Dalam bahasa tubuh yang sedang ditunjukkan gadis di depannya, Jarvis tidak ingin mengambil resiko dengan menerima Paula sebagai perhiasan di Prazer. Dia yang terlanjur menyukai cara kerja mantan 2 perhiasan super, bagi Jarvis tidak ada 1 orang pun yang bisa menggantikan mereka. "Mana Narash?"
Paula menoleh ke belakang, di mana pintu ruangan terlihat. "Dia… Ada di luar."
"Kau, kenapa dibawa ke sini? Dan bukan orang yang benar-benar terpilih?" tanya Jarvis membelai rahang.
"Aku… Tidak mengerti, tapi… Tolong, beri saya kesempatan lagi Tuan! Saya… Akan bekerja dengan baik." Paula khawatir jika peluang pekerjaan di Prazer hilang.
Mendengar itu, Javis menyisihkan sisi bibirnya. "Yang aku perlukan adalah hasil yang secara bukan terbaik lagi."
Sungguh, Paula tidak dapat berbuat banyak. Dia menahan letih dan tubuhnya yang masih terpampang dengan jelas. "Aku… Memang masih perlu belajar lagi, tapi… Beri aku kesempatan, Tuan Finn!"
Atas apa yang Jarvis dapatkan barusan, dari hasil reaksi para pengunjung memang Paula mempunyai daya tarik tersendiri. Secara Jarvis menatap lagi lebih intens, Paula terlihat cantik alami dengan make up tipis menghias wajah.
"Aku ingin kau mengembalikan uangku saja! Dan… Setelah itu, kau bisa pergi dari sini!" jawab Jarvis singkat, dia pun bangun dari tempat duduk kemudian pergi meninggalkan Paula.
Apa yang menjadi sebuah persetujuan seorang Jarvis tidak bisa membuat senyum Paula mengembang. Dia menahan rasa sesal, Paula ingin sebuah pekerjaan untuk biaya hidup dan pengobatan Efran.
[...]
Satu persatu jarum jam mengarah pada angka lebih banyak, Paula enggan menyingkir dari tempat tidur dan hanya memainkan buku tebal di pelukan. Matanya menggenang, dia bingung sementara ambisinya semakin memuncak, terus menginginkan sesuatu dan Paula tidak dapat mencapai itu hanya karena kesempatan Jarvis sangat kecil.
"Aku… Cuma kerja buat bayar utang? Terus, kalau udah lunas aku… Dipecat? Ah, kenapa sih si Jarvis keras kepala?" gumam Paula sambil memukul alas tidur.
Kemudian Paula menendang selimut saat tubuhnya merasakan panas, bukan dari hawa yang ada di ruangan melainkan dia kesal. Lalu Paula mengambil ponsel, dia mencari nomor Narash. Tidak lama, hanya berlangsung beberapa detik panggilannya mendapat tanggapan.
"Bos, aku… Masih bisa bekerja di kafe?" tanya Paula sambil turun dari ranjang.
"Paula, kau sudah menjadi perhiasan di Prazer. Dan… Bayaran di sana sangat tinggi, untuk apa kau bekerja di kafe?" Narash pun mengambil kesimpulan tanpa tahu penjelasan Paula.
"Aku… Tidak akan bekerja lama di sana." ucap Paula lamah.
"Apa? Kau… Tidak akan lama di Prazer? Kenapa? Kau… Sudah bertemu langsung dengan Finn?"
Paula membanting kepalanya di punggung sofa. "Iya, karena… Aku melakukan kesalahan."
"Kau… Melakukan kesalahan?" Narash memperjelas.
"Iya, aku… Tergelincir saat sedang menari." terang Paula sambil menatap ke langit-langit kamar.
Suara Narash hilang, Paula pun kembali melakukan panggilan kedua kali. "Narash, kau… Bisa membantuku 'kan?"
"Paula, apa yang bisa aku lakukan lagi jika Finn sudah berkata demikian? Aku… Tidak bisa berbuat banyak." balas Narash membuat Paula kecewa.
"Ayolah," Paula malas jika harus memohon seperti ini. "Bantu aku sekali lagi, kasih Jarvis itu sebuah pemahaman kalau aku bisa bekerja bersamanya!"
"Tidak, Paula. Aku sibuk!"
Belum sempat Paula memberi ungkapan lain, panggilan sudah diakhiri oleh Narash. "Sialan!"
Kini Paula mendekam dengan sejuta perasaan sesal, dia pun melihat kalender dan di sana tertera angka jika lusa merupakan saatnya Efran cek up. Paula semakin bingung, dia hanya mempunyai uang 50 euro yang cukup untuk sarapan bersama Efran di kedai sandwich.
Tekad Paula sudah bulat dan ingin mendapatkan pekerjaan resmi di Prazer, meski dia tahu bagaimana resiko yang akan diterima. Saat rintik hujan datang, Paula tidak mempedulikan itu, dia mengambil jaket kemudian beberapa pakaian seksi ke dalam tas punggung. Segera Paula berlari keluar apartemen, dia menunggu taksi di seberang jalan gedung dan tanpa menunggu lama apa yang diharapkan datang.
"Pak, bawa aku ke Prazer!" ucap Paula pada sopir taksi.
Pria berkumis itu menoleh ke arah Paula, pandangannya heran. "Nona, Anda berkata apa?"
"Antar aku ke Prazer, Anda tahu tempat itu 'kan?" tanya Paula sibuk membenarkan rambut.
Sopir taksi itu tertawa. "Siapa yang tidak tahu klub malam terkenal itu, Nona? Lagipula… Anda tidak salah akan pergi ke sana? Dengan taksi?"
"Memangnya kenapa, Pak?"
"Itu kan tempat berkumpul nya orang-orang elit, kalau Anda ke sana menggunakan taksi pasti penjaga Prazer mengira Anda tuna wisma." ucap sopir taksi menghina.
Paula menatap lagi pakaiannya. Semua yang dikenakan masih dimiliki oleh brand ternama Amerika. "Memangnya… Penampilan saya ini salah, Pak?"
"Tidak salah, Anda sangat cantik hanya saja… Tidak berkelas." ucap sopir taksi lagi membuat kepala Paula mendidih.
"Begitu ya? Memangnya harga diri hanya dilihat dari kemewahan seseorang?" Paula masih bisa bersabar.
"Nona, jangan bicara soal harga diri di sini! Memangnya orang bisa hidup dengan mengandalkan harga diri? Kalau begitu, saat Bos ingin menang sendiri lawan saja! Bukankah begitu?" sopir taksi mulai menambah kecepatan mobilnya.
Paula merasa tidak perlu membalas perkataan itu. Memang benar, harga diri tidak membuatnya memiliki banyak uang. Dia memerlukan biaya untuk mencukupi kebutuhan hidup juga pengobatan Efran. Maka, Paula menganggap harga dirinya sama sekali tidak mempunyai nilai yang bisa membawa keberuntungan. Itu sebabnya malam ini Paula akan datang lagi ke Prazer dan memohon kepada Jarvis.
[...]
Ruangan yang sama kini membuat nasib Paula dapat berbeda dari semula, walau belum lama ini dia hidup dalam keadaan sulit. Namun, gadis berambut panjang itu tidak ingin kembali kehilangan orang yang dicintai. Maka uang adalah solusi paling utama agar bisa mempertahankan kebersamaan dengan Efran.
"Maaf, Anda…,"
Suatu kebetulan tidak bisa diduga, Paula mendapati pelayan yang sama saat kemarin malam dia datang. "Ya, aku… Kemarin malam datang ke sini."
"Anda sudah membuat janji dengan Tuan Finn?" tanya pria dengan dasi kupu-kupu merah.
Paula bergeming, dia datang ke Prazer bukan atas undangan Jarvis seperti saat bersama Narash. "Um… Aku ingin menemui Tuan Finn, apakah dia ada di dalam?"
"Ada, tapi siapa pun yang akan menemuinya harus ada tanda khusus jika telah membuat janji." jelas pria itu mencoba ramah.
"Aku… Tidak memiliki logo tersebut," Paula bingung. "Tapi… Kemarin saya dan Tuan Finn sudah membuat janji bersama."
"Maaf, Nona. Anda bisa meninggalkan tempat ini segera!"
Tentu saja Paula menolak, dia menahan pintu yang sedang ditutup dari dalam. Sekuat tenaga Paula melawan, walau dia sudah merasakan kakinya sakit karena menggunakan lutut sebagai penahan. "Tolong, biarkan saya masuk!"
Tanpa disadari Paula kini terjatuh, pria itu telah membuka pintu lebar-lebar. "Jangan membuat keributan di sini, Nona. Atau… Anda akan mendapat sanksi dari Tuan."
"Kalau begitu biarkan aku… Menemui Tuan Finn, aku mohon!" Paula terus merengek.
"Jangan memaksa, Nona. Bahaya!" pria itu seolah memberi saran sekaligus peringatan.
Susah payah Paula bangun sambil mengenakan tas nya kembali. "Aku akan terima bahaya itu jika… Aku bisa menemui Tuan Finn."
"Tidak bisa, Nona." pria itu mulai meninggikan suaranya.
Lain dengan semua usaha Paula di luar ruangan dasar Prazer. Mata itu sedang memperhatikan apa yang terjadi dari kamera CCTV di laptop, sambil Jarvis menikmati steak di piringnya. Dia mengenali wajah itu, dan kemudian tersenyum licik karena sebenarnya Jarvis memang sedang mempertimbangkan Paula di Prazer.
"Suruh dia ke ruanganku!" ucap Jarvis pada salah satu orang kepercayaannya.
"Baik, Tuan."
Ambisi yang besar memang terdapat pada diri Paula, hal itu tentu membawa keberuntungan bagi Jarvis. Bagaimana tidak, Jarvis akan mendapat perhiasan baru di Prazer juga uang Narash yang sudah dicurinya.
Tidak sampai 10 menit, Jarvis mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Dia pun tetap melanjutkan sarapan saat pelayan datang membawa Paula. Tidak lama Jarvis pun meminta agar pelayan mengosongkan ruangan.
Bukan sesuatu yang bisa membuat Paula merasa lega, ketika Jarvis bangun dan mendekat rasanya semua tenaga hilang. Namun, Paula tetap diam tanpa berani menatap Jarvis.
Paula pun terkejut ketika Jarvis menarik resleting jaketnya. Namun, ketika Paula berusaha santai tiba-tiba saja tangan besar itu sudah merasuk ke dalam pakaian, tanpa dapat ditolak pun Paula menggeliat hebat saat napas Jarvis mengenai pipi.
"Kau bisa apa, hm?" tanya Jarvis tengah membuktikan apakah Narash benar tentang kondisi Paula.
"A… Aku… Akan belajar menari lagi," Paula menggeliat lagi saat tangan Jarvis benar-benar ada di dadanya. "Supaya bisa memuaskan tamu."
"Memangnya siapa yang memintamu menari?" tanya Jarvis kini melerai pakaian Paula.
Paula merasa bingung, dia menatap tidak paham ketika Jarvis sudah membuatnya telanjang d**a. "Apa… Yang Anda lakukan?"
Sikap gadis itu telah menghabiskan waktu Jarvis, dia pun enggan mengulang dan pergi meninggalkan Paula. Namun, tiba saja langkah Jarvis dihalangi oleh tangan tangan yang meraih jarinya. Dia menoleh, dan langsung meraih leher Paula.
"Jangan main-main, aku sudah memberimu kesempatan hingga hutang 2 juga dolar lunas. Lalu… Apa yang kau inginkan lagi, Nona?"
"Be...kerja di sini." jawab Paula ketakutan, walau Jarvis tidak melukai tetap saja tekanannya mampu membuat tenggorokan berat.
Kini Jarvis membawa Paula hingga duduk di meja makan. "Kau bisa apa ingin bekerja di sini?"
"Aku… Bisa memuaskanmu!" jawab Paula asal, dia pun tidak kuasa dan memejamkan mata ketika Jarvis mendekatkan wajahnya.
Merasakan napas beraroma kayu manis itu Paula langsung menggeliat, dia tidak dapat melakukan sesuatu ketika tangan Jarvis sudah mencakup pinggangnya. "Maaf, aku… Hanya asal bicara."
"Tidak," ujung hidung Jarvis dan Paula sudah saling menempel. "Kau… Bukan asal bicara, kau… Sungguh-sungguh."
Paula membuka mata, dia mendapati mata tajam sedang mengadu tepat. Paula pun tertunduk. Namun, Jarvis justru menahan dagunya untuk tetap menghadap lurus, mereka pun kembali saling menyatukan sapaan.
"Apa… Aku akan bekerja di sini jika… Memang benar aku… Bisa?" tanya Paula lirih.
Jarvis masih setia memandangi wajah Paula. "Tidak."
"Kenapa tidak?" tanya Paula penasaran.
"Karena aku… Sudah ada pengganti jika kau tidak bisa membayar hutang dalam seminggu!"
Semua tidak mampu diterima dengan baik, Jarvis melepas tangannya dari tubuh Paula. "Hei, tidak bisa begitu Tuan!"
Dengan berani Paula menghalangi Jarvis dengan kedua tangan. Dia memang takut, hanya saja Paula lebih membutuhkan pekerjaan ini daripada harus menahan sesuatu. "Kau berkata sendiri jika aku masih bekerja di sini untuk melunasi hutang 2 juta dolar. Baik, aku akan bekerja sambil… Menunjukkan bakatku, kau… Akan lihat nanti!"
"Ya, tapi itu beberapa menit lalu. Sekarang, aku sudah menemukan pengganti untuk melayani para tamu di Prazer." jawab Jarvis tetap menolak Paula.
"Tidak," Paula tetap bersikeras dalam mempertahankan kemauan. "Kau tidak bisa mengambil satu keputusan dengan mudah begitu saja, kau harus konsisten!"
Jarvis enggan menanggapi ocehan Paula, dia pun bergerak pergi. Dan sekali lagi, Paula mencegah dengan kedua tangan tepat di depan Jarvis. "Menyingkir, atau…,"
"Atau kau akan memukulku? Menyeretku keluar? Begitu, Tuan Finn?" tanya Paula dengan nada setengah berbisik, rasanya dia sesak menahan napas.
Lama, baik Paula atau Jarvis saling menatap menunjukkan perasaan kurang suka atas sikap masing-masing. Sampai akhirnya seorang Jarvis itu membuat kode untuk salah satu anak buahnya yang berada di pintu ruang tengah, laki-laki berjas itu pun pergi dan kembali hanya dalam beberapa menit membawa seseorang di mana wajahnya tertutup kain hitam.
Paula melihat jelas tubuh berbalut gaun kuning yang indah. Siapa? Paula merasakan keadaan gadis di depannya sangat mengerikan. "Dia… Siapa?"
Kemudian penutup wajah itu dibuka oleh Jarvis. Betapa Paula tidak dapat bernapas secara leluasa. "Lula."
Sahabat Paula pun terkejut bukan main, dia yang sudah hampir 1 jam dirantai dan tidak diizinkan berbicara kini terlihat semakin syok. Lula pun hanya menangis, bibirnya dihalangi oleh perekat. Dalam hal ini pun Paula langsung melepas perekat di mulut, berlanjut berusaha ingin melepas rantai yang mengikat kedua tangan Lula. Namun, itu terlalu sulit.
"Bagaimana cara melepasnya?" tanya Paula pada anak buah Jarvis.
Sepi. Bahkan Paula mendapati Jarvis sudah berada di tengah-tengah anak tangga menuju lantai 2, dengan cepat dia segera berlari mengejar. Tepat di depan pintu sebuah ruangan, Paula menahan lagi jejak Jarvis menghindar darinya.
"Kenapa kau lakukan itu? Temanku, kenapa kau membuatnya seperti itu?" tanya Paula setengah membentak.
"Lalu aku harus memilih Ayahmu?" tanya Jarvis tanpa beban.
Paula kesal, dia menahan tangis juga rasa yang semakin membara di ujung kepala. "Apa maumu?"
"Kau sedang menawarkan sesuatu padaku atau… Memberi tanda bahwa kau sanggup akan syaratku?" Jarvis malas jika harus berlama-lama melihat wajah memelas Paula.
"Apa pun."
Jarvis mendekat, dia membuat tubuh Paula tersebut. "Bagus, tapi yang harus kau ketahui Nona. Aku… Tidak suka penghianatan! Tapi, jika memang aku harus mendapati hal itu maka… Kita akan sama-sama merasakan pedih!"
Pandangan Paula hanya ke arah lain, dia tidak sanggup menerima semua sapaan Jarvis yang terlihat mengerikan. "Aku… Membutuhkan uang itu."
"Semua orang butuh uang, Nona. Tapi… Aku akan berbuat segala hal jika ada yang berkhianat!"
Lalu Paula merasakan napas Jarvis kembali semakin dekat, seolah menuang semua dendam yang ada. Tidak lama Paula mendapati sebuah sentuhan di pinggang. Hangat, rasa kerasa tangan itu seakan membuat ancaman nyata.