Dua bulan kemudian...
Hal tersulit kembali dirasakan, tapi semua akan ada hikmah yang bisa diambil mengenai masalah baru ini. Penyakit. Entah Paula merasa tanggungan dalam pikirannya mengulang seperti saat ia tahu jika ibunya menderita penyakit langka yang menyerah kandung kemih, kali ini Paula harus berusaha tegar kembali akan apa yang menimpa sang ayah.
Siang ini, kelas selesai lebih awal juga Paula tidak ada kegiatan apapun lagi selain bersantai dan mabuk-mabukkan bersama teman-teman, namun lain untuk satu bulan terakhir ia lebih sering menghabiskan waktunya bersama Efran juga buku-buku Bahasa. Juga sejak kedekatannya dengan Narash ia lebih menghargai apa itu usaha agar menjadi orang berguna, bahkan malam nanti Paula berniat akan melamar pekerjaan di sebuah restoran cepat saji milik temannya.
Hutang. Ya, situasi itu sudah membuatnya kehilangan tempat mewah yang selama ini menjadi naungan Paula dan Efran melepas lelah. Tapi berbeda karena saat ini Paula tinggal di sebuah apartemen sederhana dengan biaya sewa yang cukup murah tiap bulannya, ia berharap dengan bekerja paruh waktu bisa membeli rumah kecil untuk tempat tinggal ayahnya yang sedang melakukan masa pengobatan, butuh biaya tidak sedikit setiap Minggunya untuk melakukan kemoterapi.
“Hai Paula,”
“Hai Barb.”
Paula memberikan sapaan itu kala teman satu kelasnya memberikan teguran, lalu ia segera ke tempat parkir namun di sana ia melihat mantan kekasihnya asyik bersama 2 wanita di pangkuan. Paula hanya tertawa kecil melihat keadaan membuai perasaan sakit, tetapi waktu semakin menipis karena ia harus menjemput Efran ke rumah sakit.
Perasaan itu selalu saja ceria meski saat ini Paula tengah dirundung duka, perjalanan ini cukup menghibur karena baru lah jalanan sepi bisa menunjukkan bangunan kuno yang indah. Tapi sesekali Paula menghapus jejak bening air mata di pipi hanya sebagai pelampiasan lelah dengan situasi yang sama 15 Tahun silam, kepergian ibunya bukan hal yang mudah hingga saat ini dan sekarang Efran menanggung beban itu pula.
“Semangat Paula! Kamu pasti bisa!” Gumam Paula menghapus lagi air matanya.
Tak lama setelah berperang pada dirinya sendiri, mobil berhenti di batas gerbang karena rupanya Efran sudah menunggunya di sana. “Hai Pi, gimana kemoterapi hari ini?”
Efran mengangkat plastik berwarna putih tertera logo apotik. “Sangat menyenangkan, ini obat keempat Papi. Dan… Sepertinya Papi harus kurangi begadang karena lembur.”
Paula tertawa kecil melihat rasa semangat yang besar pada diri Efran. “Tuh ‘kan. Apa yang Paula bilang? Papi itu harus istirahat cukup dan nggak boleh capek!”
“Iya, cuma gimana? Kerjaan Papi banyak banget Nak, sebentar lagi kan hotel juga ada pembangunan cabang jadi Papi harus kerja keras.” jawab Efran menjelaskan.
Paula memutar arah mobil ke kanan pada perempatan jalan, ia menanggapi semangat kerja keras itu dengan senyum mempesona dari wajah cantiknya. “Iya, tapi kan…,”
Ucapan Paula tidak dapat dilanjutkan mengenai kata terakhir tentang kesehatan. Ia pun mengalihkan situasi ini dengan menawarkan kue kering untuk Efran dan tanpa sadar ia menjatuhkan minuman kaleng ke kakinya, Efran melihat hal itu pun seketika mengalihkan pandangan pada jalanan.
“Kamu masih mabuk-mabukan?” tanya Efran lirih, ia menarik napas gusar menunggu jawaban Paula.
“Um… Cuma seminggu sekali Pi,” Paula merasa jawaban itu tetap menanggung beban untuk ayahnya. “Ini lagi coba-coba biar sepuluh hari atau… Sama sekali nggak ke klub.”
“Iya, pelan-pelan!” Efran menyarankan.
Menurut Paula itu bukan sebuah solusi karena ia tetap saja masih menjadi beban, tapi usahanya terbilang keras karena ia yang telah kecanduan minuman keras dan rokok berhasil mengurangi setidaknya 3 hari setiap Minggunya, berlanjut hingga 6 hari lamanya Paula menahan diri untuk tidak pergi ke klub meski banyak teman-temannya memberi iming-iming traktiran itu tidak akan mengubah niatnya.
Setelah tugas mengantar lalu menjemput Efran, ia pun bergegas ke rumah salah satu teman sekampus untuk memberikan les privat. Paula adalah mahasiswi andalan bagi anak-anak lain setiap akan ada ujian Bahasa, ia pun akan diberi bayaran di muka namun jika nilai ujian tidak sesuai maka Paula akan kehilangan gaji pokoknya dan sejauh ini hanya pernah terjadi 1 kali pada seorang mahasiswi satu kelas dengannya, bahkan wanita bernama Lauren itu sangat membencinya.
Di halaman luas sebuah mansion, Paula dibuat kagum akan arsitekturnya. Bangunan kuno itu berdiri di atas danau buatan dengan lapangan golf juga kolam renang yang sangat besar. Ketika pelayan mengantarnya ke pintu utama saja Paula hampir tersesat karena jalannya berliku dipenuhi dengan tanaman hias yang sangat cantik, sebuah monumen tertera nama keluarga besar pun terpajang di tengah-tengahnya.
“Gila, ini sih keren banget. Aku baru liat rumah semewah ini.” Paula hampir saja menjatuhkan pot di dinding pembatas karena saking tidak percaya ia mendapat murid seorang konglomerat.
“Mari, silahkan! Tuan Nazario sudah menunggu.”
Paula sempat terkejut dengan sebutan nama itu. “Apa dia… Laki-laki?”
Pelayan pun sempat akan tertawa tapi sedikit ketakutan. “Iya, Tuan Nazario adalah laki-laki tulen.”
Bukan hanya dua pelayan saja yang hampir tertawa karena Paula sudah tertipu dengan identitas di sebuah jenis kelamin pemesan jasanya di website. “Oh, baiklah! Ke mana aku harus… Masuk?”
Salah satu pelayan menunjukkan sebuah lorong dengan tangan kirinya. “Tuan menunggu Anda di ruang pribadinya, paling ujung!”
Sebentar. Paula menarik napas rakus karena membayangkan jika dirinya tersesat hanya karena ia belum memahami seluk beluk rumah besar ini, ia pun meminta salah satu pelayan mengantarnya hingga di depan pintu besar berukir. Tapi bukannya mengetuk pintu melainkan Paula berdiri mematung di sana, sudah hampir 10 menit hingga membuat pelayan saling menatap tidak mengerti.
“Um, aku… Harus masuk ‘kan? Kira-kira… Dia… Masih muda atau…,”
“Tuan masih berusia 28 Tahun,”
Paula hampir tidak dapat bernapas karena ini. “Oh, iya. Eh wow, dia… Masih muda? Hm… Sudah punya rumah sebesar ini? Ugh, keren.”
Sekali lagi, tingkah Paula berhasil membuat pelayan kembali menahan tawa. “Iya masih muda, saya saja berharap bisa mengobrol dengan Tuan ramah itu.”
“Ramah? Oh… Baik,” Paula membenarkan kemejanya. “Aku… Masuk sekarang ‘kan?”
Tak ada jawaban. Paula langsung saja mengetuk pintu itu pelan lalu benda terbuat dari kayu kokoh itu terbuka perlahan, Paula pun menengok hanya untuk memastikan apakah ada orang di ruang seluas lapangan bola tersebut. “Wow, gede banget? Gila sih ini, rumah atau istana kerajaan?”
Paula memasuki ruang pribadi pria yang kini menjadi murid barunya, dengan perasaan ragu bercampur kagum ia pun memberanikan diri berjalan hingga di dekat meja terdapat laptop yang masih menyala, tapi tidak ada orang di sana. “Permisi, apa ada… Seseorang yang bisa menjawab salamku?”
Memang tidak ada suara yang menyahut, Paula pun hanya bisa berdiri dekat meja tanpa menyentuh apapun di sana. Cukup lama Paula menunggu, tapi kemudian suara decitan pintu menandakan ada seseorang yang akan memberikan jawaban. Dari arah lain muncul seorang pria dengan setelan baju hangat sambil mengutak-atik ponsel di tangan tanpa menyadari Paula ada di depannya, jarak mereka pun semakin berkurang tapi Paula ragu menegur sampai pria itu hampir menabraknya andai saja tidak cepat-cepat tersadar.
“Oh, maaf.” ucap Paula ketika laki-laki itu menatapnya.
Pemilik nama Nazario itu mematung tanpa sanggup mengedipkan mata ketika menatap Paula, bukan sebatas kagum tetapi pria dengan panggilan Rio itu tidak akan pernah menyangka jika guru pembimbing barunya adalah seorang wanita, bahkan masih muda.
“Hai,” entah Paula tidak dapat menemukan cara agar sapaannya dibalas. “Um, aku… Paula, kau… Ah, maksudku Pak. Eh, bukan-bukan! Tuan… Nazario.”
Rio mengulurkan tangan, hanya selisih detik kemudian Paula membalas. “Panggil aja Rio.”
Hampir tidak percaya karena pria itu mengajak bicara dengan Bahasa Indonesia. “Ok, Rio. Anda bisa berbahasa ya?”
“Ah tidak juga, hanya sedikit. Itu saja… Aku kadang susah mengucapkan.” jawab Rio mengendalikan sikap agar tidak terlihat aneh hanya karena ia terpesona akan kecantikan Paula.
“Tenang saja Pak, Anda pasti akan lancar berbahasa jika memilih saya sebagai guru les pribadi Anda.” Paula percaya diri.
“No! Jangan panggil Pak,” barulah Rio bisa berpaling dari wajah Paula hanya karena sekadar memberi jeda. “Aku masih muda kok, panggil aja Rio. Cukup Rio!”
Paula tidak kalah salah tingkah, ia hampir saja memilin tali tas hingga memberi tampilan berbeda. “Oh iya, Rio.”
“Bagus!”
“Bagus, iya.” Paula tertawa kecil, lebih tepatnya seperti orang tidak waras.
Keduanya saling menertawakan sikap ini, tapi kemudian Rio berusaha memecah suasana dengan meminta Paula segera memberikan materi dasar dari berbahasa, sejak 3 Tahun terakhir ketika Rio bertemu klien warga negara Indonesia ia begitu tertarik dengan percakapan mereka, sampai ia pernah beberapa kali melihat tayangan dari saluran televisi Jakarta. Sudah berulang kali Rio menyewa guru les Bahasa tapi entah mereka seperti bermodalkan sok tahu karena bukan asli orang Indonesia.
Harus diketahui, memang kemampuan Paula dalam berbahasa tidak diragukan lagi meski ia sudah belasan tahun berada di Portugal. Pertemuan pertama kali ini Paula memberikan dasar dari tiga aspek meliputi Bahasa, makna Bahasa dan dalam Bahasa kontek. Dasar paling mudah adalah Paula memperkenalkan nama-nama benda dan tempat, kemudian ejaan dalam huruf.
Rio menyiapkan sebuah notebook untuk mencatat bagian paling penting yang harus disimpan agar ia tidak kesulitan ketika memahami Bahasa saat belajar mandiri, memang sangat membingungkan meski penjelasan Paula singkat namun detail. Semangat Rio tidak bisa diremehkan karena dalam waktu 15 menit saja ia telah menghafal warna-warna kemudian mencermati ejaan yang memang lidahnya belum terbiasa dengan ini.
Tak jarang Paula tertawa mendengar Rio mengucapkan beberapa kalimat yang diajarkan, dalam bentuk dialog atau sebuah narasi sebuah majalah. “Ulangi! Olahragawan dengan bobot 150 kilogram itu berhasil menurunkan…,”
“Olah...raga… Wanita…,”
Lagi-lagi Paula tertawa. “Hei, bukan itu Rio! Begini, ‘olahragawan’. Coba!”
Rio pun tertawa lirih akan kemampuannya. “Oh, baik. Olahragawan. Sudah benar?”
Paula bertepuk tangan. “Yeay, kau hebat Tuan Rio.”
Rio langsung berdiri dan membungkuk bak memberikan kesan seperti di atas panggung. “Terima kasih.”
Mereka pun kembali tertawa akan situasi yang mulai mengenal sifat dan sikap, Paula senang jika memiliki teman yang jago bercanda. Bahkan Rio tak kalah dengan teman-temannya yang selalu membawa banyolan unik dan tak jarang Paula terkekeh karena lagi-lagi lidah Rio salah dalam penyebutan huruf dalam Bahasa Indonesia. Meski Paula tahu Rio termasuk murid penuh dengan semangat tinggi untuk belajar, hal itu tentunya membuat Paula merasa bangga karena negara kelahirannya dikenal dunia.
Pemateri hari ini berlangsung selama 80 menit karena Paula tidak ingin kondisi ini memberikan tekanan bagi pemula seperti Rio, meski ia diminta untuk lebih lama lagi mengajar tapi Paula sudah memiliki janji dengan Narash sore ini. Tak lama Rio pun merelakan ia pergi dan akan kembali bertemu 3 kali dalam seminggu.
[...]
Waktu sudah terbagi dengan semestinya termasuk Paula melamar ke toko buku dan hanya bekerja selama 4 jam di malam hari, belajar di kampus juga memberikan materi-materi bagi murid-muridnya tapi entah tabungan belum cukup untuk uang muka membeli apartemen sederhana, maka dari itu solusi paling tepat adalah bekerja paruh waktu di restoran malam milik Narash.
Matahari hampir saja tenggelam ketika Paula berlari dari parkiran di seberang jalan ke restoran, ia pun terengah-engah memberikan senyuman untuk temannya itu. “Hei, maaf aku terlambat.”
“Hei Paula, aku pikir kau tidak akan datang.” Narash langsung memberikan kode ke pelayan agar menyiapkan minuman untuk Paula.
“Aku pasti menepati janjiku Narash,” Paula segera menarik kursi tersembunyi di bawah meja. “Oh ya, bagaimana? Apa masih ada lowongan untukku?”
Terlihat Narash tersenyum masam. “Hm… Ada satu orang yang sudah mengisi lowongan di restoran ini Paula.”
Langsung saja Paula merasa lemas. “Apa? Jadi… Aku tidak bisa mendapat kesempatan itu lagi?”
“Maafkan aku Paula.” Narash menjawab lirih, ia tidak ingin membuat Paula lebih kecewa.
Paula segera menyeret jemari Narash dan menggenggamnya. “Aku mohon berikan aku pekerjaan itu, aku janji akan rajin bekerja dan… Datang tepat waktu.”
Narash terlihat berpikir, ia melihat lagi daftar pelayan yang sudah memenuhi kuota, lowongan yang sudah dibuka nyatanya memang sudah diisi oleh salah seorang wanita yang berasal dari Indonesia. “Tapi…,”
“Please!” Paula memohon.
“Baiklah,” Narash mengalah. “Besok kau bisa bekerja sebagai pengantar makanan, untuk sementara ini kau… Bisa menempati posisi itu, dan aku janji akan mencarikan pekerjaan yang lebih layak lagi untukmu.”
“Hei, kau ini berbicara apa? Tentu itu pekerjaan layak untukku,” Paula terlihat senang. “Apa lagi aku bekerja dengan temanku sendiri, itu artinya aku tidak tanggung-tanggung memberikan pelayanan terbaikku.”
Tanpa menanti jawaban pasti, Paula pergi ke dapur bermaksud untuk melihat-lihat juga ia hendak belajar menjadi pramusaji. Sementara Narash hanya tertawa kecil melihat sikap penuh semangat seorang Paula, lalu ia melakukan panggilan ke nomor yang baru saja menelpon.
“Aku sudah menemukan yang paling pas,” Narash kembali menatap ke belakang, berharap percakapan ini tidak didengar siapa pun. “Dan uang yang Anda berikan kepada saya sebagai dimuka tidak akan hilang sia-sia, karena aku sudah memastikan dia memenuhi kriteria sebagai asisten Anda di kamar.”
“Bagaimana kau memberi bukti itu?” tanya seseorang dibalik panggilan yang dilakukan Narash.
“Aku bahkan sudah melihat dia berjalan dengan bikini,” Narash melambaikan tangan ke arah Paula. “Tubuhnya, warna kulit orang Asia, postur dia masih kencang, bukan hanya karena olahraga tapi Paula memang pas dijadikan idaman.”
“Baik, aku pegang ucapanmu itu. Lusa aku kembali dari Amerika dan langsung ke Lisbon, aku ingin melihat gadis itu bermain!” ucap suara pria itu meyakinkan Narash.
Tak lama panggilan berakhir dengan senyum kepuasan seorang Narash yang berhasil mendapat uang muka sekitar 138 ribu dolar Amerika serikat. Aku kaya raya, terbesit dalam hati Narash mengenai nominal yang akan mengisi tabungan. Angan sudah melambung tinggi untuk sebuah kemewahan, berkat Paula yang kini telah mempercayai akan mendapat pekerjaan.
Dari jarak sekitar 2 meter, datang Paula membawa baki berisi kopi panas. Dia tersenyum kepada para pelanggan, kemudian melambaikan tangan ke arah Narash. "Gadis itu memang sangat cantik, dia juga pintar. Jangan sampai Jarvis kecewa. Jika iya, maka aku akan mati!"