5 - Maaf

1148 Words
Habis sudah kesabaran Shilla. Melihat begitu ketiga putranya merindu sampai menangis. Dengan tekad penuh, Ia akan menyelesaikan masalah ini secepatnya. Satu jam berlalu. Kurang satu jam lagi Revan pulang. Kali ini tak menunggu pada ruang tamu. Namun di kamar mereka. Satu gelas kopi sudah Shilla habiskan. Upaya untuk menghalau kantuk yang mendera. Badannya sungguh lelah. Mengurus rumah dan triple J seharian. Sendiri. Pada saat-saat seperti ini rasanya menyesal tak mempekerjakan baby sitter untuk ikut membantu menjaga triple J. Deru mobil Revan terdengar. Revan sudah pulang. Lebih cepat 10 menit dari biasanya. Shilla tetap pada tempatnya duduk. Mempersiapkan mental untuk bicara. Walau dalam hati tak tenang. Ceklek Shilla menatap semua pergerakan Revan dalam diam. Ia akan memberi waktu pria itu untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Sepuluh menit berlalu, yang di tunggu selesai juga. Merasa di perhatikan, Revan menghadap Shilla dan menaikan alisnya seolah berkata 'apa?' Shilla yang di tatap merasa gugup. Bukan seperti ini rencananya. Rencana yang sudah disusun sedemikian rupa buyar sudah. "Aku mau ngomong sama Kakak," ucap Shilla pelan. "Ngomong aja," Revan berkata datar. Mendudukan dirinya pada sofa dekat ranjang. Tangannya sibuk memainkan ponsel dalam genggaman. Mengambil nafas panjang, "kenapa Kakak akhir-akhir ini berubah?" Tanya Shilla akhirnya. Nadanya bergetar. Menahan perasaan kecewa dan marah agar tak meluap menjadi air mata. Revan bergeming. Entah mencoba mempersiapkan jawaban atau memang enggab nenjawab. "Kalo Kakak udah gak cinta sama aku, ngomong aja. Jangan kaya gini. Eh, emang Kakak pernah cinta sama aku yah? Aku tau Kak. Kakak nikahin aku cuma sebatas tanggungjawab kan?" Shilla tertawa miris di akhir kalimat yang Ia ucapkan. Nadanya tak terlalu tinggi. Mencegah ada telinga-telinga kecil yang mungkin saja akan mendengar. Air mata tak terbendung lagi. Meluap dengan begitu derasnya. Ikut membasahi baju yang Shilla kenakan. "Kakak diemin aku, oke aku bisa terima. Tapi Kakak jangan lakuin ini ke anak-anak. Mereka butuh kasih sayang seorang ayah. Asal Kakak tau, Jevin nangis karena kangen papanya. Dan Jayden relain beberapa jam waktu tidurnya untuk nunggu Kakak pulang." tangis tadi kini diiringi isakan. Tak tega mengingat anak-anaknya yang masih kecil begitu merindu. "Sakit Kak," ucap Shilla meremas dadanya. “Sakit,” lanjut Shilla. Tangannya tak lagi meremas bagian d**a yang nyeri. Namun memukul-mukulnya. Menunjukan pada sang lawan bicara bahwa. Sakit yang Shilla rasakan sudah begitu dalam. "Maaf," Revan berkata lirih setelah mendengar semua keluh kesah Shilla. Hanya satu kata. "Aku gak butuh permintaan maaf Kakak. Yang aku butuhin itu Kakak balik lagi kaya dulu. Selalu luangin waktu buat anak-anak." Shilla berkata tegas. Revan mengangguk samar. Mendekat dan membawa Shilla kedalam dekapannya. Dekapan yang Shilla rindukan. Dengan terus menggumamkan kata maaf. Shilla tersenyum kecil masih dalam tangis. Jika tahu seperti ini, maka sudah Ia lakukan sejak kemarin-kemarin. Namun, rasa takutnya mengalahkan segala. Dan akhirnya mengorbankan hati sang buah hati. Keduanya tertidur pulas masih dalam keadaan berpelukan. Menyalurkan rasa hangat dan pengobat rindu. Sudah lama Shilla tak merasakan tidur se damai ini. Semenjak Revan mulai berubah menjauh, tidurnya tak tenang. Terkaan buruk selalu berterbangan memenuhi pikiran. Sebagian masalah ini terselesaikan. Masih ada sebagian lagi yang tertinggal. Pagi menyapa. Shilla tak perlu menepuk sisi ranjangnya untuk mengetahui ada tidaknya Revan. Karena Ia meresakan tangan seseorang yang memeluknya dari belakang. Itu tangan Revan. Seketika senyum Shilla mengembang. Indahnya pagi ini. Melepaskan diri perlahan dari rengkuhan Revan. Tak berhasil. Malah Revan semakin mengeratkan pelukan. Membenamkan wajahnya pada rambut Shilla. Revan juga rindu. "Kak, lepas," ucap Shilla masih mencoba melepaskan diri. "Bentar." Revan dan semakin mengeratkan pelukan lagi. "Gak bisa nafas, ih." Melonggarkan pelukan pagi itu, tapi tak sepenuhnya terlepas. "Kangen," rajuk Revan manja. "Siapa suruh pergi pagi pulang hampir pagi," dengus Shilla. "Ya ma--." Brak Ucapan Revan terpotong oleh bunyi pintu yang di buka dengan keras. Pintu kamar ini. Muncullah tiga balita imut dengan pakaian tidur berantakan. "Mama, kenapa gak bangunin Ay semalem. Kan Ay pengen temu Papa." itu Jayden. Berjalan mendekat dengan tangan mengucek kedua matanya. "Jayden pengen ketemu Papa yah?" "Iya, Ay tangen Papa," ucap Jayden sendu. "Kalo gitu, sini dong." Jayden mendekat dan duduk di atas ranjang. Double J mengusul di belakang mereka. Masih belum menyadari keberadaan Revan. "Coba buka mata kalian," ucap Shilla. Sedari tadi triple J memejamkan mata. Tapi sambil berjalan. Hhaha, mereka sadar kok. Cuma masih ngantuk aja. Satu detik Dua detik Tiga detik "Papa!!" Pekik mereka setelah melihat wujud papa yang dirindukan. "Hallo boys." Tanpa menunggu lama, triple J menimpa tubuh Revan. Memberi pelukan dan kecupan kecil. Shilla tersenyum. Tak ada yang lebih membahagiakan dari ini. Melihat empat pria nya tersenyum bahagia. "Papa, sibuk apa?" Jevin mengawali tanya. "Mm, papa sibuk kerja sayang." Revan tersenyum kaku. Tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan secepat ini. "Emang kerja buat apa?" "Buat cari uang lah. Terus buat beli mainan kalian." "Kalo gitu, Justin ndak mau beli mainan," pekik Justin tiba-tiba. Bibirnya melengkung ke bawah. "Ay juga." Jayden mendukung sang kakak. "Vin juga deh." Revan dan Shilla mengernyit bingung. "Emang kenapa?" Tanya Revan lembut. "Kalo kita ndak beli mainan, kan Papa ndak usah cali uang. Ndak kelja, telus ndak sibuk deh. Jadi kita bisa ketemu Papa telus," ucap Justin pelan. Ucapan polos Justin menghantam bagian hati Revan paling dalam. Tak pernah menyangka anak-anaknya bisa berkata seperti itu. Mereka bahkan rela tak membeli mainan untuk terus berjumpa. Revan merasa berdosa, belakangan ini melupakan kehadiran tiga pria tampan penerusnya. Shilla terharu. Anak seusia mereka bisa berkata demikian. Membuktikan rasa sayang dan rindu yang begitu mendalam. "Papa cari uang juga buat makan kalian loh. Kalo papa gak kerja, kalian nanti gak bisa makan gimana?" "Minta makan aja sama Oma, Opa, Eyang putri, Eyang kakung, Uncle Cello, Uncle Laka, Aunty Bella, Aunty Latel. Pasti di kasih," ucap Jayden semangat. "Gak boleh dong, kalian itu tanggung jawab papa. Jadi papa harus kerja sendiri." "Yah," triple J bersorak kecewa. "Papa janji deh. Nanti bakal pulang cepet. Biar bisa main sama kalian." Revan mengacungkan kelingkingnya dan disambut tiga kelingking kecil. "Janji?" "Janji." Revan berkata yakin. Mereka -triple J dan Revan- mengalihkan perhatiannya pada pemilik jari kelingkin yang baru saja bergabung. Dan mendapati wajah Shilla dengan senyum lebar. "Janji?" Ulang Shilla. "Janji." Kemudian canda dan tawa lah yang terdengar. Berharap hari esok akan sama dipenuhi bahagia. Pagi yang manis setelah sekian lama hanya ada rasa hambar. Sebuah janji yang mengawali untuk kembali seperti dulu terikrar. Semoga tak sekedar janji saja. Melalui rangkaian kegiatan wajib, disinilah mereka kini, menghabiskan beberapa menit untuk makan sebelum memulai aktivitas masing-masing yang tentu melelahkam dan menguras tenaga. Triple J masih dengan segala tingkah lucu dan ucapan polosnya. Shilla yang tak berhenti menebar senyum bahagia, dan Revan yang dengan sabar meladeni semua pertanyaan triple J. Dua puluh menit kemudian. Rumah masih terasa ramai, hanya saja satu orang telah pergi bekerja. Ya, Revan memutuskan ke kantor lima menit yang lalu. Terlambat dua puluh menit dari waktu kantor masuk sebenarnya. Biarkan saja, toh tak ada yang memecatnya. Karena bos besarnya ayah Revan sendiri. Jangan di tiru yah teman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD