Part 4 - Berubah

1125 Words
Lebih dari satu bulan sudah kunjungan ke kebun binatang terlewati. Masih penuh kebahagiaan yang mengiringi hari. Namun tidak dengan dua minggu belakangan. Revan berubah. Tak ada sikap manis terhadap Shilla. Hanya untuk triple J dan pekerjaan saja hidupnya. Shilla tak tau kenapa. Sekedar menyapa pun enggan Revan lakukan. Apa dirinya saja yang lebih sensitif? Atau memang Shilla berbuat salah? Rasanya membingungkan dan serba salah. Shilla tak berani memprotes, mengeluh saja dirinya enggan. Lebih memilih diam dan menunggu Revan yang berinisiatif membuka percakapan. Terlepas dari perubahan Revan, Shilla merasa sedikit lega. Bukan karena perubahan sikap Revan. Tapi, Jevin yang berangsur-angsur melupakan permintaan untuk memiliki adik. Namun tetap lebih banyak lara di hati. Tentu saja. Seorang suami yang amat manis dan romantis, dua minggu ini berubah drastis. Tanpa tau alasan yang jelas. Hampir tengah malam dan Revan belum tiba di rumah juga. Shilla khawatir, walau hal seperti ini sering terjadi. Menanti dalam ruang tamu. Kantuk selalu saja datang. Tak sedikit pun Shilla hiraukan. Ceklek Shilla mengangkat kepalanya yang sebelumnya Ia tumpu kan pada meja. Di hadapannya berdiri pria yang menjungkar balikan perasaan. Dengan wajah datar. Kemeja kusut dan tampilan berantakan. Sesegera mungkin Shilla bangkit menghampiri. Membawakan tas kerja sang suami. Dan berjalan mengekor di belakangnya. "Kakak mau makan?" Tanyanya lembut. Mencoba mencari peruntungan. Revan pergi begitu saja. Selalu seperti ini. Shilla menyamakan langkahnya. "Mau mandi dulu yah?" Masih tak ada jawaban. Shilla menyerah dan memilih merebahkan tubuh lelahnya. Besok saja masalah ini diselesaikan. Sedang Revan menyegarkan tubuhnya. Dan tak lama kemudian ikut merebahkan diri di sisi ranjang yang kosong. Saling berbaring memunggungi. Drrt drrtt Suara ponsel berhasil mengurungkan niat Revan yang hendak menutup mata. Shilla yang belum benar terpejam juga terjaga. Namun masih dalam posisi semula. Pura-pura tertidur dan mencoba mencuri dengar. "Halo." "...." "Benarkah?" Dari suaranya saja dapat ditebak jika Revan merasa bahagia. Siapa yang sedang berbicara dengan Revan? Kenapa terdengar bahagia sekali? "...." "Terimakasih Sayang." Shilla menangis. Kenapa rasanya sesakit ini mendengar Revan mengucapkan kata sayang pada orang lain? Jadi, selama ini bukan hanya dirinya. Beribu spekulasi tumbuh dalam hati. Menggetarkan sanubari dengan luapan emosi. "...." "Besok aku akan mengunjungimu." "....." "Aku juga menyayangimu. Bye." Hancur sudah segala pertahanan Shilla. Beribu jarum seakan menancap dalam hatinya. Menggores semua bagian yang ada. Tanpa tersisa setitikpun. Apa sebenarnya semua ini hanya sebatas kebahagiaan semu? Menikahinya hanya untuk bentuk pertanggung jawaban? Jika benar, Shilla lebih memilih menjadi single parent saja. Tanpa perlu menikah dan terjatuh semakin dalam. Lalu, semua kata cinta yang Revan berikan tiga tahun ini apa? Apakah hanya ilusi semata? Tuhan, kenapa seperti ini? Shilla tergugu dalam diam. Sekuat tenaga menahan luapan emosi yang berlomba keluar. Air mata mengalir membasahi bantal yang Shilla kenakan. Batinnya masih tak percaya dengan apa yang sudah di dengar. Terus menyangkal walau telinga sudah pasti menjadi saksi akan kebenaran. Mungkin karena lelah menangis, Shilla tertidur juga. Melupakan apa yang sudah terdengar sebelumnya. Walau hanya sementara. Cahaya matahari menembus masuk melalui celah-celah kecil kamar. Shilla terbangun perlahan Menepuk bagian samping ranjang. Dan kosong. Selalu seperti ini. Shilla tersenyum kecut. Memang apa yang di harapkannya? Bangun dan disambut senyum indah Revan? Jika tiga minggu lalu masih mungkin terjadi. Sekarang? Jangan berharap yang lebih. Apalagi setelah mendengar percakapan Revan dengan orang semalam. Apa Revan kali ini pergi pagi untuk menemui orang itu? Tak terasa air matanya menetes lagi. Sisa tangis tadi malam tercetak jelas pada mata sembabnya. Dengan cepat Ia usap kasar. Untuk apa menangis jika tidak merubah keadaan? Masih ada yang lebih penting untung dilakukan. Tiga pangeran tampannya membutuhkan dirinya. Menuruni tangga dan melongok kamar triple J. Masih tertidur pada masing-masing tempat tidur berbentuk mobil. Setidaknya masih ada alasan untuk dirinya tersenyum pagi ini. Kamar triple J sudah dipindahkan ke lantai dasar. Karena keaktifan mereka, Shilla takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan nantinya. Nasi goreng. Menu kesukaan triple J di pagi hari telah terhidang. Menguarkan aroma lezat pada seluruh penjuru rumah. Shilla bergegas membangunkan triple J. Entah kenapa pagi ini begitu mudah. Apa mereka tahu keadaan hati sang mama? Memandikan dan membantu mengenakan pakaian satu per satu. Rutinitas yang memang selalu Shilla lakukan sendiri. "Sekarang, kita ngapain?" Tanya Shilla semangat. "Mamam," jawab mereka bersamaan. Mendudukan diri di meja makan besar, dan memulai makan. "Mama, Papa mana?" Pertanyaan Justin melemahkan kerja jantung Shilla. Untuk sesaat. "Iya, Papa sekalang gak pelnah main sama kita lagi." Jayden menyuarakan pendapatnya. Pendapat yang seratus persen benar adanya. Shilla bingung akan menjawab apa. Karena memang Ia sendiri tak mengetahui kenapa Revan berubah. "Mungkin Papa sibuk, sayang," jawab Shila seadanya. Jevin mengerucutkan bibirnya kesal. Matanya berkaca-kaca. "Papa dak cayang kita lagi, Mama?" Dan pecahlah tangis Jevin. Si bungsu yang manja. Dengan sekuat tenaga Shilla menahan air matanya. Ini lebih menyakitkan. Shilla menghampiri Jevin dan menjongkokan dirinya. "Jevin gak boleh ngomong gitu. Papa sayang banget sama kalian. Papa cuma lagi sibuk aja." Jevin turun dari kursi dan memeluk Shilla dengan tiba-tiba. Shilla yang tak siap jatuh terduduk dengan Jevin di atasnya memeluk erat. Double J menghampiri dan bergabung. Berpelukan dan menangis. "Papa sayang kalian," Shilla mengucapkan kalimat itu berulang. Berusaha meyakinkan triple J dan meyakinkan hatinya. "Aduh, mama berat nih," ucap Shilla pura-pura kesal. "Belat mama?" Tanya Jevin polos. Suaranya masih serak. Sisa-sisa menangis. "Berat banget. Kalian kan udah besar. Bentar lagi juga masuk sekolah." "Maaf mama," ucap triple J penuh sesal. Setelah bangkit dari tubuh Shilla. "Makannya dilanjut dulu," perintah Shilla. "Ay ay captain." Shilla terkekeh melihat mereka memberi hormat. Menggemaskan sekali mereka. Seharian ini mereka habiskan dengan bermain di dalam rumah. Dan membicarakan semua hal. Tentang mainan, tetangga baru, sekolah, sampai teman mereka yang memiliki adik baru. Sekolah. Justin paling semangat akan hal itu. Saat usia triple J menginjak 4 tahun, Shilla dan Revan memang berencana memasukan mereka sekolah. "Mama, Papa pulang jam belapa?" Jayden bertanya, matanya terlihat memerah karena mengantuk. Maklum saja. Waktu tidurnya telah terlewat. Sudah bermacam cara Shilla lakukan untuk membujuk. Tapi tak berhasil juga. Justin dan Jevin kalah akan kantuk setengah jam yang lalu. "Masih lama. Jayden tidur dulu aja yah." "Tapi, Jayden kangen sama Papa." "Nanti kalo udah pulang Mama bangunin deh." "Benelan?" Tanya Jayden. "Iya, nanti Mama bangunin." Jayden tersenyum senang dan merentangkan tangannya meminta gendong. Dengan senang hati Shilla mengangkat Jayden dan menidurkannya dalam kamar. Tangannya membelai rambut Jayden lembut. Air mata tak dapat di bendung lagi. Jayden sampai rela menahan kantuknya demi bertemu dengan sang papa. Apa serindu itu? Jika dua minggu lalu masih bertegur sapa walau hanya saat makan pagi, satu minggu ini benar-benar tanpa interaksi antara Triple J dan Revan. Perubahan sikap Revan jika pada dirinya saja, Shilla tak masalah. Tapi ini dengan triple J juga. Apa hanya sebatas ini Ia merasa bahagia? Mimpi dan angan tentang masa depan apa takan menjadi nyata? Janji terus bersama sampai tua nanti juga teringkari?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD