Dua gadis yang terlihat sangat berbeda terlibat dalam perbincangan serius. Yang satunya terlihat menggebu-gebu, sedangkan yang satunya lagi terlihat berbicara seperlunya dengan suara yang begitu kecil. Gadis yang kedua ini, terlihat sangat pemalu terlihat dari gesturnya yang kikuk saat mendapatkan perhatian dari beberapa pengunjung kafe. Ya, keduanya memang tengah berada di sebuah kafe yang cukup terkenal dikalangan pemuda-pemudi di kota tersebut. Tempat di mana mereka menghabiskan waktu santai mereka.
"Kartika Kirana sahabatku yang paling cantik, kita liat konser, yuk! Aku yang beliin tiketnya. Kamu tinggal nonton, kita seru-seruan bareng! Aku udah lama banget pengen nonton konser bareng kamu," rengek gadis yang tampak terlihat begitu modis dan ceria. Gadis itu tampak hadir dengan aura yang sangat mudah menarik perhatian orang-orang. Auranya sangat menyenangkan dan membuat orang-orang tidak ragu untuk meletakkan padangan mereka lama-lama pada gadis cantik tersebut. Karena hal itu tanpa sadar membuat suasana hati mereka yang menatapnya menjadi jauh lebih baik.
Gadis pemalu yang ternyata bernama Kartika Kirana tersebut, hanya menggeleng pelan seraya menjawab, "Enggak Venty, aku harus kerja. Kamu tau sendiri, aku lagi nabung buat ikut ujian paket C, dan tentunya buat daftar kuliah. Semua yang aku rencanain itu tentu aja ngebuat aku harus pinter-pinter gunain waktuku buat belajar dan cari uang."
Gadis yang semula menggebu-gebu tersebut terdiam, lalu duduk dengan tenang. Seakan-akan gagida yang menggebu-gebu sebelumnya bukanlah dirinya, melainkan gadis lain. Tentu saja gadis bernama Venty tersebut mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh sahabatnya ini. Venty mendesah. "Tika-tika, padahal ada jalan mudah, tapi kamu malah milih jalan sulit. Jelas-jelas, Om Senu udah nawarin buat membiyai pendidikan kamu," ucap Venty. Benar, Senu yang tak lain adalah om dari Venty memang sudah berbaik hati menawarkan diri untuk menanggung semua biaya pendidikan hingga biaya hidup Kartika. Affa bahkan membujuk Kartika untuk tinggak bersama dengannya. Namun, Kartika menolak semua tawaran itu tanpa berpikir dua kali.
Gadis bernama kecil Tika tersebut hanya mengulum senyum. "Aku gak mau ngerepotin orang lain," ucap Kartika dengan nada malu-malu. Kartika memang tidak mau merepotkan orang lain. Ia ingin hidup dengan jerih payah sendiri. Karena itulah yang diajarkan oleh mendiang orang tuanya, dan Kartika bangga melakukan ajaran orang tuanya. Kartika bangga hidup dengan usahanya sendiri, dan Kartika senang melakukan hal itu. Karena jujur saja, berusah payah untuk mendapatkan apa yang ia inginkan membuat Kartika merasa lebih hidup daripada sebelumnya.
"Walaupun itu artinya, kamu harus berenti sekolah? Terus kerja, disaat seharusnya kamu fokus belajar di sekolah?" tanya Venty telak. Tentu saja Venty tengah menyindir Kartika yang hanya fokus dengan prinsipnya sendiri. Namun, Kartika malah mengangguk polos. Venty mengangkat tangannya dan menepuk keningnya dengan gemas. Hampir tujuh tahun mengenal Kartika, Venty tahu betul bagaimana pemikiran sahabatnya itu.
"Oke, terserah kamu aja. Yang penting, tahun ini kamu bisa dapet ijazah paket C. Aku udah kuliah semester empat loh Tik, dan aku maunya wisuda bareng sama kamu," ucap Venty. Ia memang sangat berharap, nantinya ia dan Kartika bisa berdiri bersama dengan toga di kepala mereka masing-masing.
Kartika mengangguk antusias. Ia juga sangat berharap dirinya bisa berkuliah dan mendapatkan pendidikan lanjutan yang bisa membuat hidupnya lebih baik. Meskipun pendidikan tidak menjadi tolak ukur bagi kesuksesan seseorang, tetapi Kartika yakin, tidak ada salahnya untuk menabung ilmu. Karena ilmu sama sekali tidak ada masa kadaluarsa dan bisa digunakan sepanjang masa. "Tabunganku sudah cukup. Tahun ini, aku bakal ikut ujian paket C. Dan daftar masuk perguruan tinggi."
Ucapan Kartika membuat keduanya tertawa. Venty kembali membantu Kartika belajar. Sungguh pemandangan yang sangat manis. Seperti seorang kakak yang tengah mengajarkan adiknya belajar. Ya, itu wajar. Karena Venty yang usianya menginjak sembilan belas tahun, terlihat begitu cantik dengan tampilan khas mahasiswi yang stylish. Sedangkan Kartika, tampak menggemaskan dengan tampilannya yang masih seperti anak sekolah menengah pertama. Tubuh Kartika yang mungil, menjadi faktor utama.
Keduanya memang seumuran. Hanya saja, Kartika tak melanjutkan pendidikan karena keterbatasan ekonomi. Sepeninggal ayahnya, Kartika menjadi yatim piatu. Itu juga yang menyebabkan Kartika menutup diri dari lingkungan. Jelas, kepergian ayah Kartika saat dirinya menginjak usia dua belas tahun, membawa sebuah luka besar untuknya. Sosok Kartika yang semula memang sangat pemalu, semakin parah saja. Setiap harinya, Kartika selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian ayahnya itu.
Untungnya, Venty selalu setia menemani Kartika. Venty adalah sosok sahabat sejati bagi Kartika, sahabat yang mau berbagi suka serta duka. Venty jugalah, yang mampu menarik Kartika dari bayang-bayang rasa bersalah, yang hampir saja membuatnya ikut menemui ayahnya di surga. Kartika tersenyum. Ia sungguh berterima kasih, Tuhan telah mengirimkan sahabat seperti Venty untuknya.
Kartika berkedip pelan saat Venty menjetikkan jarinya di keningnya. Refleks, Kartika meringis merasakan sengatan rasa sakit di keningnya. Bibirnya mengerucut kesal, matanya menyorot polos pada Venty yang kini terkekeh keras. "Kamu sih, malah ngelamun!" seru Venty menyalahkan Kartika yang malah melamun saat dirinya tengah menjelaskan.
Kartika tak berkomentar, dan kembali menunduk untuk melihat buku pelajarannya. Namun bibirnya masih mengerucut tajam, kesal terhadap Venty. Hal itu tentu saja membuat Venty merasa geli sendiri. Kartika ini memang selalu saja membuat ulah yang membuatnya terus ingin melindungi Kartika dengan segala usaha dan cara. Ya, sebesar itulah kasih sayang Venty pada Kartika. Saat itulah, Venty mengingat sesuatu yang juga berkaitan dengan Kartika. "Btw, Tante Affa mau ketemu kamu. Nanti malem, aku jemput ya?" tanya Venty.
Kartika mengerutkan keningnya samar. Hari ini, Kartika tidak memiliki jadwal kerja. Jadi tak ada salahnya untuk Kartika menyetujui ajakan Venty. Toh, Kartika sudah lama tak bertemu dengan Affa, tante dari Venty. Ia juga sudah merindukan saat-saat di mana dirinya dimanjakan oleh Affa dan Senu. Kartika pun mengangguk dengan mengulas senyum lebar. Venty bersorak girang. Akhirnya Kartika mau diajak untuk ke luar dari kontrakan usangnya, Venty tahu jika sesekali Kartika harus menghirup udara segar dan mendapat penghiburan dari kehidupan Kartika yang pasti sangat melelahkan.
**
"Kartika makin cantik aja."
Kartika bersemu saat mendapatkan pujian tersebut. Padahal ia tahu, jika pujian tersebut hanyalah basa-basi. Ia sadar diri, penampilannya sungguh biasa saja. Dengan rambut tergerai lurus, wajah yang hanya dipoles bedak bayi, dan gaun yang warnanya mulai pudar. Mana bisa dibilang tampilannya ini cantik. Meskipun mengira jika ucapan yang ia dengar hanyalah basa-basi, Kartika tetap menjawab, "Terima kasih Tante Anggi." Ya, yang baru saja memujinya adalah Anggi. Ibu dari Venty, sahabatnya.
"Pasti dong, kan Kartika temennya Venty," ucap Venty sembari memeluk tubuh mungil Kartika dengan gemas. Hal itu membuat Kartika sesak napas, saking eratnya pelukan Venty.
"Gak ada hubungannya, jangan ngada-ngada kamu!" Anggi tampaknya ingin menjaili putrinya itu. Guntur yang tak lain adalah ayah dari Venty, hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah istri dan putrinya itu. Setelah itu, Guntur tetap fokus dengan acara mengemudinya.
Katika dan yang lainnya, memang tengah berada di dalam mobil yang dikemudikan secara pribadi oleh Guntur. Mobil tersebut tengah melaju, menuju mansion milik Senu dan Affa. Venty dan Anggi terus mengoceh sepanjang perjalanan. Sebenarnya, hanya Venty yang mengoceh, dan Anggi hanya berkomentar dengan ketus, tapi tak membuat Venty jera untuk terus berbicara. Sedangkan Kartika hanya diam, dan sesekali tertawa pelan.
"Sudah sampai, ayo turun!" seru Guntur menghentikan aksi saling mengejek antara Anggi dan Venty. Tangan Kartika ditarik oleh Venty, supaya ke luar bersama dari mobil. Venty dengan lincah membawa Kartika menuju pintu rumah Senu serta Affa yang terbuka dengan lebar.
Di ruang tengah, semua orang telah berkumpul. Ada pemilik rumah, Senu serta Affa yang makin terlihat lengket diusia mereka yang mulai memasuki usia lanjut. Lalu ada pula Dhan bersama istrinya, Irma yang merupakan seorang desainer terkenal dari New York. Dengan sopan, Venty dan Kartika mencium satu persatu tangan mereka, lalu duduk berdampingan di sebuah sofa panjang.
"Tika kenapa jarang main ke sini? Tante kangen tau." Affa terlihat senang dan berniat untuk menghampiri Kartika, tapi Senu dengan santai menarik tangan Affa dan berakhir membuat istri kesayangannya itu duduk di pangkuannya. Senu masih saja sama seperti dirinya muda dulu. Ia masih enggan untuk melepaskan istrinya jauh-jauh darinya. Padahal Affa hanya melangkah beberapa langkah darinya, dan hal itu sudah terasa jauh bagi Senu. Terlalu berlebihan memang.
"Mau ke mana? Kartika tidak akan kemana-mana. Jadi bicaralah di sini!" perintah Senu tegas dan membuat semua orang yang mendengarnya memutar bola matanya. Tentu saja mereka sudah terlalu terbiasa dengan sikap Senu yang terlalu berlebihan ini.
Affa mendengkus saat mendengar penuturan suaminya. Ia membiarkan Senu yang kini memeluk pinggangnya dengan erat. Hal itu menjadi bahan olokan Guntur serta Dhan yang juga kini merangkul pasangan mereka masing-masing. Jika saja Hans serta Joni—sahabat Senu,Guntur,dan Dhan—juga ada di sini, waktu berkumpul seperti ini pasti akan lebih menyenangkan. Jangan tanyakan keberadaan Joni dan Hans, karena keduanya tengah berada di luar negeri. Karena keduanya memang tinggal dan memiliki tugas di sana. Mereka akan pulang ke Indonesia, jika ada acara-acara penting saja.
"Ayah!" seru seorang anak kecil muncul dan berlari menuju Dhan, itu adalah putranya yang masih berusia enam tahun.
Dhan dengan sigap menangkap putranya, dan mendudukkannya yang bernama Andrew di atas pahanya. Irma langsung mengecup pipi Andrew dengan gemas, membuat putra kecilnya tersebut terkekeh senang. Matanya yang bulat terlihat berbinar indah. Namun saat menatap Kartika, matanya yang bulat terlihat makin berbinar. Seakan-akan dirinya baru saja mendapatkan sebuah hadiah yang sudah sangat ia inginkan. Ia langsung meloncat dari paha ayahnya dan berlari menerjang Kartika. Andrew memang sangat menyukai Kartika. Bahkan cita-citanya adalah, memiliki kakak perempuan secantik Kartika. Atau menjadikan Kartika sebagai istrinya.
"Kak Tika. Hehe." Andrew memeluk Kartika dengan erat. Kartika tersenyum dan membalas memeluknya. Venty dengan jail mencolek pipi Andrew, ia tahu jika Andrew sangat tidak suka padanya. Lebih tepatnya, tidak suka Venty yang selalu menjailinya.
"Apa sih?! Jangan colek-colek deh, Andrew enggak suka!! Nanti Kak Penti, bakal dicubit Kak Tika!" seru Andres galak. Andrew kecil terlihat seperti anak musang yang tidak senang diganggu.
"Yeu, Tika gak mungkin nyubit Kak Venty. Soalnya Tika sayang sama Kakak. Dan Tika gak sayang Andrew, buktinya Kak Tika gak mau jadi kakaknya Andrew." Venty memulai aksinya menjaili Andrew. Tentu saja, melihat Andrew yang kesal bahkan menangis adalah salah satu hiburan tersendiri bagi Venty.
Seketika Andrew marah dan menangis saking kesalnya. Namun orang-orang dewasa di sana tampak terbiasa dengan hal itu, dan tak terlihat serius menanggapi atau menghadapi tingkah Venty dan Andrew. Mereka malah tertawa melihat interaksi Venty serta Andrew. Tapi Affa tampaknya tak tega dengan Andrew yang menangis terisak di pelukan Kartika, jadi ia langsung bangkit dan berkata, "Ayo kita makan, sepertinya anak-anak sudah lapar!"
Semua orang mengangguk setuju, sedangkan Kartika terlihat menegang. Tampaknya, ia mulai ketakutan lagi. Venty yang menyadari hal itu, menepuk pundak Kartika dan bertanya, "Kamu kenapa sih? Santai aja, tenang ada aku." Venty benar-benar bersikap seolah dirinya adalah kakak dari Kartika. Padahal, usia mereka sama tetapi Venty memang selalu memperlakukan Kartika selayaknya seorang adik yang perlu untuk diberi kasih sayang dan perlindungan yang benar darinya.
Kartika mencoba mengatur napasnya yang memberat, ia merasaka firasat buruk. Tapi pada akhirnya Venty tersenyum tipis dan mengangguk pada Venty. Ia dan Venty, melangkah bersama menuju ruang makan, masih dengan Andrew yang melekat erat dalam pelukan Kartika. Setibanya di sana, Kartika segera bergabung dengan yang lainnya.
"Mari makan, kalian pasti sangat rindu dengan masakan istriku bukan? Silakan dinikmati," ucap Senu membuka acara makan malam tersebut. Tentu saja semua orang tanpa sungkan-sungkan segera memulai acara makan mereka.
Dengan suasana hati yang lumayan membaik, Kartika sendiri mulai makan malamnya sembari menyuapi Andrew, yang tadi sempat meraung ingin disuapi dirinya. Tak ada yang bisa menolak keinginan Andrew, jadi Kartika dengan telaten menyuapi Andrew sembari sesekali menyuap untuk dirinya sendiri. Makan malam berlangsung tenang, dan kini para orang tua tengah menikmati teh hangat, sembari berbincang mengenai bisnis serta urusan orang dewasa yang lainnya. Sedangkan Kartika dan Venty, bertugas menemani Andrew yang ingin melihat kucing peliharaan Affa yang memiliki rumah kecil sendiri di beranda samping mansion mewah tersebut.
Ada dua kucing. Yang satu berbulu putih nan tebal serta matanya yang bulat berwarna biru cemerlang, kucing ini bernama Wittie. Sedangkan yang satunya, berbulu hitam tebal, serta memiliki mata hitam yang begitu kelam. Affa memberi nama kucing ini, Bleki. Kartika sendiri sering merasa takut jika Bleki menatap dirinya. Seakan-akan, Bleki tengah mengawasi gerak-geriknya dengan tatapan tajam. Aneh memang, hanya ditatap oleh seekor kucing saja, Kartika sudah merasa setakut ini.
Andrew terlihat begitu senang membelai lembut bulu Witi. Sedangkan Venty asik mempermainkan Bleki dengan mainan kucing yang ia pegang. Kartika sendiri, hanya memperhatikan keduanya. Ia tidak terlalu suka kucing, ia lebih suka kelinci. Dulu, Affa juga memelihara beberapa kelinci angora yang tampak sangat lucu dan lembut. Tentu saja, jika Kartika berkunjung, Kartika selalu menyempatkan diri untuk bermain di sana. Namun sayangnya, kini Affa sudah tak memelihara kelinci lagi. Kartika melihat Venty yang merogoh saku gaunnya. Venty menoleh dan berbisik, "Windu."
Kartika hanya tersenyum. Windu, adalah pacar Venty. Namun keduanya, pacaran dengan status backstreet. Itu karena, Venty belum diperbolehkan untuk menjalin hubungan dengan lelaki, walaupun usianya telah menginjak sembilan belas tahun, sama seperti Kartika. Guntur memang terbilang sangat protektif, ah malah bisa disebut dengan overprotektif karena dirinya yang menerapkan banyak peraturan bagi anak gadisnya itu. Tentu saja, salah satu dari peraturan yang Guntru tetapkan, tak lain tak bukan adalah peraturan untuk tidak dulu menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Venty segera mencari tempat tersembunyi untuk mengangkat telepon pacarnya tersebut. Kartika sendiri hanya terkekeh pelan, tapi kekehannya segera terhenti saat melihat Bleki berlari ke luar dari area rumah kecilnya. Kartika bangkit, lalu berbicara sebentar pada Andrew agar diam di tempatnya, sedangkan ia mengejar Bleki yang berlari menuju taman belakang. Tentu saja Kartika tidak boleh membiarkan Bleki berlari terlalu jauh. Nanti dirinya sendiri yang akan kesulitan untuk mengembalikan kucing itu ke tempatnya.
Kartika memelankan langkahnya saat memasuki area taman belakang. Area tersebut terlihat remang-remang, wajar karena lampu taman terlihat dipasang di titik-titik tertentu. Ragu-ragu, Kartika melangkahkan kakinya menyusuri tanah berumput sembari memanggil nama Bleki dengan suaranya yang bergetar pelan. Tapi, setelah hampir sepuluh menit berkeliling di taman remang-remang tersebut, Kartika tak menemukan Bleki.
Namun, saat Kartika akan kembali ke tempat Andrew, Kartika melihat semak beri di dekat pohon mangga bergoyang. Lalu ekor hitam yang berbulu lebat, terlihat muncul di sana. Seketika senyum Kartika mengembang. Perlahan, Kartika melangkah menuju semak-semak tersebut, berniat untuk menyergap dan menangkap kucing hitam yang tengah ia cari. Namun bukannya menemukan kucing berwarna hitam, Kartika malah melihat sosok hitam tinggi besar yang menariknya ke dalam kegelapan sudut taman tersebut. Kartika jelas merasa sangat takut. Jantungnya mlai berdentum kuat, napasnya tercekat. Air matanya uga menggenang tinggi. Tubuhnya bergetar hebat, diiringi isak tangisnya yang mulai terdengar lirih.
Kartika semakin merasa takut serta panik, kareana kini dirinya tak bisa melihat apa pun selain kegelapan. Kartika juga merasakan sebuah pelukan erat yang melilit tubuhnya. Kartika ingin berteriak untuk meminta pertolongan, tapi lidahnya terasa kelu. Yang ada, bibirnya hanya bergetar, serta terbuka lalu tertutup dengan cepat. Seperti ikan air tawar yang kekurangan air. Tubuh Kartika semakin bergetar hebat saat mendengar bisikan tepat di telinganya.
"Apa kau merindukanku, sama seperti aku merindukanmu, Kartika?"
Napas Kartika tertahan, saat daun telinganya terasa basah. Seperti tengah dijilat dan dikulum dengan lembut. Sensasi yang begitu sensual bagi sebagian orang, tapi bagi Kartika itu adalah hal yang menakutkan. Matanya mulai berkunang-kunang saat sensasi basah dan hangat tersebut, merambat hingga rahangnya. Begitu sentuhan tersebut bersarang di bibir Kartika, saat itu pula tubuh Kartika melemas seiring kesadarannya yang melayang pergi.
Sosok hitam yang memeluk erat Kartika tersebut, segera menjauhkan bibirnya dari bibir Kartika yang dingin. Ia menyeringai, dan berbisik tepat di hadapan wajah Kartika yang mungil, "Kau masih sama. Si bintang kecil yang penakut. Tapi tenang saja, Mataharimu telah datang. Ya, Baskara telah datang, khusus untuk Kartika.”
Lalu sosok itu kembali mengecup bibir Kartika, mengulumnya lembut penuh dengan kasih sayang. Bulan serta bintang-bintang, tak terlihat menghiasi langit malam. Tampaknya, mereka merasa malu dengan adegan intim tersebut. Dan tampaknya, mereka dengan kompak tengah memberikan kesempatan untuk sang Matahari, yang tengah melepaskan kerinduannya pada Bintang kecil yang sangat ia cintai.