"Bi lo di mana?"
Sabiya memijat pelipisnya. Suara menuntut dari seberang sana sudah mewakili beragam kekacauan yang sedang terjadi hari ini. Menghela napas berat sekali lagi. Entah sudah berapa kali Sabiya menghela napas, mencoba menghilangkan sesak di dadanya. Nyatanya kegiatan itu tidak membantu sama sekali. Beragam kejadian sebelum ini terus berseliweran di kepalanya. Seperti kilasan film horor yang menakutkan.
"Ada apa, Tan?"
"Haish gue nanya lo di mana? Nggak usah belibet kenapa sih? Lo ngilang dari kemarin Biya! Astaga!"
Kepala yang berdenyut sejak tadi semakin terasa. Membuat Sabiya semakin meringkuk dalam di balik selimutnya. Enggan bangun. Jika ada pilihan untuk bangun atau tidak selamanya, mungkin saat ini Sabiya akan memilih tidak bangun selamanya.
Ada banyak masalah yang datang, dan itu benar-benar membuatnya tidak tenang. Ingin berlari saja tapi rasanya tidak mungkin. Kaki Sabiya terlalu pendek untuk bisa berlari dari masalah.
"Gue ada. Di rumah."
"Biya lo gila ha? Cari mati? Lo ada janji ketemu Bu Nuris hari ini! Gue yang kena marah gara-gara lo nggak datang!"
Sabiya menyibak selimut tebalnya. Seketika kedua matanya melotot tajam. Baru ingat jika siang ini ada janji bertemu dengan dosen pembimbing Tugas Akhir. Seperti biasa untuk melakukan bimbingan.
Sabiya sendiri yang meminta jadwal bertemu, dan bodohnya Sabiya juga yang tidak menghadiri jadwal itu. Sudah bisa diprediksi bagaimana menakutkannya wajah dosen pembimbingnya saat ini.
"Tan gue lupa," keluhnya lemah.
Sabiya benar-benar lemas saat ini. Masalah awalnya saja belum terselesaikan, dan harus menerima masalah baru yang tidak kalah berat.
"Bego emang! Gue udah bilang 'kan sebelumnya, ambil satu yang jadi prioritas lo. Magang, ya magang aja. Nggak usah sok-sokan ambil magang dan TA sekaligus. Pusing 'kan lo."
Menggaruk rambutnya kasar. Kalimat Tania benar-benar menyebalkan sampai membuat kekesalan Sabiya kembali memuncak.
Sebelumnya, Sabiya berniat menenangkan diri, tidur seharian dengan selimut yang menutupi seluruh tubuh. Tanpa gangguan dari teriakan Mama, tanpa deringan ponsel, dan tanpa bayang-bayang kejadian yang dialaminya beberapa saat lalu.
Tapi kenyataannya tidak demikian. Sabiya gagal untuk keduanya. Tidak bisa menghilangkan kejadian yang dialaminya begitu saja, dan deringan ponsel lengkap dengan si pemanggil yang membuatnya nyaris frustasi.
"Huh udahlah terserah lo. Udah hampir setengah dua, gue buru-buru."
Tanpa kalimat penutup, Tania langsung mematikan sambungan itu. Menyisakan Sabiya dengan beragam masalahnya sendiri. Membiarkan Sabiya memikirkan jalan keluar dari masalahnya, karena memang selalu seperti itu. Tania hanya bertugas sebagai komentator. Panjang lebar memarahi tanpa memberi jalan keluar.
Kembali dengan aktivitas sebelumnya. Merebahkan diri di atas ranjang dengan pikiran melayang. Niat hati ingin melupakan tapi ternyata tidak semudah itu. Sabiya justru mengingatnya semakin jelas. Bayang-bayang menyebalkan yang membuat kepalanya semakin berdenyut nyeri.
Masalah itu bermula dari kemarin pagi. Sabiya yang biasanya datang terlambat, kemarin dengan rajin dan senyuman lebar, Sabiya datang lebih pagi dari karyawan lainnya. Bertekad menjadikan hari itu sebagai awal dari Sabiya yang baru. Tepat waktu, bersemangat, dan cantik tentunya.
Tapi bukan hidup namanya jika tidak ada masalah yang menghadang. Di tengah semangatnya yang membara serta senyuman teramat manis yang tercipta. Hanya butuh satu detik senyuman itu luntur. Berganti dengan wajah terkejut bukan main. Lengkap dengan pipi basah karena air mata. Membuat tatanan wajah yang sudah disiapkan sedemikian rupa hancur berantakan.
Sabiya mendapati Alvaro, kekasihnya, sedang b******u mesra dengan seorang seniornya di divisi yang sama. Saling memeluk dengan sepasang tangan yang tidak tinggal diam.
Tentu saja hati Sabiya tercabik-cabik saat itu. Lebih parahnya lagi, Alvaro tidak berniat mengejar Sabiya saat itu. Membiarkan si perempuan yang merupakan kekasih sekaligus tunangannya menangis sendirian.
Sampai hari semakin sore, Sabiya tidak kembali ke kantor. Semangat yang dibangunnya sejak awal seolah menghilang entah ke mana. Berganti rasa sakit, kepedihan, dan beragam rasa lain yang sebenarnya Sabiya benci.
Tidak pernah menyangka jika kantor yang direkomendasikan oleh Alvaro untuk menjadi tempat mencari pengalaman, di penghujung perkuliahan justru menjadi tempat yang Sabiya benci. Ingin rasanya tidak pernah datang ke sana lagi. Tapi sayangnya Sabiya sudah terikat untuk dua bulan ke depan.
Katakan saja Sabiya bodoh, karena melampiaskan rasa sakit hatinya ke tempat yang tidak seharusnya didatangi. Menghabiskan beberapa botol minuman beralkohol sampai kepalanya pening. Nyaris tidak bisa pulang karena lemas dan hampir tidak sadarkan diri.
Belum lagi mata-mata lelaki menyebalkan yang menatapnya penuh minat. Bukankah suatu keberuntungan mendapati perempuan muda yang mabuk dengan setelan kerja yang membungkus tubuh sedikit berisi itu?
Sabiya tidak mengingat jelas apa yang terjadi malam itu. Hanya sekelebat ingatan yang tidak bisa menjelaskan kejadian secara menyeluruh. Satu yang paling mengganggu, saat Sabiya membuka matanya perlahan karena sinar matahari yang menerobos celah jendela. Sabiya sudah berada di pelukan seorang laki-laki, dengan tampilan yang bisa menjelaskan semuanya.
Kemeja putih yang seluruh kancingnya sudah terbuka. Menampilkan d**a bidang dengan beberapa pack. Sebelah tangan melingkari pinggang Sabiya posesif, dan sebelahnya lagi menjadi bantalan tidur Sabiya. Jangan lupakan blazer Sabiya yang sudah terlepas. Menyisakan kemeja kerja dengan tampilan yang sulit dijelaskan.
Tling ....
Ponsel dalam genggaman Sabiya berbunyi. Membuat bayangan kejadian kemarin terpecah seketika. Sabiya menghela napas panjang sebelum mengecek ponselnya. Satu nomor tidak dikenal dengan satu pesan yang membuat kepala Sabiya semakin ingin meledak.
"Saya akan menemui orang tua kamu untuk membicarakan masalah kemarin."
"Huaaa," teriaknya refleks seraya mengacak rambutnya asal. Bukannya membaik, kondisi Sabiya jauh lebih berantakan setelah pesan itu sampai padanya.
***
Sabiya berjalan cepat menuju ruangan tempatnya magang untuk dua bulan ke depan. Terlambat, seperti biasa. Kali ini alasannya bukan karena terjebak macet atau kejadian lain seperti hari-hari sebelumnya. Sabiya memang kesiangan gara-gara terlalu memikirkan masalah kemarin. Membuatnya kesulitan tidur sampai kesiangan.
Sebenarnya Sabiya bisa saja membawa satu mobil yang tersisa di rumah. Tapi tidak mau mengambil risiko yang lebih parah. Sudah siang dan akan semakin siang jika Sabiya nekad membawa mobil sendiri. Karena alasan itu, memilih ojek online adalah jalan terbaik. Walaupun sama saja. Sabiya tetap terlambat sampai di kantor.
Meletakkan tasnya asal di samping meja kerja. Beberapa seniornya yang lain sudah sibuk dengan kegiatan mengetik sembari memutar otak untuk berpikir. Embusan napas panjang Sabiya membuat perempuan hamil di samping meja Sabiya menoleh.
"Telat lagi?" tanyanya dengan suara lembut. Senyuman menenangkan itu nampak membuat Sabiya mencoba terlihat baik-baik saja. Membalas senyuman sebisanya. Walaupun tidak bisa dipungkiri, bibir Sabiya terasa sulit digerakkan saat ini.
"Aku kesiangan, Mbak."
"Kemarin ke mana Bi, tumben nggak ada kabar?"
Perempuan lain selisih dua meja dari tempat Sabiya sempat menoleh karena kalimat itu. Saling tatap untuk beberapa saat. Setelahnya kembali sibuk dengan pekerjaan. Mengabaikan Sabiya yang masih terus memperhatikan sikap salah tingkah itu.
"Ehm, ada bimbingan di kampus Mbak."
Perempuan dewasa itu mengangguk paham.
"Bi sarapan nih, pucat banget kayaknya."
Jerry meletakkan bungkusan burger di meja Sabiya. Membuat mata bengkak bekas menangis itu berbinar indah.
"Ulang tahun, Mas?"
"Nggak. Ada promo tadi, beli tiga gratis satu."
Mata Sabiya menyapu empat meja terdekat di ruangan itu. Shilla menunjukkan bungkusan burger yang sama. Sabiya mengangguk paham dengan senyuman lebarnya.
Lumayan dapat sarapan gratis di pagi hari yang kacau. Setidaknya satu burger cukup membuat perutnya kenyang. Jauh lebih baik 'kan, menghadapi masalah dengan perut kenyang. Daripada menghadapi masalah dalam keadaan kelaparan.
"Makasih, Mas."
"Iya santai," jawab lelaki itu. Kembali sibuk dengan pekerjaannya. Sebelah tangan sesekali memasukkan camilan ke mulut.
"Lagi sibuk banget?" Shilla kembali bersuara. Menoleh pada Sabiya yang belum menyentuh pekerjaannya. Masih menikmati sarapan pemberian Jerry.
"Mata kamu sampai bengkak begitu. Udah mulai ngejar laporan?"
"Oh ini Mbak, baru bab satu udah banyak revisi. Dosbingku galak banget, maunya yang perfect. Rada susah buat deal sama beliau."
Shilla mengangguk-angguk. "Dulu Mbak juga gitu. Dibawa santai aja, jangan sepaneng. Satu semester panjang loh, Bi. Nanti kalau kamu terlalu fokus nggak menikmati hidup namanya. Lagian motivasinya apa sih sampai nekad ambil magang dan TA sekaligus?"
"Udah pengen lulus, Mbak. Kaya nggak tahu aja derita mahasiswa akhir."
Bukan Sabiya yang menjawab. Itu berasal dari meja depan. Jerry yang sebelumnya sibuk dengan pekerjaan mulai ikut dengan pembicaraan dua perempuan itu.
Walaupun menjadi satu-satunya laki-laki di divisi mereka, Jerry mudah bergaul. Tidak merasa menjadi kaum minoritas. Justru Jerry enjoy dan mudah mengikuti pembicaraan kaum perempuan.
"Gitu 'kan, Bi? Bawaannya pengen cepet lulus, biar cepet nikah," ledek Jerry membuat Sabiya dan Shilla tertawa pelan.
Tapi memang begitu keluh kesah kebanyakan mahasiswa akhir. Jika sudah lelah dengan revisi yang tidak berujung, langsung mengeluh ingin cepat keluar dari permasalahan yang itu, itu saja.
"Nggak tahu aja kamu Bi, nikah itu lebih banyak masalahnya."
"Halah bohong itu, Bi. Mbak Shilla mana pernah kelihatan stres. Suaminya baik begitu," sahut Erika yang baru saja memasuki ruangan, sembari membawa sekotak paket. Duduk di kursinya dan menarik kursi itu mendekat. Menjadikan meja Sabiya sebagai titik tengahnya. Kembali berunding membahas hal di luar pekerjaan.
"Dari mana, Er?" Shilla melirik ke arah kotak paket di atas meja Erika. Memberikan kode dengan alis matanya yang terangkat.
"Ngambil paketan, Mbak. Gue beli dress batik dari zaman kapan baru nyampe sekarang."
Erika menatap tiga komplotannya dengan wajah seperti biasa. Menatap serius dengan bibir tersenyum. Sudah dipastikan perempuan berambut panjang itu membawa berita baru yang sedang menjadi perbincangan hangat di kantor. Atau lebih tepatnya Erika ini yang menjadi biang kerok dari tersebarnya berita itu.
"Udah pada tahu belum, Pak Romeo lagi didesak nikah sama Pak Ketua?"
Perempuan itu tersenyum lebar saat tiga rekannya menoleh dengan penasaran. Jerry yang sebelumnya berniat melanjutkan pekerjaan juga urung. Memilih menarik kursinya mendekat ke meja Sabiya. Ikut berunding dengan tiga perempuan yang memiliki kadar ingin tahu tinggi. Dua sih lebih tepatnya. Karena Sabiya tidak begitu tahu seluk-beluk bos mereka.
Sabiya hanya mahasiswi magang yang mengajukan proposal ke bagian HRD. Tidak ada interview mendalam, hanya pertanyaan biasa tentang asal sekolah Sabiya. Selama dua minggu magang pun belum sekalipun Sabiya bertemu bos mereka yang sering diperbincangkan oleh para karyawan.
Mungkin penggunaan kata sering, karena adanya Erika di divisi mereka. Si reporter utama yang lebih sering menguak berita tentang anak-anak kantor daripada mengerjakan tugasnya sesuai job desk. Erika bilang itu hanya sampingan, sekaligus kegiatan menyenangkan di tengah kesibukannya dalam bekerja.
"Tahu dari mana lo?" tanya Jerry. Sudah duduk tegak dengan wajah siap mendengarkan.
"Gue denger sendiri waktu ke ruangan Pak Romeo kemarin."
"Pak Romeo nunggu apa sih sampai didesak begitu? Ganteng, kaya, jabatan tinggi. Cewek mana coba yang mau nolak turunan bangsawan begitu? Kalau gue cewek nih, gue bakalan baris paling depan buat dapatin Pak Romeo," sahut Jerry dengan antusias. Ketiga perempuan itu sontak tertawa lirih.
"Jangankan kamu Jer, Mbak aja mau kalau nggak ingat suami sama anak dalam perut." Shilla ikut menyahuti dengan sebelah tangan mengusap perut buncitnya.
"Selera Pak Romeo tinggi kali, mana mau sama karyawan rendahan kaya kita." Erika menjeda kalimatnya. Menarik napas panjang. Siap mengobral berita yang lebih panas dari berita sebelumnya.
"Tahu Rieena yang desainer itu, 'kan?"
Ketiganya mengangguk.
"Minggu kemarin gue nggak sengaja lihat Pak Romeo lagi makan sama si desainer."
Mata Erika menyapu ketiga ekspresi manusia di hadapannya. Senyumannya kian lebar.
"Itu temen SMAnya kali, Er," sahut Shilla.
"Emang iya, Mbak? Mbak Shilla tahu dari mana?"
"Aku 'kan udah lama kerja di sini, jauh lebih lama dari kalian berdua. Jelas tahu, mereka itu temenan. Lagian Rieena udah punya suami sama anak. Ngaco aja."
Erika mendesah panjang. Menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Sedikit kecewa karena pembicaraan mereka harus berhenti. Padahal sebelumnya Erika kira ini akan menjadi berita panas di kantor mereka.
"Ehh tapi pada pernah lihat Pak Romeo deket sama cewek nggak sih?"
Shilla dan Jerry menggeleng bersamaan. Sedangkan Sabiya hanya bertugas sebagai pendengar.
"Nggak pernah, 'kan? Wah, wah gue curiga nih kalau Pak Romeo ternyata homo." Erika berucap sembari mengetuk-ngetuk jarinya di dagu. Terlihat sangat serius dengan ucapannya.
Ketiga rekan bergosipnya mendesah panjang. Erika ternyata memiliki imajinasi yang terlampau jauh. Sampai sulit diterima otak manusia normal seperti ketiga rekannya.
"Ngaco teruuuss. Udah deh bubar, bubar! Balik kerja!" ucap Shilla tajam. Erika dan Jerry memilih kembali ke meja masing-masing. Lagi pula tidak ada hal menarik yang harus dibicarakan.
"Sabiya Kirana."
Sabiya yang baru saja menyalakan komputernya mengangkat wajah. Menatap seorang laki-laki yang berdiri di ambang pintu sembari menurunkan kacamatanya.
"Saya, Pak," sahut Sabiya.
"Kamu mahasiswi magang yang masuk dua minggu lalu?"
"Iya."
Laki-laki itu sedikit menelisik penampilan Sabiya yang saat ini sudah berdiri di hadapannya. "Pak Romeo menyuruh kamu ke ruangan," ucap laki-laki itu. Setelahnya langsung pergi dari sana.
Sabiya mendesah panjang. Sempat menoleh ke arah tiga manusia yang sedang menatapnya sembari memberi semangat.
Sabiya sudah bisa menduga, pasti cepat atau lambat si bos mereka akan memanggilnya. Dua minggu magang dan hampir setiap hari datang terlambat. Belum lagi, hari kemarin ia bolos tanpa keterangan.
Habis sudah riwayatnya. Pasti si bos yang kata kebanyakan karyawan memiliki wajah tampan itu akan memarahinya habis-habisan. Atau kenyataan paling buruk, nilai magangnya akan jelek dan itu akan menyulitkan proses kelulusan. Hah!
***