yang menonjol tepat di depan matanya. Lelaki itu menelan ludah gugup.
Suara yang tak asing itu membuat Lia kembali menyadari keadaannya.
Ia memberanikan diri berjalan dengan langkah-langkah berat dan tegas menuju ruang utama.
Kepalanya seketika menjadi pusing melihat gambaran laknat di depannya.
Itu benar Zaflan! Pacarnya!
Lelaki itu terlihat baru saja selesai memasang kimono handuk di tubuhnya. Di ranjang terlihat Jena yang duduk sembari menutupi bagian dadanya yang tanpa sehelai benang pun dengan selimut, rambut hitam panjangnya tergerai di kedua pundaknya yang putih dan halus.
"Li-Lia?" Zaflan tergagap menatap pacarnya menangkap basah dirinya.
Lia yang tak sanggup berkata-kata dengan kebenaran itu, hanya bisa menggelengkan kepala berkali-kali, dadanya naik turun oleh emosi yang mulai menguasai hati dan pikirannya. Mulutnya terasa kering untuk mengucapkan sepatah kata atas pengkhianatan itu. Sudut-sudut matanya memanas dan perlahan basah oleh air mata.
Entah kenapa, perempuan bersifon merah itu yang malu berada di tempat itu walaupun bukan pihak yang melakukan kesalahan.
"Lia?" Zaflan berjalan takut-takut ke arahnya, berbalik sejenak menatap Jena yang membuang muka dengan kepala tertunduk.
Sang manajer menghampiri Lia, masih dengan telapak tangan menutupi mukanya.
"No-nona?" sang manajer menyodok bahu kanan perempuan itu dengan telunjuknya.
"Lia! Bagaimana kau bisa ada di sini?"
Lia tak menjawab pertanyaan Zaflan, seluruh keberaniannya seolah lari entah ke mana. Mukanya memerah perpaduan antara marah dan malu.
"Ba-bagaimana, nona? Apa benar dia pacar Anda?" bellboy muncul terakhir di tempat itu dengan kaki tertatih. Ia menutup mulutnya sejurus kemudian karena suasana di ruangan itu menegang dengan hawa mencekik leher.
"Lia, dengarkan aku dulu. Oke?!" Zaflan bergerak maju, hendak meraih kedua bahu perempuan itu, tapi reaksi yang didapatnya adalah penolakan keras yang jelas.
"Kau..." suara Lia bergetar di ujung bibirnya, suaranya tersendat dengan mata berkaca-kaca.
Zaflan kembali berusaha meraih kedua bahu Lia, kali ini ia lebih cepat dan gesit hingga membuat Lia terlambat mengelak.
"Aku bisa jelaskan! Kumohon dengarkan aku!"
Lia melempar tatapan penuh amarah padanya, hatinya teriris mendengar perkataan yang terdengar enteng itu.
"Apa—yang perlu dijelaskan lagi?" tenggorokan Lia tercekat hebat dengan suara bergetar, ia menatap tak percaya pada lelaki di hadapannya yang sudah menjalin kasih dengannya semenjak mereka kuliah.
"Zaflan!" teriak Jena dengan nada memohon.
Lelaki itu berbalik dan mengerutkan kening padanya, "tolong jangan ikut campur dulu, Jena. Ini masalah pribadi kami berdua!"
Lia mendorong tubuh Zaflan dengan keras, berteriak marah dengan nada penuh emosi. "Kau gila? Otakmu tidak waras? Kau yang membuat kekacuan ini bersama wanita sialan itu dan berkata ini masalah kita berdua? Kita putus!"
Tubuh Zaflan menegang, dunianya serasa runtuh. Ia tak pernah membayangkan kata-kata pendek itu keluar dari mulut pacarnya yang begitu dicintainya. Seluruh warna lenyap dalam sekejap di wajahnya yang tampan.
"Lia... kau bercanda, kan? Aku berniat melamarmu akhir bulan ini!" Zaflan tertawa kikuk dengan nada lemah.
Lia mendengus tak percaya, nyaris kehabisan kata-kata.
"Apa? Bercanda? Kau yang jangan bercanda, Zaflan! Setelah main gila dengan teman kerjaku, kau berniat melamarku?"
Darah serasa naik ke kepala Lia mendengar pengakuan mengejutkan itu, ia meraih benda-benda terdekat di sekitarnya lalu melemparnya ke arah lelaki itu secara membabi-buta.
"Lia! Lia! Hentikan! Argh! Sakit! Hentikan!" Zaflan berjuang menghindari benda-benda yang dilemparkan ke arahnya, dan dengan sigap memeluk perempuan itu.
"Lepaskan aku! Dasar lelaki menjijikkan!"
Lia meronta hebat dalam dekapan erat itu. Tangisan histerisnya memenuhi kamar 504.
"Lia! Maafkan aku! Aku tahu aku salah! Tapi, ini hanyalah salah paham!"
Tangis Lia berhenti sejenak, tatapan matanya terlihat kacau. Giginya digertakkan kuat-kuat dan dengan adrenalin menyuntik tubuhnya, ia menyundul wajah lelaki itu!
"Arghh!!! Lia! Sejak kapan kau kasar begini?" Zaflan menyentuh hidungnya yang berdarah.
"Kau tahu kalau kau salah tapi masih membela diri dengan mengatakan semua ini hanya salah paham? Kau pikir aku ini cewek seidiot itu, hah?" Lia mengarahkan tendangannya ke arah tubuh Zaflan.
Lelaki itu menghantam meja di belakangnya dengan bunyi debam keras, jatuh terduduk di lantai dengan wajah menahan sakit.
"ZAFLAN!" teriak Jena histeris, ia turun dari ranjang dengan selimut membungkus tubuhnya.
Rasa sakit menyengat menyerang jantung Lia melihat gerakan spontan Jena yang begitu perhatian. Tiba-tiba saja Lia merasa menjadi orang jahat di tempat itu, bukan mereka berdua.
Perasaan macam apa ini? batin Lia dengan hati dingin, ekspresinya menggelap suram, kedua bahunya lemas.
"Lia... maafkan aku..." sorot mata lelaki itu memancarkan rasa sakit dan derita.
"Sandiwara konyol apa yang kau mainkan, Zaflan?" Lia tertawa aneh dengan kegilaan di depan matanya.
"Lia! Kau kejam sekali!" raung Jena dengan tampang menuduh.
Kedua bola mata Lia membesar, darahnya mendidih.
"Kau! Tega sekali kau berkata begitu padaku setelah merayu pacarku! Dasar perempuan murahan!"
Lia bergerak cepat ke arahnya dan menjambak rambut hitam panjang Jena.
"Argh! Zaflan! Tolong aku!" lolongnya dengan raut wajah pilu tak berdaya.
Zaflan meraih Lia dari belakang, berusaha agar melerai amukan sang kekasih.
"Lepaskan aku, Zaflan! Bagus, ya! Kini kau membela selingkuhanmu itu secara terang-terangan! Kenapa kau tidak putus saja sejak dulu denganku daripada menyakitiku seperti ini?" derai air mata membanjiri wajahnya, ia mulai meronta dan mencakar punggung tangan Zaflan yang memeluk badannya menjauh dari Jena.
"LIA! TENANG DULU! AKU MOHON!" pinta Zaflan, suaranya meninggi menakutkan.
Kedua bola mata Lia bergetar kacau, ia tak pernah mendengar Zaflan bersuara seperti itu padanya selama ini.
Jena dengan tubuh berselubung selimut merapatkan diri di sana, terlihat seolah seperti korban bullying olehnya.
Ekspresi Lia menjadi murka melihat sikap sok tak berdaya perempuan itu. Padahal dirinyalah yang menjadi korbannya! Bukan perempuan tak tahu diri itu!